Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Salah satu aspek terpenting ajaran Islam adalah kesatuan Ketuhanan (unity of Godhead), yang memiliki derivasi berupa kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of quidance) dan kesatuan tujuan hidup (unity of porpose of life). Konsepsi di atas mengakar pada ketauhidan dalam bentuk formulasi paling pendek berupa kalimat tayyibah, yang memiliki hakikat “pembebasan manusia atau sosial”. Konsepsi itu membawa kita ke ruang bahwa hanya umat yang bertauhid secara nyata yang mewujudkan orde sosial yang adil, etis dan bijaksana.
Dua kecaman keras Nabi Muhammad sewaktu di Makkah, berupa politeisme dan disparitas sosio-ekonomi (Qs. Al-Mâ’ûn [107]: 1-6) membuktikan bahwa keduanya tidak dibenarkan oleh Allah. Kecaman itu bukan berarti seseorang tidak boleh mengumpulkan harta benda hasil jerih payahnya. Tapi, al-Qur’an mengecam mereka yang mengumpulkan harta namun menyalahgunakannya dan buta akan pesan tersurat pasca diberikan kekayaan oleh-Nya. “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Qs. Yûnus [10]: 23).
Hakikat bertauhid yang kerap dibicarakan, menyimpan pula perintah pelaksanaan di tatanan horizontal. Kecaman al-Qur’an bahwa mereka yang bertauhid tapi tidak memanusiakan manusia atau mensejahterakan manusia bagi mereka yang berwenang, sama artinya mendustakan firman-Nya. Kecaman itu diberikan solusi berupa patokannya oleh Qur’an. Misalnya bidang ekonomi. Pemimpin tidak diperintahkan oleh Allah membuat semua masyarakatnya menjadi kaya, tetapi “kekayaan (itu) tidak boleh berputar hanya dalam lingkaran orang-orang kaya” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7). Pemimpin diperintahkan untuk memeratakan hasil Sumber Daya Alam, tapi tidak mesti sama. Ketidaksamaan itu disesuaikan dengan tingkat kualitas diri masing-masing.
Aplikasi nilai-nilai Qur’an terpenting itulah yang sering ditelantarkan sepanjang sejarah umat Islam. Hanya dengan melakukan “humanisasi spiritualitas” sebagai operasionalisasi semangat tauhid sajalah moral-etik di setiap aspek akan tumbuh subur. Para pemimpin dan masyarakat—dalam semangat tauhid ini—harus sama-sama memperjuangkan masalah bipolaritas spiritual-material masyarakat dan membangun peradaban profetik yang tidak eksploitatif dan masyarakat yang menikmati keadilan lagi kebijaksanaan.
Dengan mengaca pada sistem berpolitik mutakhir, alih-alih membangun peradaban profetik. Menegakkan kesederajatan, keadilan dan keterbukaan sebagai basis utama nilai Konstitusi Piagam Madinah (konstitusi pertama di dunia yang diciptakan Nabi Muhammad), yang mencakup semua aspek kehidupan sulit ditemukan walau yang bercuap-cuap—khususnya dari kalangan politisi—sangat banyak sekali. Disini perlu kita sadari, sila kelima Pancasila berupa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu bermakna komprehensif. Ya politik, ya ekonomi, ya hukum dan lain sebagainya.
Sila kelima Pancasila itu telah dipraktikkan dikala kepemimpinan politik Nabi di Yatsrib. Nabi tampil sebagai politisi yang mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat. Semua rakyat mendapat haknya secara adil. Tidak ada perbedaan antara yang mendukungnya dengan tidak mendukungnya. Keseteraan dalam semangat tauhid inklusif ini akan mengikis ideologi sukuisme, nepotisme dan fanatisme kelompok. Sebab, saat terkikis itu akan tampil misi egalitarianisme yang selaras dengan Islam. Bukankah Nabi dihadirkan Allah pula sebagai tanda perlawanan terhadap penguasaan kaum kapitalis yang serakah?. Dan inilah yang utama ditentang suku Quraisy atas dakwah Nabi dalam membumisasikan egalitarianisme.
Dasar-dasar beragama dan bernegara di atas yang mulai pudar sebagai indikasi kuat bergesernya paradigma—untuk tidak mengatakan hilang—“teologia religioonom” (sebuah teologi agama-agama yang memusatkan dan mengajarkan pemeluknya, tidak saja konsep keimanan tapi ritual dan aspek sosial). Pudarnya dasar beragama itu membawa masyarakat menuju ruang abu-abu. Diperparah sistem pendidikan politik yang subur sangat paradoks dari ajaran agama.
Prilaku-prilaku paradoks yang dilakonkan para pemimpin dan politisi itu sebagai bentuk penyerapan ajaran agama yang tidak tuntas dan gagal mengejawantahkan saripati agama. Mereka berbicara tentang agama dan percaya keluhuran agamanya, layaknya testimoni al-Qur’an saat membicarakan penduduk Makkah. Para kalangan elite dan orang-orang kaya itu percaya akan eksistensi Allah, tetapi bagi mereka masalah keadilan dan kepedulian sosial sesuatu yang lain. “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan” (Qs. Al-Fajr [89]: 20).
Disinilah agama memberikan wejangan kepada para pemimpin dan pejabat bahwa meraih jabatan itu penting, tetapi setelah mendapatkannya maka berusaha secara sungguh-sungguh untuk mempertahankan kebenaran dan menjadi ladang syiar semangat bertauhid yang revolusioner dan mewujudkan ketertiban sosial sebagai awal dari ketertiban negara. “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar” (Hadis).
Jihad dalam hadis itu tidak bermakna perang bersenjata. Dalam makna politik profetiknya, ia bermakna bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran agama di wilayah politik. Bentuk kongkritnya adalah moralitas. Kuntowijoyo berpendapat bahwa moralitas itu bercabang menjadi moralitas publik dan politik, yang keduanya bersumber dari moralitas personal. Moralitas personal yang tertranformasikan ke pemasyarakatan akan beralih menjadi moralitas publik dan moralitas personal menjadi moralitas politik karena adanya pelembagaan.
Dalam konteks ini, maka faktor moral memegang peranan penting. Tidak saja terfokus kepada masyarakat, tapi yang sangat vital tegaknya moralitas di dalam diri para politisi. Di mana banyak peradaban-peradaban besar tumbang akibat runtuhnya moral. Dan moralitas erat kaitannya dengan kualitas iman seseorang. Untuk mempertebal iman, maka puasa sebagai obatnya.
Ramadan ini, sebagai bentuk menumbuhkan kesadaran moral di dalam diri kita masing-masing. Mendorong keinsafan agar menjadi pemimpin yang manusiawi, lebih halus kepekaan moralnya demi mendorong terciptanya kesadaran sosial yang homogen. Jangan sampai Ramadan dan haji berkali-kali, tetapi puasa sekedar puasa dan haji sekedar haji. Keduanya tidak membekas dan tak terkaitkan dengan upaya sungguh-sungguh menegakkan keadilan dan membebaskan manusia dari kemiskinan. Rugilah, orang-orang yang berkali-kali berhaji tetapi tetangganya menderita kelaparan tanpa sikap empatik dan simpatik!.
Lebih dari itu, pesan tersirat dari ayat “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183) adalah kesadaran tulus membebaskan manusia dari bayang-bayang awan kelabu yang terus menyelimuti kita semua.
Semoga pula, Ramadan kali ini mampu menjadikan kita sebagai manusia muttaqin (memanusiakan manusia), yang memiliki “keinsyafan Ketuhanan dalam diri” agar dalam memimpin melaksanakan tugas sucinya sebagai pengemban amanah dan wakil Tuhan; para pemimpin pula mampu memainkan lakon kenabian berupa “pembebasan sosial” (liberting) dimana ketidakadilan. Semua aspek keagamaan harus diaktivasi dalam realitas kesejarahan manusia. Dan sebagai masyarakat, masyarakat yang beradab dan menjalankan perintah-perintah-Nya tanpa paksaan. Jangan sampai saat Ramadan meninggalkan kita, tapi tetap saja melaksanakan shalat wajib lima hari sekali, yang seharusnya sehari lima kali. Mari ibadahnya kita adalah ibadah kesadaran sebagai bentuk kebutuhan. Selamat berbuka puasa!