Oleh: La Ode Muhram Naadu
Pasca pemilihan kepala daerah (pilkada), hasrat merombak pejabat di lingkup pemerintahan daerah bisa meletup. Hal ini bagaikan hukuman terhadap indikasi keterlibatan pejabat tersebut dalam momentum pilkada.
Toh, kenyataannya keterlibatan pejabat dalam pilkada adalah keniscayaan. Menjeratnya dengan norma hukum membutuhkan komitmen tinggi, sebagaimana faktor yang paling utama adalah bagaimana struktur hukum – pihak yang berwenang bertindak.
Bukan hanya Bawaslu, dus jajarannya sebagai pengawas pemilihan yang menjadi ujung tombak, melainkan juga pejabat pembina lingkup internalnya wajib bertanggung jawab terhadap sisi etik dan hukum ini. Itulah idealnya.
Pergantian Plpejabat atau yang disebut mutasi pejabat, dalam proses dan pasca pilkada menjadi terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya ditulis Undang-Undang Pilkada), yang berbunyi :
“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.”
Maksimal keterikatan waktu ketentuan ini sangat jelas pada frasa “sampai dengan akhir masa jabatan”. Perbuatan yang dilarang adalah penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali dengan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan ketentuan pada lampiran Perturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 Tahun 2020, penetapan pasangan calon pada tanggal 23 September 2020, sehingga terhitung mulai tanggal 23 September 2020 sampai dengan akhir masa jabatan dilarang melakukan penggantian pejabat kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Notabene akhir masa jabatan ini menyesuaikan bagi tiap-tiap subyek pejabat. Tenggang waktu pasca pilkada berlaku untuk ketentuan ini.
Landasan teleologis dari pasal ini dapat dimaknai yakni, pertama, agar subyek hukum yang diatur tidak menggunakan wewenangnya sebagai pemilik kekuasaan untuk mengintimidasi, memberikan rasa takut, memberikan efek kecemasan bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam melaksanakan hak pilihnya berdasarkan hati nuraninya; Kedua, agar tidak menggunakan kewenangan mutasi dalam mencari suara untuk memilihnya dan atau melarang PNS untuk memilih calon lain; Ketiga, menciptakan stabilitas pemerintahan dalam lingkup Pemerintahan Daerah; Keempat, mencegah itikad buruk bagi calon selaku petahana untuk menyalahgunakan kekuasaannya melakukan hal-hal yang menguntungkan baginya dalam pemilihan kepala daerah.
Pergantian pejabat adalah kegiatan menggantikan pejabat ASN dalam lingkungan pemerintah daerah dari satu jabatan ke jabatan lain baik secara vertikal maupun horizontal.
Penggantian Pejabat sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 ayat (2) UU 10 Tahun 2016 terdiri dari dua unsur, Pertama, Pejabat Struktural meliputi Pejabat Pimpinan Tinggi Madya, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Pejabat Administrator dan Pejabat Pengawas; Kedua, Pejabat Fungsional yang diberi tugas tambahan memimpin satuan/unit kerja meliputi Kepala Sekolah dan Kepala Puskesmas (angka II.3 SE Mendagri No. 273/487/SJ).
Hal ini sejalan pula dengan Pejabat sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 ayat (2) UU 10 Tahun 2016 sebagaimana dalam Memorandum Koordinator Divisi Hukum Bawaslu Republik Indonesia Fritz Edward Siregar tertanggal 23 Januari 2020 halaman 9.
Terdapat hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan mutasi tersebut. Defenisi pejabat yang dapat dimutasi tidak digeneralisir sebagai semua pejabat.
Eksepsional, pengertian penggantian pejabat dalam Pasal 71 ayat (2) ini tidak termasuk di dalamnya, Pertama, mengisi kekosongan jabatan dengan sangat selektif, serta tidak melakukan mutase/rotasi dalam jabatan; Kedua, proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilaksanakan melalui seleksi terbuka sebagaimana ditentukan Pasal 108 UU ASN; dan Ketiga, apabila belum dilaksanakan seleksi terbuka, maka untuk mengisi kekosongan jabatan dapat diangkat Pelaksana Tugas (Plt) dengan mempedomani SE Kepala BKN Nomor 2/SE/VII/2019 tanggal 30 Juli 2019 (angka II.5 SE Mendagri No. 273/487/SJ).
Penggantian pejabat dalam kategori inilah yang dikecualikan mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Sebagai sanksi atas perbuatan mutasi yang dilakukan oleh petahana, terdapat sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 71 ayat 5 Undang-Undang Pilkada, yang berbunyi :
“Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”
Siapa yang memberikan sanksi atas perbuatan petahana yang melakukan mutasi adalah KPU.
Sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon setidaknya dimaknai dua hal, Pertama, bakal calon yang berstatus petahana dan telah melakukan mutasi sebelum penetapan calon maka yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga tidak ditetapkan sebagai calon; Kedua, petahana yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai calon dan melakukan mutasi sebelum atau saat menjadi calon maka yang bersangkutan dibatalkan sebagai calon (peserta Pilkada).
Lebih lanjut, Pasal 71 ayat (2) ini mengandung anasir-anasir pasal sebagai berikut:
Subjek hukum yang dilarang adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota. Termasuk di dalamnya Penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 ayat (4).
Subjek hukum yang dilarang Pasal 72 ayat (2) dan ayat (4) tidak hanya bagi petahana, tetapi juga non petahana.
Hal tersebut merujuk pada tafsir sistematis Pasal 71 ayat (5) dan ayat (6) sebagai satu kesatuan pasal, karena kedua ayat tersebut berkenaan dengan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ayat (2) yang ditidak hanya ditujukan bagi petahana, tetapi juga bagi non petahana.
Tafsir yang demikian juga sejalan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 273/487/SJ angka II yang menentukan ”Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 UU 10 Tahun 2016 adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang menyelenggarakan pilkada baik yang mencalonkan maupun tidak mencalonkan.
Sebagai pengecualian, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran; atau mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran; atau berhalangan tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak termasuk dalam pengertian petahana (SE KPU No. 302/KPU/VI/2015).
Ketentuan larangan mutasi ini sangat jelas pada frasa “sampai dengan akhir masa jabatan”. Berdasarkan ketentuan pada Lampiran PKPU No. 10 Tahun 2020, penetapan pasangan calon pada tanggal 23 September 2020, sehingga terhitung mulai tanggal 23 September 2020 sampai dengan akhir masa jabatan dilarang melakukan penggantian pejabat kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Notabene akhir masa jabatan adalah menyesuaikan bagi tiap-tiap subyek pejabat. Tenggang waktu pasca Pilkada berlaku untuk ketentuan ini.
Faktual, bagi pejabat yang tidak pro terhadap petahana, tentu akan mendapat ancaman mutasi. Adapun yang pro petahana cenderung aman dengan jabatannya. Irisan konflik politik ini sangat sulit dipisahkan dari Meryt System sebagaimana esensi reformasi birokrasi yang selama ini digadang-gadang.
Secara substansi, telah banyak norma hukum yang mengatur soal ini. Namun, begitulah, manusia yang ingin melanggar hukum akan selalu melihat celahnya (legal gap) untuk melegitimasi perbuatannya sebagai perbuatan yang sah dan dibenarkan oleh hukum, meski tidak dibenarkan secara etik dan tujuan hukum itu sendiri.
Bagaimanapun, pergantian pejabat tidak boleh didasari pada syahwat politik. Pertanyaannya adalah untuk apa kita berhukum jika tidak berkehendak pada tujuannya.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara/Direktur Kantor Hukum Almuja