- Jokowi tampaknya menangkap ketidakpuasan di kalangan TNI, dan kebutuhan menyalurkan para perwira menengah itu sebagai sebuah peluang “menggoda” TNI.
Oleh : Hersubeno Arief
Hanya selang tujuh bulan setelah Jokowi dilantik menjadi presiden, pakar militer dan politik DR Salim Said pernah mengingatkan “Jangan rayu tentara mengerjakan tugas sipil!”
Peringatan keras itu disampaikan Salim Said ketika diundang makan siang di Istana (5/6/2015). “Reformasi kita itu salah satu hasilnya TNI tidak lagi memerankan peran politik, kembali menjadi profesional. Oleh sebab itu, saya harap Presiden ingatkan aparat jangan rayu tentara kerjakan pekerjaan sipil,” ujar Salim kepada wartawan usai pertemuan.
Salim rupanya melihat ada tanda-tanda rezim Jokowi mulai melibatkan militer dalam bidang yang seharusnya menjadi tugas aparat sipil. Dia misalnya melihat tentara menjaga penjara, stasiun, dan bandara. “Itu kan sudah ada yang bertugas, kerjakan tugas kalian!,” tegasnya.
Soal keterlibatan militer dalam dalam politik praktis ini menjadi fokus bahasan pada desertasi doktoralnya di Ohio University, Columbus, AS (1985) dengan judul : Sejarah dan Politik Tentara Indonesia (Genesis of Power General Sudirman and The Indonesian Military in Politics 1945-49).
Salim menyebut keterlibatan TNI dalam politik karena adanya dua faktor. Yakni faktor pendorong ( push) dari internal TNI dan faktor tarikan (pull) dari kekuatan politik sipil.
Politisi sipil, kata Salim, kurang percaya diri dalam berpolitik secara demokratis, dan masih memandang TNI sebagai kekuatan politik yang perlu dimanfaatkan untuk melawan pesaingnya.
Godaan menggandeng TNI dalam politik karena merupakan langkah cepat dan mudah dalam meraih kekuasaan. “Muncul kecenderungan posisi tawar politisi sipil semakin kuat ketika berhasil menggandeng pengaruh TNI.”
Beberapa tahun sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (2004) saat masih menjadi Menkopolhukam juga pernah mengingatkan agar politisi tidak menggoda, mencampuri, dan mengajak TNI untuk masuk kembali ke politik praktis. Sebaliknya hasrat TNI untuk kembali ke politik praktis harus dihilangkan.
SBY adalah salah satu jenderal yang ikut merumuskan konsep TNI meninggalkan politik praktis, atau sering disebut sebagai back to basic.
Jokowi lebih berkepentingan
Dengan menggunakan teori push dan pull dari DR Salim Said kita bisa menganalisis rencana pemerintah menempatkan para perwira militer di 15 kementerian, departemen, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Dari faktor internal saat ini ada kebutuhan mendesak dari TNI untuk segera menyelesaikan masalah menumpuknya perwira menengah tanpa jabatan. Ada 500 orang perwira berpangkat kolonel yang menjadi pengangguran tak kentara. Soal ini harus segera diselesaikan agar tidak menjadi bom waktu.
Di kalangan internal TNI juga muncul ketidak puasan, karena peran Polri yang semakin besar. Adik bungsu TNI sewaktu masih bergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sekarang jauh lebih berperan dibandingkan TNI.
Rentang kekuasaan Polri sangat luas, mulai dari masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), masalah administrasi dan keuangan negara, masalah terorisme, sampai narkotika. Polisi ikut menangani masalah pajak kendaraan bermotor, ketertiban lalu lintas, sampai masalah kriminalitas.
Sejumlah jabatan tinggi di pemerintahan saat ini juga dipegang oleh pensiunan perwira tinggi. Mulai dari Kementerian PAN & RB, Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BNN, Kepala Bulog, sampai sejumlah Dirjen di berbagai departemen. Di luar itu Polri juga bisa menyalurkan sejumlah perwiranya untuk menjadi penyidik di KPK. ” Polisi sudah overloaded,” ujar mantan Komandan Marinir Letjen TNI (Purn) Suharto.
Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI : Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Namun demikian, dalam pasal yang sama, Undang-Undang tersebut memberikan kemungkinan bagi anggota TNI untuk menduduki jabatan struktural di 10 (sepuluh) instansi sipil, yaitu: (1) Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; (2) Kementerian Pertahanan; (3) Sekretariat Militer Presiden; (4)Badan Intelijen Negara; (5) Lembaga Sandi Negara; (6) Lembaga Ketahanan Nasional; (7) Dewan Ketahanan Nasional; (8) Badan Search and Rescue Nasional; (9) Badan Narkotika Nasional; dan (10) Mahkamah Agung.
Dalam pandangan prajurit TNI, anggota Polri jauh lebih sejahtera. Soal ini menurut Suharto sering menimbulkan kecemburuan di kalangan prajurit. Secara guyon dia mengutip penjelasan seorang prajurit,” Bagaimana ya ndan? Kita gajiannya bulanan. Mereka gajian setiap hari.”
Bagaimana dengan faktor tarikan kepentingan dari sudut Jokowi? Sudah cukup banyak tanda-tanda dia ingin menggandeng dan merangkul TNI. Jokowi misalnya menaikkan tunjangan Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI lebih dari 700%. Jumlah itu setara dengan yang diterima oleh Babinkamtibmas Polri. Terhitung tahun 2019 pemerintah juga menaikkan gaji TNI-Polri sebesar 5%.
Ada wacana dari Kepala Staf Kantor Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko untuk menambah jumlah anggota Babinsa. Setiap desa, satu orang Babinsa. Saat ini seorang anggota Babinsa bertanggung jawab sampai lima desa.
Tak lama setelah itu presiden mengumpulkan 4.500 orang Babinsa dari seluruh Indonesia di Lanud Husein Sasatranegara, Bandung (17/7/2018). Kepada para Babinsa dia minta agar mereka menjelaskan kepada masyarakat bahwa isu dirinya keturunan PKI tidak benar.
Jokowi juga meminta agar anggota TNI dan Polri menjelaskan keberhasilan kinerja pemerintahan kepada masyarakat. Hal itu disampaikan ketika memberi pengarahan kepada Siswa Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI dan Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespimti) Polri Tahun 2018 di Istana Negara (23/8/2018).
Sebagai respon atas banyaknya kolonel yang menganggur, Jokowi menjanjikan adanya penambahan 60 pos jabatan jenderal. Jokowi menyampaikan hal itu pada Rapim TNI-Polri di Istana Merdeka (29/1). Jokowi juga memperpanjang usia pensiun dari 53 tahun menjadi 58 tahun.
Jokowi tampaknya menangkap ketidakpuasan di kalangan TNI, dan kebutuhan menyalurkan para perwira menengah itu sebagai sebuah peluang “menggoda” TNI.
Dengan sistem pemilu serentak, sangat sulit baginya mengandalkan mesin politik untuk memenangkan pilpres. Partai-partai politik lebih fokus untuk memenangkan pileg. Dia juga tidak bisa mengandalkan relawan. Dia menghadapi sebuah realitas, relawan pendukungnya tidak lagi militan seperti pada Pilpres 2014.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengandalkan mesin birokrasi, intelijen, Polri, dan TNI. Sejauh ini Jokowi terlihat sudah berhasil melakukan konsolidasi pada birokrasi, intelijen, dan Polri. Tinggal TNI yang perlu digarap lebih serius.
Tantangan memang cukup berat. Jokowi akan menghadapi penentangan yang cukup luas dari kalangan koalisi masyarakat sipil dan internal TNI. Namun jika sukses, hasilnya cukup sepadan. Mengapa tidak dicoba.
Dengan memiliki Babinsa TNI yang bisa diduetkan dengan Babinkamtibmas Polri, Jokowi akan memiliki mesin politik yang sangat efektif dan efesien, sampai ke desa-desa. Hal itu akan sulit ditandingi oleh kompetitornya Prabowo, sekalipun mereka memiliki relawan emak-emak yang sangat militan.
Sekarang tinggal tergantung bagaimana sikap para pimpinan TNI. Apakah persoalan membengkaknya sumber daya manusia, dan kecemburuan terhadap Polri cukup sepadan ditukar guling dengan mendukung kembali Jokowi sebagai presiden. Harga yang harus dibayar sangat mahal : Kembalinya Dwifungsi TNI.
Melihat latar belakang para pimpinan TNI saat ini, tampaknya keinginan Jokowi dan para penasehatnya akan menghadapi tantangan besar. Pimpinan TNI saat ini adalah angkatan 80-an. Mayoritas mengenyam pendidikan Barat, yang menganut paham militer tidak mencampuri kehidupan politik (under civilian control).
Mereka pasti tidak ingin dicatat dalam sejarah sebagai generasi TNI yang mengkhianati reformasi dan menghancurkan demokrasi. end
Sumber: hersubenoarief.com