NH Dini: Pada Sebuah Kapal, Pada Sebuah Tanjakan

READ.ID,- Sulis Bambang menerima pesan mengagetkan Selasa (4/12) sekitar tengah hari. Karibnya, Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang dikenal sebagai NH Dini, dikabarkan mengalami kecelakaan. Sulis dan NH Dini telah bersahabat selama lebih dari 30 tahun. Keduanya pegiat sastra. NH Dini adalah salah satu perempuan novelis utama di Indonesia, sedangkan Sulis adalah penulis puisi dan pengelola Bengkel Sastra Taman Maluku di Semarang, Jawa Tengah.

Di rumah sakit, Sulis, kerabat dan kawan-kawan NH Dini berkumpul menunggu proses medis dilakukan. “Waktu itu saya berkata, Mbak Dini ini Sulis. Lalu beliau membuka matanya. Beliau mengatakan, doakan saya ya Jeng, doakan saya,” kata Sulis kepada VOA.


banner 468x60

Namun nasib berkata lain, sastrawan tangguh itu tak kuasa melawan luka parah di kepalanya. Dokter menyatakan NH Dini meninggal pada Selasa sore kemarin.

Sulis dan NH Dini adalah sahabat kental. Perempuan berumur 60 tahun ini menemani NH Dini pergi ke Frankfurt Book Fair, Jerman pada Oktober 2015. Begitu pula ketika NH Dini menerima Lifetime Achievement Award dalam acara Ubud Writers & Readers Festival 2017 (UWRF). Penulis yang meninggal pada usia 82 tahun itu mengajak serta Sulis Bambang menerima penghargaan di Bali, Oktober 2017.

Diceritakan Sulis, NH Dini masih terus menulis di usia senja. “Beberapa tahun terakhir ini kondisinya sangat sehat, beliau masih aktif menulis. Terakhir bukunya adalah Gunung Ungaran. Bagi kami, perempuan-perempuan Semarang, Bu Dini adalah tokoh yang sangat kuat, sangat mandiri, dan tokoh pejuang kebudayaan. Dia adalah perempuan yang penuh percaya diri dan selalu memperjuangkan keadilan, tidak hanya untuk perempuan tetapi untuk semua.”

Sulis menyebut, kepergian NH Dini adalah kehilangan besar bagi komunitas sastra di Semarang dan Indonesia.

Pada Sebuah Kapal

NH Dini melahirkan sejumlah novel dan kumpulan cerpen. Beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Hati yang Damai, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Sekayu, Pertemuan Dua Hati, Keberangkatan, La Barka, Istri Konsul, Namaku Hiroko, dan Sebuah Lorong di Kotaku. Novelnya yang terakhir berjudul Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya. Dia menulis novel itu selama tinggal di Wisma Lansia Harapan Asri, Banyumanik, Semarang.

Salah satu novelnya yang paling populer adalah “Pada Sebuah Kapal”. Mungkin, ini adalah novel yang paling diingat pembaca di tanah air dibandingkan dengan karya-karya lainnya. Salah satu alasannya, menurut penulis novel R Toto Sugiarto, adalah karena dalam karyanya NH Dini memiliki gaya bercerita yang lebih kaya. Teknik alur dan teknik penokohannya mendobrak pakem yang sudah ada pada tahun 70-an.

“Pada Sebuah Kapal” berkisah tentang dua tokoh, penari dan pelaut. NH Dini membagi novelnya menjadi dua bagian, sehingga masing-masing menjalani peran sebagai protagonis sekaligus antagonis. Lebih dari itu, Toto juga melihat NH Dini berperan bagi perempuan Indonesia untuk lebih terbuka dalam soal-soal terkait seks. “Ini mungkin mengapa NH Dini banyak dinilai dari segi-segi feminisnya, karena dia mengungkapkan sikap dan pandangan tokoh novel yang sebagian besar perempuan, dalam menyikapi seks. NH Dini menampilkan tokoh yang cenderung liberal, menyikapi seks secara lebih permisif,” kata Toto Sugiarto.

Toto menambahkan, para pembaca remaja dan dewasa tahun 70-an dan 80-an, tidak hanya menikmati sebuah cerita. Mereka juga mendapatkan pendidikan seks dari novel NH Dini. “Meskipun jika ditilik lebih jauh, tingkat kevulgarannya masih di bawah novel lain, seperti Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Pada eranya, menurut saya, novel-novel ini pas dengan pasar remaja ketika itu,” tambah Toto.

Novel Berbasis Kenangan

Dosen dan pengamat sastra, Dr Aprinus Salam setuju bahwa “Pada Sebuah Kapal” merupakan salah satu karya terbaik NH Dini.

“Saya membaca sebagian besar karyanya. Saya katakan, ‘Pada Sebuah Kapal’ termasuk magnum opus (adikarya) dia. Secara kesastraan, pada masa itu dia menawarkan sesuatu yang baru dari sudut pandang yang berbeda,” katanya.

Aprinus Salam adalah pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menurutnya, salah satu kelebihan NH Dini sebagai pengarang adalah kemampuan mengelola realisme tanpa memerlukan sensasi yang berlebihan. Dalam realisme yang begitu detail, tambahnya, NH Dini berpesan bahwa hidup tidak memerlukan sensasi. Sebagai penulis, NH Dini juga menampilkan karya di mana tokoh-tokohnya tampil nyata. Pembaca mampu menangkap sisi manusiawi setiap tokoh dan perasaan-perasaan yang menyertai mereka.

Di mata Aprinus, NH Dini melalui karyanya adalah feminis pada masanya. Dalam konteks kekinian apa yang dipaparkan itu sudah kehilangan daya, karena wacana feminisme terus berkembang.

Dalam sebuah kesempatan, NH Dini pernah mengatakan bahwa novelnya adalah kisah hidupnya. Penikmat sastra di Indonesia pun percaya, NH Dini menulis berdasar apa yang terjadi pada dirinya. Novel-novel NH Dini adalah sebuah memoar. Dalam bahasa Aprinus, kemampuan realisme yang detail berbasis kenangan itu, menjadi ciri khas NH Dini.

“Saya kira sebagian karyanya berbasis kenangan, seperti tadi saya bilang kenangan tentang hidupnya. Tetapi yang namanya fiksi ada proses dramatisasi, walaupun dia tidak bermaksud membangun sensasi. Dia mencoba mengelola realisme secara wajar, sehingga dia tidak terjebak dalam stereotip bahwa fiksi perlu ada sensasi tertentu. Tetapi kalau toh dikaitkan dengan hidupnya, fiksi tetap fiksi. Kemampuan dia mengelola realisme, menembus batas-batas sensasi, itu yang paling penting,” jelas Aprianus.

Pada Sebuah Tanjakan

NH Dini melewatkan masa tuanya di sejumlah wisma lansia. Sebelum pindah Semarang, tahun 2003 dia tinggal di Rumah Lansia Yayasan Wredha Mulya di Yogyakarta. Di tempat ini, dia bahkan mendirikan Pondok Baca NH Dini dengan dukungan GKR Hemas. Koleksi bukunya masih dapat dinikmati sampai hari ini.

Keputusan untuk tinggal terpisah dari keluarga ini merupakan bagian dari sikapnya yang mandiri.

Selain penulis, NH Dini juga pernah bekerja sebagai pramugari pada pertengahan tahun 1950-an. Dia kemudian menikah dengan Yves Coffin, konsul Perancis di Kobe, Jepang pada 1960. Mereka dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang, yang kini menetap di Kanada dan Pierre Louis Padang atau kini dikenal sebagai Pierre Coffin, yang menetap di Perancis.

NH Dini mengalami kecelakaan hebat di Semarang, Selasa lalu. Truk yang mengalami kerusakan mesin, tak kuasa menanjak jalan, mundur dan menabrak taksi di mana NH Dini ada di dalamnya. Luka di kepala menjadikan perempuan lincah ini meninggal dunia. Sesuai pesannya, jenazah NH Dini dikremasi di Ambarawa.

Kisah hidupnya dari satu negara ke negara lain dan berliku, berakhir di Semarang. Dia berpulang karena sebuah kecelakaan, pada sebuah tanjakan.

Sumber: VOA Indonesia

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90
banner 728x90
banner 728x90

Leave a Reply