READ.ID – Tepat pukul 21.00 Waktu Arab Saudi, suasana di Masjid Nabawi riuh oleh jamaah yang berbondong-bondong kembali ke hotelnya masing-masing, selepas melaksanakan Shalat Isya.
Bagi jamaah asal Indonesia, khususnya jamaah laki-laki, ada hal yang kurang jika tidak “nongkrong” terlebih dahulu untuk menikmati malam yang terus tergelincir di kota suci ini, baik sebatas ngobrol dengan kawan baru, maupun silih bertukar rasa dari secangkir kopi.
Rasa-rasanya, masyarakat Arab Saudi sudah lumrah dengan hal tersebut. Mereka, bahkan, saling bertukar kopi dan berbagi cerita.
Di Nabawi, tak sedikit warga, utamanya penjual, yang bisa berbahasa Indonesia karena memang jamaah haji dan umrah asal Tanah Air mendominasi setiap tahunnya.
Layaknya di Indonesia, obrolan mencair dengan sendirinya. Tiap-tiap calon haji yang berbeda suku, budaya, dan bahasa silih mencerna cerita-cerita menakjubkan yang dialaminya saat di Tanah Suci.
Pemandangan tersebut selalu dapat dijumpai di pelataran-pelataran hotel tempat jamaah calon haji Indonesia menginap. Bahkan, “nongkrong” ini bisa menjadi penanda bahwa hotel tersebut dikuasai oleh jamaah Indonesia.
Apalagi jarak antara satu hotel dengan hotel lain yang ditempati jamaah Indonesia dalam satu sektor tidak terlalu jauh. Maka, tak heran jika ada yang bergerumul antara satu rombongan dari daerah satu dengan daerah lainnya.
Barulah ketika waktu sudah menunjukkan pukul 00.00, mereka kembali ke kamar untuk memulihkan energi menyambut hari esok.
“Saya seperti sedang berada di Indonesia, mas,” ujar Herman Santosa, seorang calon haji asal Kota Malang tersebut.
Di Madinah sendiri, Pemerintah membagi pemondokkan jamaah Indonesia ke dalam lima sektor. Kelima sektor tersebut mengelilingi Masjid Nabawi.
Jarak terdekat dari hotel ke Nabawi hanya 50 meteran, sedangkan yang terjauh sekitar 350 meter. Hanya saja, rasa-rasanya, jarak tidak menjadi masalah karena ramainya Masjid Nabawi membuat perjalanan menjadi tak begitu melelahkan.
Berbeda dengan jamaah dari negara lainnya, pemandangan kongkow dan bertukar kopi sangat sulit sekali ditemukan. Mereka rata-rata langsung beristirahat ke kamarnya masing-masing. Malam pun terasa hanya milik jamaah calon haji Indonesia.
Lantas ke mana ibu-ibu? Ibu-ibu sejatinya tidak ikut nongkrong di pelataran hotel. Mereka justru memenuhi setiap sudut pertokoan di sekitar area Masjid Nabawi dan hotel.
Pemandangan ini bisa dijumpai setiap harinya. Rayuan dari para penjual lewat pemberian diskon seolah menghipnotis dan meluluhkan hati ibu-ibu untuk berbelanja.
“Mumpung di sini A’, kapan lagi kita ke Tanah Suci,” kata Kokom, warga Cianjur.
Tidak hanya perempuan dan laki-laki, para petugas haji juga melepas lelah dengan berkumpul sembari menikmati kopi. Usai melaksanakan tugas, biasanya mereka akan mencari tempat nongkrong.
Awalnya hanya dua orang, tapi semakin larut jumlahnya akan semakin banyak yang ikut berkumpul. Meski berbeda tugas, para petugas haji ini silih bertukar cerita soal keajaiban-keajaiban yang terjadi.
Latar belakang
Hal yang paling menarik untuk dicermati adalah latar belakang peserta calon haji itu berasal. Dari 88.987 calon haji gelombang pertama yang tiba di Madinah, sebanyak 98,52 persennya adalah mereka yang belum pernah berhaji.
Selain itu, tak sedikit dari para peserta calon haji yang benar-benar belum pernah merasakan naik pesawat, pergi ke luar kota, maupun akrab dengan fasilitas-fasilitas pendukung.
Saat fase kedatangan awal rombongan peserta haji, beberapa waktu lalu, ada peserta haji, bahkan tidak tahu cara menggunakan toilet duduk, cara mandi menggunakan shower, memasukkan kunci hotel, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, masyarakat Indonesia yang terkenal akan keramahannya, tercermin pula dalam aktivitas mereka selama di Madinah. Antara satu peserta haji dengan peserta lainnya silih membantu dan mengingatkan.
Peserta haji yang masih berusia muda, dengan sabar membimbing mereka yang berusia lanjut. Karena dalam satu kamar, tidak ada pengelompokan berdasarkan usia, antara muda dan tua bercampur.
Kondisi ini juga menjadi strategi dari Kementerian Agama, agar mereka yang baru merasakan perbedaan suasana antara di Indonesia dan Arab Saudi tidak kaget.
Petugas haji
Hal lain yang membuat Madinah serasa di Indonesia adalah kehadiran para petugas haji yang berjaga, baik di sekitar hotel maupun di pelataran Masjid Nabawi.
Para petugas bersiaga 24 jam dengan pembagian sif kerja. Mengingat Masjid Nabawi memiliki luas 165.000 m2, dengan 95 pintu, dan 10 buah menara, membuat peserta haji yang tersasar mudah untuk dijumpai.
Di sinilah peran petugas membantu jamaah, baik mengantarkan ke hotelnya masing-masing, memijat kaki, memberi pertolongan apabila sakit, hingga menemukan kembali rombongan yang terpisah.
Mungkin hanya Indonesia saja yang memiliki petugas haji dengan jumlah besar. Mengingat Indonesia memiliki jumlah peserta haji yang paling banyak serta latar belakang dan usia yang beragam, sulit rasanya jika tidak dibantu oleh petugas haji.
Dengan banyaknya petugas haji, kendala bahasa bukan menjadi kendala lagi, apalagi tak sedikit petugas haji yang memang mukimin (tinggal di Arab untuk belajar dan bekerja).
Dengan demikian, saat jamaah membutuhkan sesuatu atau terjerat suatu masalah, petugas haji siap siaga membantu mereka. Untuk mencari petugas haji di Nabawi pun tidaklah sulit. Rompi khusus serta kemeja putih berbatik menjadi ciri mereka.
Terkenal ramah
Satu hal yang membuat masyarakat Indonesia terkenal di Arab Saudi adalah keramahannya. Jamaah calon haji Indonesia terkenal suka melempar senyum dan sapa kepada jamaah dari negara lain.
Selain itu, jamaah asal Indonesia suka memberi sedekah berupa uang ke para pekerja, utamanya pekerja kebersihan, di Masjid Nabawi maupun sekitar hotel.
Tak jarang pula menemukan jamaah yang berbagi makanan dan kopi kepada para pekerja yang rata-rata berasal dari India, Pakistan, dan Bangladesh itu.
Mereka kerap ditemukan berbincang meski antara satu dengan yang lainnya tidak mengerti apa yang diucapkan. Mereka silih tertawa bersama, menertawakan hidup yang penuh kejutan.
Hanya saja, rasa iba terlalu tinggi itu kadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka kerap dimintai uang oleh seseorang dari negara lain.
Terlepas dari itu, jamaah Indonesia tidak bisa melepaskan kebiasaan yang sudah melekat dalam sanubarinya. Barangkali nongkrong adalah pelepas dahaga akan kerinduannya terhadap Tanah Air.(ANTARA.READ.ID)