Ode untuk Sang Kyai

Oleh: Christopel Paino

Pengurus Lakpesdam NU Kota Gorontalo

Ramadan 2009, 10 tahun yang lalu. Sebuah email masuk dari editor Majalah Tempo, tempat saya bekerja ketika itu. Isinya adalah berlarik-larik tugas untuk menulis laporan khusus bulan ramadan dari Gorontalo. Dalam pesan itu tersebutlah nama K.H Abdul Ghofir Nawawi, seorang pimpinan pondok pesantren, di Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato. Lokasinya tepat berada disebuah desa yang berakronim Banuroja. Nama yang merujuk pada entitas Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa.

Setelah membaca tugas editor itu, saya bertanya ke beberapa kerabat tentang sosok sang kyia. Ada yang tahu dan ada yang baru mendengar. Namun saya beruntung, ternyata seorang kawan dekat, Yudin Mamonto; memori masa kecilnya tumbuh di Banuroja. Ayahnya kawan dekat sang kyai. Esoknya, berangkatlah kami berdua menuju pesantren, selepas buka puasa.

Dalam perjalanan, motor yang kami kendarai bermasalah dengan lampu utamanya. Perjalanan menjadi lambat. Kami tiba di pesantren menjelang sahur. Praktis saat sebagian penghuni pesantren terlelap, saya mengetuk pintu rumah sang kyai, dan membangunkannya. Ketika pintu terbuka, wajah sang kyai yang masih ngantuk, tampak kaget melihat dua orang tamu tak diundang berdiri dihadapannya.

“Anda siapa dan dari mana?”

Kalimat tanya dari kyai itu sudah saya prediksikan dari awal. Segeralah saya memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud serta tujuan kedatangan ke pesantren. Kyai hanya mengangguk dengan mata yang suntuk, dan tiba-tiba memanggil salah satu santrinya.

“Tolong sediakan tempat istirahat buat tamu kita, sekaligus santap sahur mereka,” perintah kyai kepada santri.

“Silahkan istirahat dulu. Setelah sahur, saya sholat subuh di masjid. Kalau berkenan kita bertemu di masjid,” katanya kepada kami.

Saya langsung mengikuti perintah kyai. Usai sahur, saya keliling-keliling melihat pesantren. Merasakan suasananya. Mengambil gambar jika diperlukan; semakin lama, santri-santri mulai berduyun-duyun menuju masjid. Saya mengikuti mereka. Di dalamnya, kyai ternyata sudah duduk bersila menghadap ke arah santri memberikan ceramah sebelum sholat dimulai.

Setelah sholat subuh itu, saya tetap tak beranjak dari masjid. Sampai para santri satu persatu kembali ke bilik-bilik dan yang tersisa tinggal saya dan kyai. Kami lalu berdiskusi ringan. Tak ada wawancara di sana. Saya menganjurkan kyai untuk beristirahat terlebih dulu jika memang membutuhkannya; dan saya baru akan melakukan wawancara di rumahnya. Kyai setuju.

***
Ketika Gorontalo berdiri sebagai sebuah provinsi, berpisah dari Sulawesi Utara, Kyai Ghofir ternyata memiliki andil didalamnya. Pengetahuan umum saya tentang sesiapa pendiri Provinsi Gorontalo hanya tertuju kepeda beberapa tokoh yang sekarang menjadi elit politik. Topik ini menjadi bagian dari pembicaraan saya di pagi itu dengan Kyai Ghofir.

Kyai Ghofir sendiri menjadi salah satu tim perumus pembentukan Provinsi Gorontalo. Masa itu, di tahun 2000, Presiden Republik Indonesia adalah K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ternyata, guru Kyai Ghofir adalah murid langsung dari Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, yang tak lain adalah kakek Gus Dur. Kepeloporan Kyai Ghofir berlanjut. Ketika Pohuwato berkeinginan menjadi daerah otonom, sang kyai menjadi tim inti pembentukan kabupaten di tahun 2002.

Kyai Ghofir lahir pada Senin, 27 Oktober 1947 atau 17 Ramadhan 1366 H. Masa kecilnya banyak dihabiskan di tanah kelahirannya, Cirebon, Jawa Barat. Ia pernah memperoleh beasiswa dan gelar MA (Honoris Causa) disiplin ilmu Perbandingan Agama dari Rabithan Alam Islami, Timur Tengah di tahun 1978. Di tahun itu pula, menjadi awal mula Kyai Ghofir menginjakan kaki ke Gorontalo.

Kala itu Kyai Ghofir lolos dalam seleksi nasional Dai Pembangunan. Ia ditempatkan di pondok pesantren Al Huda, Kota Gorontalo. Sembari mengajar, Kyai Ghofir melakukan dakwah. Namun isi dakwahnya membuat merah kuping rezim orde baru saat itu. Sang kyai beberapa kali bahkan dibujuk untuk menjadi abdi negara. Misalkan, dengan menjadi pegawai negeri di Departemen Agama, namun ditolak mentah-mentah.

Di tahun 1983, Kyai Ghofir datang ke daerah transmigrasi di Marisa,-kelak wilayah itu dinamai Kecamatan Randangan dan Kecamatan Taluditi. Marisa masih menjadi bagian dari Kabupaten Gorontalo saat itu. Sang Kyai melakukan dakwah dari pintu ke pintu, seorang diri. Hingga akhirnya di tahun 1988, ia berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang, dan mendirikan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

Padahal, tokoh masyarakat itu datang dari beragam etnis dan agama; Bali, Nusa Tenggara (Lombok), Gorontalo, dan Jawa. Hingga menjadikan nama wilayah itu sebuah desa yang kini disebut Banuroja. Nama Banuroja kemudian melekat pada nama pesantren. Jika ada yang menyebut nama pesantren Salafiyah Syafi’iyah, maka tidak bisa dipisahkan dari Banuroja, pun begitu sebaliknya. Dan tokoh dibalik itu adalah Kyai Ghofir sendiri.

Saya lalu mengkonfirmasi untuk menguji apa yang diungkapkan oleh Kyai Ghofir dengan mendatangi rumah para tokoh agama lain. Mereka adalah I Wayan Adha dari pemuka agama Hindu dan Jack Detamorgandey dari pemuka agama Kristen. Mereka membenarkan ucapan Kyai Ghofir. Mereka menyebut Banuroja adalah sebuah contoh keharmonisan pemeluk antar umat agama di Indonesia.

“Kalau kami hari raya Nyepi, volume suara azan akan mengecil dari toa masjid,” ungkap I Wayan Adha ketika itu.

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah ini oleh Kyai Ghofir disebut sebagai benteng keberagaman dan kerukunan antar umat beragama; tidak jauh dari pesantren, berdiri gereja protestan. Selain gereja, deretan Pura kecil dan Pura utama, tempat ibadah umat Hindu menghiasai kiri kanan jalan. Bahkan ketika terjadi konflik kemanusiaan bernuansa agama antara Islam dan Kristen di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah; Kyai Ghofir bersama tokoh lintas agama di Banuroja menjadi pintu utama yang menghadang para penyebar provokasi agama itu masuk lebih dalam ke wilayah Gorontalo.

“Beberapa orang yang berasal dari Poso itu singgah ke pesantren ini, sholat di masjid. Mereka mengajak untuk berjihad melawan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Saya tolak dan saya usir,” cerita Kyai Ghofir.

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang didirikan oleh Kyai Ghofir adalah simbol kerukunan umat beragama. Hal inilah yang membuat banyak akademisi dari berbagai perguruan tinggi tertarik melakukan penelitian di sini. Banuroja hingga Taluditi dibangun oleh Kyai Ghofir sebagai miniatur keberagaman dan toleransi umat beragama Indonesia. Kyai Ghofir berhasil memperkuat kebhinekaan di tempat ini, hingga menjadi ikonik.

***
Senin, 20 Mei 2019. Ramadan ke 15. Kabar duka itu menyebar dari grup Whatsapp Gus Durian Gorontalo dan Lakpesdam NU Kota Gorontalo. Isinya mengabarkan K.H Abdul Ghofir Nawawi telah berpulang. Kyai Ghofir menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 13.15 di Rumah Sakit Pohuwato. Sang kyai menyusul kepergian kekasih hatinya yang terlebih dahulu pergi di tahun 2006, untuk sama-sama menemui sang pemilik semesta, pemilik keabadian.

Gorontalo telah kehilangan sang kyai pelopor; tentang keberagaman, tentang arti toleransi.
Selamat jalan, Kyai. Apa yang dirintis, akan terus berjalan.*

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version