READ.ID – Ketua Serikat Pekerja Aneka Industri (SPAI) Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Gorontalo, Andrika Hasan, menilai PT Toba Bara Sejahtera tidak transparan soal data Tenaga Kerja Asing (TKA) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bakal didatangkan di Gorontalo Utara untuk pembangunan PLTU Sulbagut I.
Menurutnya, FSPMI sebagai organisasi buruh mestinya harus mengetahui data terkait perburuhan yang ada di Provinsi Gorontalo, akan tetapi hingga saat ini perusahaan begitu tertutup dan terlebih datanya tidak disampaikan secara terbuka.
“Ini kan akan dibentuk tim sosialisasi, tapi pihak perusahaan belum jelas mengatakan bahwa 227 TKA maupun TKI ini bekerja di bidang apa saja. Jadi harus jelas datanya,” kata Andrika, Rabu (15/7).
Andrika menyampaikan, pihaknya tidak pernah anti asing ataupun anti investor, apalagi dalam rangka percepatan pembangunan PLTU yang juga merupakan program pembangunan strategis nasional tersebut, akan tetapi harus terbuka dengan kedatangan TKA serta tidak melanggar aturan yang ada.
“Pada prinsipnya berkaitan dengan tenaga asing ini memang dibolehkan dalam Undang-Undang, 13 Tahun 2003. Ada juga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang tenaga kerja asing. Kemudian ada permenaker yang mengatur itu terkait dengan TKA,” ungkapnya.
Dalam aturan itu jelas, kata dia, TKA boleh dipekerjakan namun yang memiliki pekerja terampil (skilled worker) dalam bidang yang tidak dapat dikerjakan oleh pekerja lokal Gorontalo. Hal itu akan menjadi masalah jika TKA yang didatangkan malah pekerja tidak terampil (unskilled worker).
“Kalau memang pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh pekerja lokal, tidak apa-apa mendatangkan TKA. Sebab bisnis tenaga kerja asing ini bukan sesuatu yang haram, Undang-Undang membolehkan itu,” ujar Andrika.
Ia menekankan, tim pengawas Provinsi Gorontalo harus lebih diperkuat dalam memantau aktivitas perusahaan. Hal itu untuk memastikan apakah pekerjaan tenaga asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada sehingga tidak terjadi konflik dengan masyarakat lokal.
“Prinsipnya, karena pengalaman yang ada di Kabupaten Konawe dengan Sulawesi Selatan morowali itu terjadi penolakan. terjadi gejolak di kalangan masyarakat. Nah ini yang tidak kita inginkan terjadi di Gorontalo,” tandasnya.
(Aprie/RL/Read)