READ.ID– Kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rapat Kabinet Indonesia Maju (KIM) 18 Juni lalu masih misteri. Pengamat serta politisi maupun sebagian besar masyarakat masih mereka-reka, apa gerangan yang membuat lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) itu sampai demikian.
Apa karena Jokowi kesal kepada para pembantunya di kabinet disebabkan persoalan penanganan wabah pandemi virus Corona (Covid-19) yang sampai saat ini status bencana nasional bukan alam belum juga dicabut atau persoalan ekonomi Indonesia yang tidak tumbuh sehingga . membuat bekas walikota Solo itu melakukan tindakan demikian di depan para anggota KIM.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Muhammad Jamiludin Ritonga dalam bincang-bincang dengan Read.id di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (1/7) mengatakan, seorang pemimpin, layaknya manusia, marah itu adalah manusiawi.
Yang menjadi masalah, kata Jamil, kalau pemimpin marah kepada anak buahnya di depan umum atau dipertontonkan ke khalayak ramai. “Ini tentu tidak baik dan tidak menjadi contoh, sebab secara psikologis sangat dapat menjatuhkan moral anak buah atau bawahan. Dampaknya, tentu saja semakin merosot kinerja bawahan,” kata Jamil.
Dalam konteks komunikasi politik, lanjut bapak dua putra ini, pemimpin marah di depan umum dapat menurunkan kredibilitas yang bersangkutan, apalagi pemimpin itu seorang Presiden seperti Jokowi. Bahkan akibat mempertontonkan marahnya di depan umum, membuat citra pribadi dia menjadi buruk dalam penilaian masyarakat.
Penilaian itu bisa muncul, lanjut Jamil, karena pemimpin yang suka marah adalah sosok yang labil. Sosok seperti ini bakal berpengaruh dalam mengambil kebijakan, apalagi yang diputuskan itu nasib orang banyak seperti keputusan untuk rakyat Indonesia.
Selain itu, dalam budaya Jawa, pemimpin yang baik adalah sosok yang dapat menahan amarah di depan umum. Pemimpin seperti ini tidak akan pernah menunjukkan emosi yang meledak-ledak di depan orang banyak.
Apalagi amarah yang diiringi ancaman seperti reshuffle, seharusnya tidak perlu keluar dari seorang pemimpin Jokowi, presiden negara besar yang memimpin sekitar 270 juta jiwa.
Kalau memang kinerja anak buah buruk, rendah atau tidak seperti yang diinginkan, ini kan cukup dipanggil dengan memberi peringatan. Kalau sudah diperingatkan berulangkali kinerjanya tetap rendah, ya reshuffle saja. Kenapa harus marah-marah di depan umum. Presiden kan punya hak untuk itu, tanpa ada yang bisa menghalangi,” jelas Jamil.
Sebelumnya, analis politik yang Direktur Eksekutif sekaligus founder Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai sikap Presiden Jokowi marah di depan para menterinya pada sidang kabinet justru mempertontonkan kegagalannya dalam memimpin.
“Yang dipertontonkan di ruang publik ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Ini adalah dagelan politik yang agak memalukan. Saat yang sama sebetulnya presiden mengkonfirmasi, pengakuan atas kegagalannya dalam memerintah atau memimpin lewat kinerja menterinya yang inkompeten,” ucap Pangi, Selasa (30/6).
Pengamat yang akrab disapa dengan panggilan Ipang ini menilai, apa yang dilakukan bekas Gubernur DKI Jakarta itu sebagai upaya mencari kambing hitam demi menutupi kelemahannya sebagai presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. “Bagaimana mungkin kita mahfum, kegagalan pemerintahan tertumpu pada kelemahan pembantu presiden?” sambung Ipang.
Kemarahan pejabat di ruang publik, menurut laki-laki kelahiran nagari Buluh Rotan, Kabupaten Sijunjung ini, sinyal seringkali dijadikan sebagai alat politik. Langkah ini juga bagian dari strategi menggeser perhatian publik yang tadinya tertuju kepada kelemahan kepemimpinan seorang presiden, diarahkan pada kelemahan para pembantunya di kabinet.
Ipang berpandangan, item key performance indicator kegagalan pemerintah di tengah pandemi bisa dilihat dari persoalan bantuan sosial (bansos), ketenagakerjaan, isu sosial seperti Pancasila vs PKI dan masalah pengendalian penularan Covid-19. Karena itu, dia menyarankan ketimbang marah-marah di depan para menteri, akan jauh lebih berkelas bila Jokowi langsung mengeksekusi para menteri yang dianggap tidak mampu bekerja optimal di masa krisis ini.
“Langsung saja lakukan reshuffle senyap berbasis kinerja, bukan lagi waktunya reshuffle berbasis bagi-bagi kue kekuasaan. Tetapi harus berbasis Key Performance Indicator (KPI) yang terukur bukan penilaian berdasarkan like or dislike, asumsi, pikiran liar, berdasarkan penilaian klaim semata,” tutur Ipang.
Persoalannya, tambah Ipang, siapa yang menilai kinerja menteri? Apakah ada institusi resmi yang independen, misalnya seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Apakah Pak Jokowi menilai sendiri kinerja menterinya berdasarkan bisikan orang kepercayaan? Alat ukurnya berbasiskan apa?’
Untuk itu, Ipang menyarankan supaya ke depan seorang presiden tidak perlu lagi marah-marah dan menguliti kinerja menterinya di depan publik. Sebab, itu sama saja membuka aib pemerintahan itu sendiri. “Jauh lebih baik dan terhormat langsung saja di-reshuffle tanpa bising di ruang publik. Ngomel di depan menteri enggak menarik lagi dipertontonkan. Tidak zamannya menteri diceramahi pakai marah-marah segala,” demikian Pangi Syarwi Chaniago.
(Akhir R Tanjung)