READ.ID,- Budaya patriarki yang masih kental di tengah-tengah masyarakat menjadikan masih kaum perempuan rentan terhadap aksi kekerasan. Ketergantungan kepada kaum laki-laki atau kepada suami dalam berumah tangga, menjadikan perempuan bungkam ketika menerima perlakuan tidak menyenangkan ataupun kekerasan. Mereka takut jika bercerai, akan mengalami kesulitan ekonomi, terutama untuk anak-anak mereka.
Dalam acara Women’s Economic Empowerment: The Intersection with Domestic Violence, di @America, Jakarta, Rabu (23/1), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohana Yembise mengatakan perempuan di Indonesia masih belum “aman”, karena masih kerap mendapatkan kekerasan baik secara fisik maupun psikis dalam berbagai lingkungan seperti dalam berumah tangga, berpacaran , maupun dalam lingkungan pekerjaan. Tingkat perceraian yang masih tinggi di Indonesia, menambah daftar panjang penyebab kekerasan dan penelantaran terhadap kaum hawa ini.
Pemberdayaan ekonomi perempuan dinilai sebagai jalan keluar yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah kini menggelar berbagai program pelatihan agar perempuan, khususnya korban KDRT, mempunyai keahlian yang dapat membuat mereka memulai industri rumahan dan menghasilkan uang, dan tidak sepenuhnya bergantung kepada suami sebagai kepala keluarga.
“Kekerasan kan makin tinggi, perempuan korban karena kekerasan dilakukan oleh laki-laki, jadi perempuan mayoritas menjadi victim, dan itu menjadi perhatian kami/ kementerian untuk memperhatikan mereka apalagi sekarang tingkat perceraian semakin tinggi, nah kita berusaha supaya perempuan untuk mandiri secara ekonomi jangan tergantung sepenuhnya terhadap suami, dan itu yang kita lakukan dengan memberikan industri rumahan kepada ibu-ibu kebanyakan ibu-ibu korban KDRT termasuk ibu-ibu yang menganggap dirinya kepala keluarga, jumlahnya sekitar 15 juta di seluruh Indonesia, mungkin sudah semakin naik karena kalau dilihat angka lama hidup perempuan lebih tinggi dibanding angka lama hidup laki-laki, jadi itu menyebabkan perempuan semakin banyak,” ungkap Yohana.
Ditambahkannya, pemerintah pusat berupaya bekerja sama dengan pemda di seluruh Indonesia, untuk melakukan berbagai pelatihan dan penyuluhan dengan menggunakan APBD masing-masing daerah. Hal tersebut tidak hanya dilakukan kepada korban saja, namun menyasar kaum perempuan millenials agar tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma dan aturan yang berlaku. Seperti lari ke prostitusi online, sebagaimana yang terungkap baru-baru ini. Jadi pemberdayaan perempuan ini, kata Yohana harus dilakukan dalam berbagai bidang tidak hanya bidang ekonomi saja.
Yohanna juga mengajak semua perempuan Indonesia untuk bangkit, dan berlomba untuk menghasilkan sebuah prestasi dan karya, dan Yohanna yakin perempuan Indonesia bisa untuk melakukan hal itu, apalagi lebih dari setengah jumlah populasi manusia di Indonesia adalah kaum perempuan.
“Sosialisasi kita kan tetap jalankan terus, sekarang kita sudah masuk ke semua lini, perempuan yang masih muda, seperti contoh prostitusi online banyak memberikan penyuluhan kepada perempuan, bukan hanya korban saja tapi yang muda juga kita memberikan pemahaman kepada mereka untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak terpuji termasuk kita masuk ke lokalisasi-lokalisasi untuk mengalihkan perhatian perempuan-perempuan itu jangan melakukan hal-hal yang tidak terpuji tapi melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat mereka akan menghasilkan generasi penerus dan harus mandiri secara independen,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komnas Perempuan memandang bahwa pemberdayaan ekonomi untuk kaum perempuan tidak cukup untuk menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan. Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali mengatakan berdasarkan sebuah survey mengatakan bahwa justru kaum perempuan urban dan memiliki tingkat pendidikan tinggi rentan terhadap kekerasan dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di desa yang tingkat pendidikannya rendah.
Ini dikarenakan , ketika kaum perempuan memiliki penghasilan lebih tinggi, kaum laki-laki tidak senang dengan hal tersebut karena merasa harkat dan martabatnya sebagai laki-laki ternodai, sehingga timbullah kekerasan tersebut.
“Pemberdayaan ekonomi itu berkontribusi positif dalam pencegahan KDRT, tetapi para peneliti justru menemukan bahwa ketika perempuan menjadi independen, status ekonominya, itu juga bisa menyebabkan terjadinya KDRT, karena dalam hal ini laki-laki dengan superiornya itu tidak bisa menerima. Toxic maskulinitis, jadi perempuannya indepeden pun laki-lakinya gak bahagia. Jadi akhirnya melakukan kekerasan, karena dianggap maskulinitasnya ternodai. Kalau selama ini harusnya laki-laki dong yang kasih duit banyak, kenapa perempuan,” tukas Riri.
Oleh karena itu, menurut Riri butuh lebih dari pemberdayaan ekonomi untuk lebih menurunkan lagi tingkat kekerasan terhadap kaum perempuan. Perlu penyempurnaan Undang-Undang yang berperspektif gender dan menggiatkan sosialisasi kesetaraan gender pada masyarakat. Hal ini memang tidak mudah karena masih kentalnya budaya patriarki, namun sedikit demi sedikit masyarakat harus diberi pengertian akan hal tersebut.
“Intinya adalah pemberdayaan ekonomi bukan satu-satunya faktor yang dapat mencegah KDRT, hal yang penting yang perlu dilakukan perlu ada peningkatan akses pendidikan dan juga perubahan nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang masih patriakis, bahwa laki-laki perempuan itu sama, setara dalam rumah tangga, itu semua tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.****
Sumber: VOA Indonesia