Pemimpin Tanpa Nyali, Daerah Tanpa Wibawa

READ.ID – Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Sulut Gorontalo (BSG) yang berlangsung pekan lalu seharusnya menjadi forum penting untuk memperjuangkan kepentingan daerah, khususnya keterwakilan Gorontalo dalam jajaran komisaris.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: Gorontalo kembali absen dari meja pengambil keputusan. Dan bagi saya, ini bukan sekadar kekecewaan teknis—ini soal martabat.

banner 468x60

Sebagai bank yang dengan bangga membawa label “Torang Pe Bank”, publik Gorontalo tentu berharap bank ini juga menjadi ruang representasi yang adil. Tapi nyatanya, label itu tinggal jargon. Yang berkuasa tetap yang dekat dengan pusat pengaruh, bukan yang mewakili rakyat Gorontalo.

Yang lebih mengganggu bukan semata hasil RUPS, tetapi sikap Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail. Ia yang seharusnya menjadi penggerak utama perjuangan daerah, justru tampil tanpa posisi tegas. Dalam forum sebesar RUPS, kita tak butuh pencatat keputusan. Kita butuh pemimpin yang bicara, menekan, dan berdiri bersama kepala daerah lain untuk satu kepentingan: menjaga kehormatan Gorontalo.

Saya memahami dan sepakat dengan kritik tajam Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea. Sebab ini bukan semata soal kursi komisaris, tapi soal keberanian. Soal apakah kita masih punya pemimpin yang cukup berani berdiri untuk rakyatnya sendiri. Saat rakyat kecewa, wajar jika muncul istilah seperti “panta putih” atau bahkan “gubernur dungu”. Saya pribadi tidak pernah menikmati diksi keras, tapi dalam konteks ini, kritik tersebut bukan tanpa dasar.

Dan betapa ironisnya, di tengah badai kritik, justru muncul wacana penambahan penyertaan modal sebesar Rp5 miliar dari APBD Gorontalo ke BSG. Yang lebih pahit, tersiar pula kabar bahwa ada upaya untuk menempatkan menantu Gubernur ke jajaran komisaris. Jadi, ketika daerah tidak dianggap, keluarga malah diprioritaskan? Saya kira publik tahu harus menilai ini sebagai apa.

Namun di antara semua kegaduhan itu, saya justru mengapresiasi langkah berani Adhan Dambea. Saat muncul wacana digelarnya RUPS Luar Biasa (RUPSLB), Adhan menyodorkan dua syarat yang menurut saya sangat pantas: pertama, Gubernur Sulawesi Utara harus menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Gorontalo; dan kedua, RUPSLB harus digelar di Gorontalo, bukan di tempat lain. Ini bukan sekadar tuntutan formalitas—ini simbol. Simbol bahwa Gorontalo tidak akan terus-menerus jadi penonton di panggung sendiri.

Sebagai representasi masyarakat sipil, saya melihat ini sebagai momentum reflektif. Sudah saatnya pemerintah kabupaten/kota mengambil langkah konkret. Dan beberapa daerah sudah memulainya, dengan meninjau ulang kerja sama dengan BSG, termasuk potensi pemindahan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Ini bukan sekadar respons emosional, melainkan langkah strategis untuk mempertahankan kedaulatan fiskal daerah.

Saya sering ditanya: “Kenapa tidak kritik Gubernur Sulut saja?” Jawaban saya jelas—yang lemah bukan mereka, tapi kita sendiri. Yang seharusnya menjaga dan memperjuangkan Gorontalo, malah ikut diam dalam ketidakadilan.

Gubernur boleh berdalih bahwa keputusan ada di tangan provinsi lain. Tapi publik tahu, pemimpin yang diam di tengah ketidakadilan, sejatinya telah memilih posisi: menjadi bagian dari ketidakadilan itu sendiri.

Kita tidak bisa lagi menunggu. Jika tidak ada perubahan sikap dari pemimpin kita, maka kritik akan berubah menjadi perlawanan terbuka. Dan bila sejarah mencatat, semoga ia menulis dengan jelas: bahwa ketika Gorontalo dipinggirkan, suara-suara perlawanan itu datang bukan dari kekuasaan, melainkan dari hati nurani yang tersisa.

 

Oleh: Arief Rahim (Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Daerah – AMMPD)

 

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60