READ.ID – Meski Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberi izin untuk melanjutkan proses uji klinis tahap berikutnya tetapi Vaksin Nusantara tetap melakukan uji klinis fase kedua.
Sepertinya pihak Vaksin Nusantara, kata pengamat politik Universitas Esa Unggul, Muhammad Jamiluddin Ritonga saat bincang-bincang dengan Read.id, Jumat (16/4) menantang sejumlah pihak karena uji klinis ini diikuti sejumlah tokoh nasional termasuk Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dan beberapa anggota Komisi IX DPR RI seperti Saleh Partaoan Daulay dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
“Saya melihat, para peneliti vaksin Nusantara tampak mengabaikan keputusan BPOM. Padahal BPOM dengan tegas menilai uji klinik fase 1 belum memenuhi banyak kaidah tahapan uji klinik,” kata pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Krisis dan Strategi Public Relation serta Riset Kehumasan tersebut.
Sebagai peneliti, kata idealnya merespon penilaian BPOM tersebut. Telaah ilmiah dari perspektif medis yang dikemukakan BPOM seyogyanya direspon dengan cara yang sama.
Ironinya, lanjut pengamat yang akrab disapa Jamil ini, peneliti vaksin Nusantara tetap melanjutkan uji klinis dengan melibatkan relawan orang-orang tersohor di Indonesia, khususnya Anggota Komisi IX DPR RI.
Keikutsertaan mereka ini patut disayangkan, karena sudah mengabaikan BPOM sebagai lembaga yang punya otoritas menetapkan layak tidaknya suatu vaksin untuk diuji lebih lanjut. “Tindakan sebagian Anggota Komisi IX DPR RI itu secara langsung sudah merendahkan BPOM. Celakanya, yang mereka lakukan itu tidak atas dasar pertimbangan medis.”
Karena itu, keikutaertaan para Anggota Komisi IX DPR ini terkesan sangat politis. Mereka tidak menyangkal temuan BPOM dari sisi medis, tetapi keikutsertaannya itu menunjukkan keberpihakan kepada vaksin Nusantara tanpa argumentasi medis yang jelas.
Tindakan demikian, kata Jamil, seharusnya tidak perlu dilakukan Anggota Komisi IX. Mereka sebenarnya bisa mempertemukan BPOM dan peneliti vaksin Nusantara untuk mendengarkan pertimbangan medis dari masing-masing pihak.
“Dari argumentasi medis itulah idealnya Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan dan tenaga kerja ini bersikap dan bertindak tetap mendukung atau tidak melanjutkan uji klinis vaksin Nusantara. Jadi, idealnya pertimbangannya semata kaidah medis,” kata Jamil. (AT)
Karena itu, sangat disayangkan kalau vaksin Nusantara didukung karena dinilai produk lokal, apalagi dikaitkan dengan nasionalisme. Pertimbangan demikian sangat membahayakan mengingat persoalan vaksin berkaitan dengan hidup matinya manusia.
“Jadi, uji vaksin seyogyanya dilihat dari kaidah medis, bukan politis. Hanya dengan begitu, kita bisa melihatnya dengan jernih dan objektif,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga, Dekan Fikom IISIP Jakarta 1996-1999 tersebut.