banner 468x60

PKS : BBM Satu Harga Tidak Sesuai Kenyataan di Lapangan

READ.ID – Setelah dihebohkan soal banyaknya jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di Morowali, Sulawesi Tenggara terungkap akibat kasus virus Corona, kini terungkap pula ketidaksesuaian kondisi dilapangan terkait Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga secara nasional.

Anggota Komisi VII DPR RI, Dr Mulyanto dalam keterangan tertulis kepada Read.id, Jumat (14/2) mengatakan, klaim Pemerintah yang berhasil menetapkan BBM satu harga secara nasional tenyata tidak sepenuhnya benar.

Faktanya, kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI itu, di beberapa wilayah harga BBM masih berbeda.

Semakin jauh wilayah dari SPBU, semakin mahal pula harga jual BBM yang berlaku.

Hal tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) di Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/2).

Karena itu, wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut meminta Pemerintah jujur mengenai klaim BBM satu harga. “Jangan sampai di media bicara harga BBM sudah satu harga tetapi fakta di lapangan harga masih berbeda-beda,” kata penyandang gelar Doctor of Engineering jebolan Tokyo Institute Technology (Tokodai) Jepang tersebut.

Untuk itu, Mulyanto minta BPH Migas meningkatkan pengaturan hilir migas secara lebih terpadu agar klaim tersebut bukan sekedar janji kosong dari Pemerintah.

Dia juga meminta Pemerintah melalui BPH Migas melakukan intervensi dengan berbagai pendekatan agar kebijakan BBM satu harga dapat terwujud.

Salah satunya dengan mendorong tumbuhnya lembaga penyalur BBM kecil, termasuk sub-penyalur dan SPBU mini.

“Kasihan masyarakat miskin di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T). Sudah sulit dapat BBM, harganya juga mahal pula,” tegas Mulyanto.

Dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pengawas 170 lembaga penyalur BBM satu harga, BPH Migas perlu juga menambah jumlah jaringan penyaluran.

Pasalnya, jumlah jaringan penyalur yang ada sekarang dinilai masih terlalu sedikit.

“Cakupan wilayah yang harus dilayani sangat luas. Jumlah kecamatan di wilayah 3T saja ada sekitar 1.600 kecamatan. Belum lagi kecamatan di wilayah lain yang tidak termasuk 3T tapi masih sulit akses kegiatan perekonomian,” demikian Mulyanto.

(Akhir Rasyid Tanjung/read.id)

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60