Beberapa hari belakangan viral sebuah video yang menunjukan seseorang berbaju partai nasdem yang belakangan saya tahu bernama Ridwan Monoarfa (RM) dengan gagah berani dan semangat 45 berbicara tidak karuan kesana kemari.
Galak dan bahkan terlihat seperti orang marah atas tindakan polda gorontalo yang melakukan Police Line atas sejumlah peti kemas berisi jagung yang di simpan / di timbun di desa ilangata kecamatan anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
Namun baru 5 hari berselang setelah RM terlihat heroik berorasi di lokasi penyimpanan atau penimbunan Peti Kemas tak berizin tersebut, Saya dikirimkan sebuah video berdurasi 2 menit, 16 detik tersebut, dimana RM yang sebelumnya terlihat semangat 45, galak, menyala-nyala dan sangat keras, tiba tiba berubah terlihat sangat santun, bijak, lemah lembut dan menjadi sangat manis.
Bahkan RM dengan gentleman mengakui memiliki kekurangan selanjutnya meminta maaf kepada kepolisian dan memproklamirkan bahwa apa yang di sampaikan lewat video tersebut menyangkut kepolisian telah di selesaikan secara musyawarah.
Belum hilang ingatan saya atas aksi Ridwan Monoarfa, saya di kejutkan kembali dengan aksi kader Partai Nasdem lainnya, yang kebetulan saya kenal yaitu bung Alyun Hippy (AH).
AH melaporkan Gubernur Rusli Habibie di Polda Gorontalo karena di anggap telah melanggar undang – undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, serta maklumat Kapolri nomor MAK/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan penyebaran virus corona.
Otomatis dua aksi kader partai nasdem ini, membuat saya yang tadinya enggan dan tidak tertarik untuk menulis mau tidak mau harus melibatkan diri, bukan karena pro dan setuju atas tindakan kepolisian daerah (Polda) maupun membela Gubernur Gorontalo yang notabene adalah ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Gorontalo.
Namun lebih dari itu, saya menulis ini karena melihat apa yang di lakukan Ridwan Monoarfa dan Alyun Hippy tidak lagi proporsional dan tidak memiliki empati di tengah situasi kita sedang dalam musibah COVID-19, sekaligus tulisan ini sebagai wacana pembanding agar masyarakat umum ikut paham dan bisa menilai.
Mana aksi aktivis partai yang di lakukan atas dasar subjektifitas dan mana yang memang berdasarkan penilaian objektif, serta berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mana aktivis partai yang benar benar mengagregasi kepentingan rakyat dan mana yang Demagog.
Meskipun pada akhirnya pandangan dalam tulisan saya ini tetap tidak bisa di lepaskan dari subjektifitas saya sebagai aktivis Partai Golkar yang di berdiri dan berada di barisan Rusli Habibie.
Jika kita mencermati, persoalan utama yang diangkat dari kedua aktivis Partai Nasdem di atas adalah murni persoalan hukum, namun saya melihat ada pembelokan narasi sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi politis.
Pertama :
RM dalam video yang viral itu, selain terang-terangan menghantam kepolisian karena bertindak tanpa dasar hukum, yang bersangkutan juga mencurigai adanya “tangan-tangan kuat dibelakang ini”, yang dalam tafsiran sederhanya adalah “orang yang bermain dan mengatur” agar polisi menyegel (police line) peti kemas tersebut.
Namun sebagaimana yang sudah saya singgung diatas, RM yang garang di awal dan sesumbar dengan menyebut “nanti kita lihat” ternyata hanya bertahan 5 hari, lalu loyo, letih, lemah dan lesu dan ujungnya sudah bisa kita tebak.
Tembakannya soal tangan tangan kuat dan polisi yang menggunakan kekuasaannya atas perintah perintah di balik kekuasaan yang ketakutan akan persaingan bisnis, tidak tindaklanjuti oleh RM dengan menempuh proses hukum untuk membuktikan tudingannya tersebut.
Akhirnya ibarat lirik lagu “Kau yang memulai kau yang mengakhiri”, apa yang disampaikannya di ruang publik sejak awal memang bukan di desain sebagai persoalan hukum melainkan sebuah narasi politis untuk menyasar dan mendeskreditkan pihak pihak tertentu, sebuah ciri khas dan protipe politisi demagog yang seolah olah memperjuangkan kepentingan rakyat padahal sebenarnya tidak.
Kedua :
Membaca linimasa media sosial yang ramai dengan pemberitaan di laporkannya Gubernur Gorontalo Rusli Habibie oleh bung Alyun Hippy (AH), mengundang rasa penasaran saya, apa yang sebenarnya terjadi ?
Apakah pelaporan ini ada korelasi atas di laporkannya AH oleh Pemprov Gorontalo ke Polda Gorontalo atas tulisannya, yang beredar di grup-grup WhatsApp dengan judul “Kejahatan Kemanusiaan di Fasilitas Isolasi ADP Covid-19, Asrama Haji Gorontalo” hanya AH dan Allah SWT yang tahu.
Lalu benarkah apa yang di tulis oleh AH, bahwa telah terjadi kejahatan kemanusian kepada rombongan Jamaah Tabligh SA yang saat itu sedang dalam masa isolasi di Asrama Haji Provinsi Gorontalo ?
Dan apakah betul bahwa Gubernur Gorontalo telah melakukan tindakan pidana sehingga di laporkan oleh AH di Polda Gorontalo ?
Saya telah membaca tulisan dan telah pula mendengarkan rekaman pembicaraan antara AH dengan salah satu ODP berinisial VG yang di klaim sebagai “Barang Bukti Pelaporan”.
Sangat jelas dan terang bahwa tulisan AH di gali dan berbasis dari rekaman pembicaraan dengan VG, namun setelah saya coba cocokan antara rekaman dengan tulisan koq rasa rasanya pemilihan diksi “kejahatan kemanusian” agak lebay dan lagi lagi begitu sangat tendensius.
Bagaimana tidak lebay, “Kejahatan Kemanusiaan” atau yang kita kenal dalam percaturan hukum internasional dengan sebutan “Crimes Against Humanity” memiliki kualifikasi baik menurut Charter of the International Military Tribunal maupun menurut The Rome Statute of the International Crimes Court.
Kualifikasi tersebut diantaranya, 1. Pembunuhan, 2. Pemusnahan, 3. Perbudakan, 4. Penyiksaan, 5. Apartheid.
Maka, setelah berulang ulang saya dengar rekaman dan membaca tulisan AH, maka tidak perlu sekolah tinggi tinggi untuk menyimpulkan bahwa tudingan telah terjadi “Kejahatan Kemanusiaan di Fasilitas Isolasi Asrama Haji” sama sekali tidak memenuhi kualifikasi dari nuremberg charter maupun statuta rome tersebut diatas.
Apalagi jika benar barang bukti – seharusnya alat bukti – rekaman suara antara AH & VG yang turut di serahkan dalam pelaporan AH ke Polda kita lihat dari sudut pandang hukum, maka ada pertanyaan dan pernyataan penting yaitu,
Apakah rekaman pembicaraan tersebut di ketahui dan di izinkan oleh VG atau inisiatif AH merekam tanpa seizin VG ?
Jika memang AH di izinkan untuk merekam dan membagikannya ke publik, maka tidak ada masalah. namun jika VG keberatan suaranya di rekam oleh AH, maka itu akan menimbulkan persoalan hukum baru untuk AH.
Dalam teori pembuktian kita mengenal asas “Unus Testis Ullus Testis” bahwa seorang saksi bukanlah saksi, jadi bisa saja keterangan VG terkait kondisi di Mess Haji tidak dapat di jadikan rujukan utama, apalagi jika tidak di tunjang oleh alat bukti lainnya sebagaimana di atur dalam pasal 184 KUHAP.
Oleh nya saya cukup mengerti dan memahami suasana kebathinan pemprov gorontalo melalui kepala dinas BPBD ketika melaporkan adanya “fitnah” dalam tulisan AH “Kejahatan Kemanusiaan di Asrama Haji” tersebut.
Kita harus akui, bahwa jika memang terdapat beberapa kekurangan atas pelayanan baik medis, akomodasi maupun logistik para ODP di hari pertama / awal fase isolasi, mungkin dapat di maklumi, mengingat kita semua khawatir & takut serta belum pernah sebelumnya berhadapan dengan situasi seperti ini.
Namun mengkapitalisasi kekurangan kekurangan tersebut dengan narasi sebagai sebuah “Kejahatan Kemanusiaan” bisa saja di baca oleh publik bahwa level dan kualitas ah sebagai seorang aktivis partai tidak lebih tinggi dari kelakuan “buzzer medsos” yang kita tahu sering membela atau menghantam tanpa pandang bulu kepada siapa saja yang mengganggu majikan atau junjungannya.
Pertanyaan mendasarnya adalah apakah pelanggaran atas protokol kesehatan penanganan Covid-19 serta Maklumat Kapolri terkait penanganan Covid-19 (khususnya poin 2 huruf a angka 5 yang memuat larangan kegiatan lain yang menjadikan berkumpulnya massa serta poin 2 huruf c) memiliki sanksi pidana ?
Jawaban atas pertanyaan diatas clear & clean bahwa protokol kesehatan dan maklumat Kapolri tersebut selain bukan merupakan peraturan perundang-undangan, kedua aturan tersebut tidak memiliki sanksi pidana, itulah sebabnya kenapa kapolsek kembangan Komisaris Polisi (kompol) fahrul sudiana hanya mendapat sanksi mutasi ketika menggelar resepsi pernikahan di salah satu hotel mewah di Jakarta.
Saya yakin akan berbeda ceritanya jika maklumat kapolri tersebut terdapat sanksi pidana, maka yang paling awal mendapat hukuman pidana pastilah kompol fahrul sudiana, karena tidak hanya melanggar maklumat Kapolri tapi lebih dari itu yang bersangkutan adalah Polisi yang seharusnya menjalankan maklumat dari pimpinannya.
Selanjutnya, dasar pelaporan AH kepada Gubernur Rusli Habibie adalah UU kekarantinaan kesehatan terkait dengan pasal pasal 93 bahwa :
“setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
maka setelah membaca pasal 9 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”, saya kemudian mencari pengertian apa yang di maksud dengan kekarantinaan kesehatan sebagai unsur utama dari pasal 9 ayat (1) sekaligus untuk menguji apakah benar bahwa gubernur telah melanggar pasal a quo sebagaimana yang di jadikan rujukan ah dalam laporannya.
Setelah menganalisa bahwa yang dimaksud kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (kententuan umum pasal 1 angka 1 uu no 6 tahun 2018).
Maka tiba pada saya suatu kesimpulan bahwa Gubernur Rusli Habibie justru telah melaksanakan unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan pasal 9 (1) ini dengan bersama-sama pemerintah daerah kabupaten yang memiliki perbatasan darat (Bone Bolango, Gorontalo Utara dan Pohuwato), serta otoritas bandara dan otoritas pelabuhan laut untuk mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit di Provinsi Gorontalo.
Bahwa jika terdapat pikiran dan penafsiran dari AH yang mana Gubernur Rusli Habibie telah melanggar UU kekarantinaan kesehatan karena tidak melaksanakan protokol kesehatan, dalam penanganan isolasi kepada ODP di Asrama Haji, buat saya adalah hal yang lumrah.
Karena yang bersangkutan tidak cakap dan tidak cukup pengetahuan untuk membaca aturan hukum secara utuh, sehingga alur berfikirnya tidak mampu membedakan antara protokol kesehatan sebagai sebuah panduan dan undang-undang sebagai aturan hukum.
Nasi sudah menjadi bubur. laporan AH telah menjadi konsumsi publik, bahkan hampir setiap waktu pemberitaan di media nasional di posting di Grup WhatsApp gorontalo, namun satu hal yang pasti bahwa apapun yang terjadi, dukungan rakyat akan terus mengalir bagi Gubernur Rusli Habibie.
Akhirnya sebelum saya mengakhiri tulisan ini, satu hal yang jika ada dan boleh saya apresiasi bagi dua kader Partai Nasdem ini adalah yaitu mereka sangat jenaka.
Mereka berdua ibarat gogon dan gepeng dari grup lawak srimulat, sangat pintar mengocok perut.
Penting bagi kita untuk mentertawakan candaan mereka, karena pada akhirnya seorang pelawak akan sedih jika lawakannya tidak di akui oleh penonton.
tabiq !
#dirumahsaja.
Penulis : Hamzah Sidik (Beringin Muda Gorontalo & Penggemar Srimulat )