READ.ID – Kebisuan Polres Pohuwato dalam menghadapi amuk Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan telah menjadi sebuah fenomena yang patut dibedah.
Di tengah bukti kerusakan yang kasat mata dan jeritan warga yang memilukan, mengapa sebuah institusi penegak hukum memilih untuk bungkam? Inilah anatomi sebuah pembiaran.
Pertama, fakta di lapangan tidak terbantahkan. Ada krisis air bersih, ada gagal panen massal, dan ada ratusan hektar lahan yang rusak. Dinas Pertanian Provinsi secara resmi telah menunjuk hidung PETI sebagai penyebab utama gagal panen. DPRD Provinsi pun telah bersuara keras. Artinya, alasan “kurang bukti” atau “tidak tahu” sudah pasti gugur.
Kedua, tekanan publik dan politik sudah maksimal. Pemberitaan media yang masif, keluhan warga, hingga ancaman dari Pansus Tambang DPRD seharusnya sudah lebih dari cukup untuk memaksa sebuah institusi bergerak. Namun, Polres Pohuwato tetap diam. Ini menunjukkan bahwa kebisuan mereka adalah sebuah pilihan sadar, bukan ketidaksengajaan.
Dari sini, analisis mengarah pada beberapa kemungkinan yang mengerikan. Kemungkinan pertama adalah ketidakmampuan total (total incompetence), di mana Polres Pohuwato benar-benar tidak memiliki kapasitas, strategi, atau sumber daya untuk menghadapi jaringan PETI. Namun, kemungkinan ini terbantahkan oleh contoh Polres Boalemo yang mampu bertindak tegas dengan sumber daya yang kurang lebih setara.
Kemungkinan kedua, dan yang paling dikhawatirkan publik, adalah adanya kompromi atau intervensi dari kekuatan besar di balik PETI. Apakah para cukong tambang memiliki “beking” yang begitu kuat sehingga mampu membungkam sebuah institusi kepolisian resor? Pertanyaan ini, meskipun belum terbukti, terus beredar liar di tengah masyarakat yang frustrasi.
Sikap diam ini secara efektif melumpuhkan hukum itu sendiri. Ketika aparat tidak bertindak, mereka mengirimkan sinyal kepada para pelaku kejahatan bahwa hukum bisa dinegosiasikan. Ini menciptakan “hukum rimba” di mana yang kuat (penambang) akan selalu menang atas yang lemah (petani dan warga).
Anatomi pembiaran ini juga mencakup erosi kepercayaan. Setiap hari Polres Pohuwato bungkam, mereka menghancurkan kepercayaan publik yang telah dibangun bertahun-tahun. Masyarakat tidak lagi melihat mereka sebagai pelindung, melainkan sebagai bagian dari masalah.
Pada akhirnya, hanya ada dua cara untuk mengakhiri spekulasi ini. Pertama, Polres Pohuwato harus segera bertindak nyata, masif, dan transparan untuk memberantas PETI hingga ke akarnya. Kedua, jika mereka tetap diam, maka institusi yang lebih tinggi seperti Polda atau Mabes Polri harus turun tangan untuk mengaudit dan menyelidiki Polres Pohuwato itu sendiri.