banner 468x60

Puasa kaum Pemenang

Puasa Kaum

Penulis: Makmun Rasyid

READ.ID, – Bulan puasa kembali hadir menyeruak di tengah lemahnya kekuatan elemen bangsa dalam menghadapi gerakan radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Apa artinya berpuasa bagi kita jika mentalitas pecundang yang dipelihara saat memiliki amanat/jabatan dalam menghadapi ketiga gerakan berbahaya itu tapi tidak menindaknya? Padahal, rutinitas puasa Ramadhan yang kita lakukan, tersimpan jelas makna kemenangan bagi yang melakukannya.

Saat Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, Nabi memberikan warisan berupa pelengkap hubungan vertikal dengan melakukan aktivitas horizontol. Nabi mengatur segala-galanya, baik kemasyarakatan (sosial) maupun kenegaraan (politik). Nabi menyadari dan mengamati, banyak masyarakat kala itu yang beribadah dan menebalkan tauhidnya tetapi tidak tembus menjadi kesalihan sosial.

Itulah sebabnya Nabi pada tahun ke 2 Hijriah membuat aturan bernama Piagam Madinah bukan Negara Islam, Negara Khilafah atau Daulah Islamiyah. Artinya, Nabi mewariskan pelajaran berupa pentingnya konsensus (MoU) bersama. Dimana Nabi lebih mengedepankan bottom up daripada kepentingan kelompok, agama, penindasan hingga ijtihad seorang diri.

Maksud konsensus yang diinisiasi Nabi adalah upaya memberikan kelonggaran dan memungkinkan bagi siapa pun untuk mengembangkan agama yang dianutnya tanpa harus menjadikan non-Muslim orang nomor dua sebagaimana yang berlaku dalam dokumen Hizbut Tahrir Indonesia dkk. Dimana kala itu tidak saja Islam, terdapat pula Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama lokal lainnya.

Disnilah Nabi mengajarkan aspek kemenangan. Kemenangan berupa kesediaan untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar dan membentuk bangsa yang besar. Disitu pula Nabi mengajarkan bahwa konsensus dasar menjadi syarat utama terwujudnya bangsa yang demokratis.

Dalam konteks Indonesia, kemenangan yang kita dapatkan bukan sekedar melepas haus dan dahaga, tetapi kemenangan sejati ketika kita menyadari bahwa para pendiri bangsa rela mengorbankan keringat dan usaha maksimalnya untuk meramu dasar negara yang sempurna dan solutif. Mereka menyusunnya penuh imajinatif dan menjadikan Piagam Madinah sebagai acuan agar saat Pancasila resmi menjadi dasar negara, ia menjadi titik temu dan tempat kembali ketika polemik kebangsaan-kenegaraan menguak ke permukaan.

Jika dalam Islam, ketika persoalan agama mengalami kebuntuan, maka kembali kepada Qur’an, hadis, Ijma’, Qiyas dan lain sebagainya. Maka dalam kita bernegara di Indonesia, ketika polemik menyeruak, kita kembali pada Pancasila. Dan Pancasila tidak perlu dipertentangkan dengan agama, karena ruh-ruh agama telah melebur ke dalam Pancasila itu. Ia memang hanya lima sila, tetapi bisa menjadi payung kita bersama dan kitalah yang menghidupkan Pancasila serta mengejawantahkannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

Di antara pendiri bangsa kala itu, mereka ulama tersohor dan tokoh kenamaan Nusantara. Sebut saja KH. Wahid Hasyim (anggota tim sembilan) dan KH. Hasyim Asy’ari. Ketika KH. Wahid Hasyim membawa pesan Bung Karno ke Jombang dan menyampaikan maksud/tujuan, KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan.

  1. Hasyim Asy’ari sejak awal sudah memahami bahwa kemerdekaan adalah keniscayaan yang harus digapai dan sebagai upaya menciptakan kemaslahatan untuk seluruh rakyat Indonesia serta menghindari mafsadat kelak hari. Tapi untuk memutuskannya, KH. Hasyim Asy’ari melakukan ritual tirakat puasa selama tiga hari. Selama itu pula, ia mengkhatamkan Al-Qur’an dan Al-Fatihah, dan setiap bertemu ayat “iyya kana’ budu wa iyya kanasta’in”, ia mengulanginya sebanyak 350.000 kali.

Hingga ritual tirakat selesai, KH. Hasyim Asy’ari memanggil KH. Wahid Hasyim (anaknya) seraya berkata bahwa penghapusan teks dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah sesuai ketentuan agama, dan menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila dari lima yang ada merupakan prinsip ketauhidan dalam Islam.

Maka tradisi puasa yang dilakukan seseorang harus melahirkan kedewasaan dalam segala aspeknya. Sebab, tradisi berpuasa merupakan wadah untuk penyingkapan makna sejati dalam setiap objek dan keadaan yang kita hadapi. Jangan sampai, rutinitas puasa kita justru membuat defisit amal dan sekedar ritual komemoratif yang hampa makna.

Agar mendapatkan makna maka kita harus berupaya keluar sebagai pemenang dan penyelamat. Menang dalam konteks kebangsaan adalah kembali menyadari pentingnya Pancasila sebagai dasar negara yang kita jadikan inspirasi dalam menjaga segenap sudut-sudut bangsa dari para pedagang agama dan perongrong negara. Sedangkan sebagai penyelamat, kita keluar sebagai pembela kaum lemah. Jangan sampai kita berpesta pora di atas penderitaan rakyat.

Kemenangan yang harus kita dapatkan juga pasca keluar dari berpuasa adalah tegar dan mampu menghadapi gerakan fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Sebagaimana peristiwa perjanjian Hudaibiyah, ada spirit yang bisa kita petik, yakni kemenangan berupa menciptakan atmosfer yang mendorong kepada perdamaian. Dimana upaya kedamaian kita suburkan dan kesejahteraan kita kembangkan. Jangan sampai kita terlibat dalam upaya menggerogoti Negara Indonesia.

Dengan demikian, kemenangan bisa kita capai jika keburukan kita singkirkan perlahan-lahan. Walaupun keburukan tidak akan pernah habis karena itu keniscayaan adanya, tapi membiarkan keburukan yang menjadi penghalang wujudnya kedamaian dan kesejahteraan sama artinya kita beribadah tapi tidak menghasilkan apa-apa. Dan ibadah puasa, disamping momentum peringatan atas sebuah kemenangan dalam menjaga negara, juga kemenangan dalam menjaga agama dari para pembajaknya. []

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60