Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Aktivitas keagamaan di babak akhir puasa Ramadan terus meningkat dan tak terbendung. Mulai tadarusan, khataman, i’tikaf sampai berbagi hasil kekayaan kepada fakir miskin bahkan aktivitas duniawi pun semakin bergejolak tumbuh di mana-mana, seperti pasar diskon dan sebagainya. Semuanya berupaya untuk memaknai keberpuasaan secara komprehensif, tranformatif, fungsional dan reformatif.
Satu sama lain, tentunya tidak ingin dikatakan puasa gagal walau dalam kesehari-hariannya hanya tertidur pulas di kasur empuk seharian penuh. Semuanya menghindar dari adanya dugaan atas warning dari Nabi Muhammad SAW, “sekian banyak orang berpuasa tapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga”. Dibuatlah ragam munajat untuk dipanjatkan kepada Sang Pencipta, baik berupa doa maupun aktivitas sosial keagamaan, agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Disela-sela penentuan kualitas dan kuantitas ibadah Ramadan, hiruk pikuk kehidupan sosial dihebohkan dengan agenda pulang kampung halaman. Sebuah tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Dalam konteks Ramadan, kita kembali menjadi manusia prima yang fitri, sedangkan dalam “udik”, kembali ke halaman yang asri penuh keakraban. Nabi Muhammad sebagai tauladan pun pernah merindukan tempat awal perjalanan hidupnya. Sebab ini naluriyah sebagai seorang manusia.
Dicatat dalam sejarah, Nabi telah lama meninggalkan Makkah dan baru bisa mengunjunginya pada 8 Juni 632 M. Namun dalam proses mengunjungi Makkah, ada misi besar menyertainya, yakni penaklukan Makkah atau Fathu Makkah. Disanalah Nabi sembari membuktikan dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam Rahmatan lil Alamin secara kongkrit. Nabi memaafkan seluruh musuh-musuh yang dulu menentang ajaran dakwahnya. Di saat waktu yang bersamaan pula, Nabi menghancurkan 360-an berhala dan tiga berhala yang kita kenal bernama Hubal, Latta dan Uzza.
Bagaimana dengan kepulangan kita ke kampung halaman? Memaknai penghacuran berhala zaman dahulu dengan mengajak orang-orang yang bertemu dengan kita untuk tetap mempertahankan nilia-nilai Ramadan di luar Ramadan. Tetap mempertebal keimanan dan menerapkan ajaran dalam aktivitas sehari-hari, baik di kebun, di kantor atau di manapun saja. Selama segala sesuatu itu diniatkan untuk Allah, maka itu adalah ibadah pada bidangnya masing-masing sampai di semua lini ada nilai-nilai agamanya yang terhubungkan ke ranah sosial.
***
Kolektivitas nilai sosial yang melekat pada masyarakat Indonesia tidak bisa kita singkirkan. Tradisi pulang kampun atau istilah yang sudah terkontaminasi paradigma materialisme dan kapitalisme, yakni “mudik”, tidak terpengaruh di tengah-tengah goncangan industrialisasi abad modern. Karenanya perlu terus menerus menjaga tradisi mudik ini tanpa harus mengorbankan nilai-nilai puasa pada bulan ramadannya.
Tradisi mudik biasanya disebut juga “attachment total”. Sebuah upaya meninggalkan individualisme yang mengakar pada egoisme (ke-AKU-an) seseorang menuju “maiyah” atau kebersamaan. Setelah sebulan penuh kita mengharapkan “maghfirah”-Nya agar dosa-dosa yang pernah kita lakukan kepada Allah maka kita juga harus meminta maaf kepada sesama manusia. Dosa kita kepada sesama manusia ini sangat sulit kita dapatkan karenanya salah satu fungsi mudik yaitu meminta maaf kepada mereka-mereka. Setelah mendapatkan semuanya maka apa yang dinamakan “fitri” itu kita dapatkan, bersih dari dosa kepada Allah dan juga kepada manusia.
Esoterisme mudik tidak terbatas dan bersifat fisik semata tetapi bagaimana menggapai hasil perjalanan spritual dalam bulan puasa. Mudik secara hakikat yaitu menemukan kembali sisi primordialisme seseorang yang lama tidak kembali dengan bertemu dengan manusia lainnya—antar sesama manusia, beralih dari alam global menuju ke otentisitas tempat muasal yaitu kampung halaman. Ketika esensi-esensi puasa tetap terjaga di saat-saat mudik maka apa yang kita akan gapai yaitu tidak saja mendapatkan kebersihan rohani, pikiran dan fisik tetapi tentunya nilai-nilai seperti saling cinta mencintai, saling memaafkan dan kebersamaan.
Dari situlah kita akan memahami bahwa mudik itu memiliki spirit keagamaan. Tapi, manakala terjadi aktualisasi nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan kolektif. Kerinduan akan kampung halaman dan mengunjunginya tidak saja membangun suasana komunalitas yang telah padam di perkotaan. Merindukan dari kesehari-harian yang melumernya suasana kekerabatan dan kekeluargaan. Kerinduan kembali ke komunalitas ini secara sosiologis menjadi habibat manusia, yang sebenarnya tidak menyukai kerenggangan, egosentris dan individualis dalam sehari-hari. Tapi, itulah kehidupan di perkotaan. Kiri-kanan perumahan kadang tak mengenali, semuanya terselesaikan oleh alat teknologi yang kian canggih.
Di perkotaan tempat manusia hidup dan berkembang layaknya mesin urban raksasa. Satu sama lain saling unjuk keakuan dan pengakuan. Penghargaan satu sama lain sulit ditemukan, yang kerap diibaratkan bagaikan mencari air di padang gersang yang tandus. Namun di pedasaan, akan mudah kita menjumpai orang untuk saling memberikan apresiasi, sekecil apapun pekerjaan dan aktivitas duniawinya.
Fenomena mudik pun semacam kegundagulanaan manusia-manusia untuk kembali mengaktifkan “interaksi simbol” yang kian mahal harganya. Interaksi tatap muka langsung menjadi sedikit dan saling menyapa via media sosial. Dengan silaturahmi ke kampung halaman bisa mendapatkan lagi kebersatuan emosi dalam bergerak, berdakwah, beragama dan bernegara yang penuh kesejukan. Sesuatu tak bisa dihindari adalah saat di kampung halaman, banyak orang-orang kampung yang bertani dan bercocok tanam tapi mereka-mereka memancarkan aura ketenangan dan kesejukan. Dari parasnya yang tampak “tidak pintar” tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang bersih.
Pengaktifan interaksi simbol pun guna menjalin dengan orang-orang yang hidupnya bersih dan baik. Meminjam gagasan KH. Hasyim Muzadi, begitu banyak orang di pedesaan yang hidup pas-pasan, tapi hati dan pikirannya bersih, maka doanya terijabah atau dikabulkan oleh Allah. Dari mereka-merekalah lahir anak-anak yang berprestasi, menjadi ulama, cendekiawan terkenal, tokoh terkemuka dan sejenisnya. Sedangkan di ruang yang berbeda, orang-orang yang hidupnya sudah kaya raya, punya jabatan dan bertahta dan memiliki anak, tersandung narkoba, ini dan itu.
Disini persoalannya bukan terletak pada kaya dan miskinnya, melainkan kebersihan. “Kebersihan (harta) melahirkan kebesaran. Tapi penggunaan kebesaran yang tidak bertanggung jawab dia akan memukul dirinya sendiri. Ini yang dimaksud istidraj”, ujar KH. Hasyim Muzadi. Masalah-masalah itu bersumber dari cara dan pemanfaatan nikmat, yang dalam hal ini berupa arta. Caranya yang tidak sesuai syariat dan petunjuk Qur’an-hadis membuat masalah melilitnya. Jadi, harga seseorang dilihat dari seberapa besar kemaslahatan yang dilahirkannya (atau ditorehkannya) dan kebermanfaatan dirinya.
Sebab itulah dalam proses mudik, menjelang Idul Fitri, kita akan menunaikan zakat. Sebuah perintah yang diperuntukkan untuk semua kalangan yang berfungsi sebagai pembersih harta kita. Saling beri memberi yang terbingkai dalam proses zakat ini sebagai cara agar saat mudik tidak saling menampilkan eksistensi dan keberhasilan di perantauan. Sebab dari sanalah, terkadang kesenggangan dan jarak akan tercipta. Dengan proses tolong menolong dan saling memberi akan mengaktifkan interaksi simbol yang diikat oleh nilai-nilai etis sosial.
Maka mudik yang bersifat sementara bisa menjadi perjalanan spiritual dan emosional yang mengindahkan. Mudik yang semula bersifat sosiologis dan antropologis, kemudian disambungkan ke dalam ruang agama. Sebab pertautan keduanya tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Dalam perkembangan sejarah mudik itu sendiri, akhirnya dorongan-dorongan keagamaan menyatu dengan dorongan kekeluargaan. Timbullah hasrat saling minta maaf kepada sesama manusia, sebab itulah pengampunan yang sangat sulit dibandingkan meminta maaf kepada Allah. walaupun belakangan ini, disela-sela mudik sebagai proses pencarian substansial-transendental beralih ke hal-hal parsial-temporal semacam pertunjukan duniawi dan pamer kekayaan.
Akhirnya, siapapun dari Anda yang ber-mudik, ingatlah bahwa mudik hakiki adalah berpulangnya kita ke ranah yang fitri agar tidak kembali terkotori oleh lumuran dosa.