banner 468x60

Ramadan Bersama Covid-19

Idul Fitri
banner 468x60

Ramadan telah berjalan selama 26 hari dan beberapa hari lagi kita akan menyambut Idul Fitri.

Ramadan mendatangi kita dengan segala perhiasannya. Bagai seorang perempuan, Ramadan tampak anggun dan suci. Ramadan cermin dari sebuah cahaya yang menyinari jiwa yang membutuhkan cahaya. Hanya jiwa yang suci yang dapat diterangi cahaya itu.

Dalam Ramadan berisi deretan ritus persembahan bagi yang merasa harus menyembah. Salah satu aktifitas itu adalah puasa. Bukan saja untuk menahan haus dan lapar, tetapi lebih dari pada itu puasa untuk mengupas kerak dalam hati yang telah berkarat.

Puasa adalah aktifitas religius pada seluruh agama di dunia ini. Praktik puasa dilakukan oleh beberapa tokoh dunia di luar Islam, misalnya Mahatma Gandhi. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan (Kautsar Azhari Noer, 2008).

Bagi kita di Gorontalo, puasa Ramadan adalah ritual yang begitu luhur. Sebelum memasuki Ramadan, ada tradisi yimelu (mohimeluwa) artinya saling menyapa, atau mungkin saling memaafkan atas setiap kesalahan. Selain itu, ada pula ritual molihu lo limu, yakni aktifitas memandikan tubuh dengan limu tutu, dengan harapan ahali jamootola limo lo wakutu (tidak meninggalkan sholat lima waktu). Kesemuanya dimaksudkan untuk menyambut bulan yang suci, agar ritual penyucian diri semakin lancar.

Leluhur kita sengaja menciptakan ritual simbolik tersebut untuk mengingatkan setiap masa agar senantiasa menyambut Ramadan dengan suci. Ritual diatas diciptakan bukan untuk membuat “ribet” zaman, tetapi sengaja dimaksudkan sebagai prosesi penyucian untuk mencapai langit.

Ramadan

Ilustrasi Ramadan. (Foto: Pixabay)

Ramadan Pra Pandemi

Berbeda dengan Ramadan sebelum ini, tahun ini kita menjalani Ramadan dengan praktik yang tidak biasa. Semacam ada yang “hilang”. Praktik buka puasa bersama, tarwih keliling, meramaikan masjid, pasar senggol hingga Tumbilotohe yang begitu ramai, tiba-tiba harus dipindahkan ke ranah privat.

Tahun ini, kita menjalani Ramadan dengan makhluk baru yang bernama Covid-19. Makhluk baru ini lahir di tengah kegirangan kita untuk merayakan Ramadan dengan cara yang ramai, yang gepap gempita, yang hiruk pikuk.

Makhluk baru ciptaanNya ini menginterupsi semua keinginan komsumtif kita dengan membelokkan semua itu menjadi lebih privat. Tahun ini, kita tak akan menemui lagi rumah makan dan restoran yang full booking untuk buka puasa. Tak ada lagi senggol menyenggol untuk belanja di pasar malam. Tak ada lagi parade keliling kota untuk menyaksikan meriahnya lampu-lampu Tumbilotohe. Tak ada pula kue bertoples-toples untuk dipesan. Pun demikian tak terlihat lagi bentor-bentor yang mengangkut perabotan baru.

Banyak yang “kecewa” dengan Ramadan tahun ini yang tak bisa memediasi lagi ekspresi konsumtif mereka. Ramadan yang diharapkan adalah Ramadan yang tak sekedar arena teologis tapi juga menjadi arena produksi. Sebagai arena produksi, Ramadan dapat dipahami dari dua sisi, makro dan mikro. Dari sisi makro, Ramadan telah menjadi ajang perebutan kepentingan ekonomi dari perusahaan-perusahaan besar, media massa dan negara (elit politik) dalam rangka mengejar kepentingannya masing-masing. Perusahaan besar sangat intens menawarkan produk yang bernuansa Ramadan. Bahwa citra yang seharusnya tercipta saat Ramadan –versi perusahaan- adalah kemenangan dapat diraih dengan mengkonsumsi produknya. Media massa juga sangat perhatian dengan lebaran. Keuntungan finansial dari iklan perorangan atau pemerintah menjadi target utama media massa.

Dari sisi mikro, Ramadan sebelum ini telah menjadi arena perjuangan individu, keluarga, komunitas dan masyarakat untuk peneguhan eksistensi diri. Pertunjukkan pertandingan ini bukan saja terjadi melalui wacana-wacana dan simbol-simbol hegemonik yang diekspresikan dalam setiap kegiatan. Contohnya, ketika dalam sholat tarawih atau buka puasa bersama, aksesoris kehidupan pun dipertontonkan. Kita mengakui bahwa semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Secara sadar masyarakat menorehkan identitas baru dalam batas waktu tertentu untuk gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel pada pilihan-pilihan kegiatan Ramadan yang dilalui. Belum lagi jika kita melihat ekspresi masyarakat dalam mengkonsumsi ragam kuliner yang diselenggarakan secara biner.

Ramadan selama ini (sebelum pandemi) pun melahirkan keterasingan. Sekedar penampilan semata. Hanya fashion. Hanya dominasi sosial yang terjadi. Karena dalam skema produksi, yang sah dan memiliki posisi sosial dalam industri adalah yang memiliki akses dan modal. Ramadan sebelum ini pun menjadi skema produksi, yang menjadi sasaran empuk pasar adalah tubuh. Tubuh dalam hal ini akan dibagi dalam dua, yakni tubuh luar dan dalam. Tubuh luar akan ”dipaksa” mengkonsumsi segala hal yang berkaitan dengan kosmetik dan pakaian-pakaian trendy agar bisa mendapatkan status sosial dalam sebuah masyarakat. Tubuh bagian dalam akan ”dipaksa” mengkonsumsi obat-obatan, kuliner dan berbagai hal yang mesti dimasukkan ke dalam tubuh untuk mendapat ”legitimasi” untuk dikatakan ”sehat” dan bisa masuk dalam ruang masyarakat yang harus ”higienis”.

Ramadan pra pandemi pun menjadi ruang perayaan konsumetisme. Semua diarahkan pada identitas yang semu, menuju keberagamaan yang palsu (pseudo-religiosity) dan akhirnya mencapai Ramadhan yang semu/palsu (pseudo Ramadhan).

“Mensyukuri” COVID-19

Lalu datanglah makhluk ciptaaNya yang kemudian mengubah semua apa yang selama ini dirayakan : konsumerisme. Makhluk ini mengobrak-abrik kegenitan kita semua yang sudah keterlaluan memanfaatkan momentum religius yang terhormat seperti Ramadan untuk pemuasan nafsu.

Pendapat Ibn ’Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah menjadi pas untuk kita kontekstualisasi pada keterasingan kita sebelum pandemi ini, menjadikan Ramadan nenjadi sesuatu “yang materiil”. Bagi Ibn ”Arabi, puasa adalah ritual negatif yang menjadi “beban yang wajib”, yang begitu beda dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia. Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Karena itu, Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan. (Muhammad Al Fayaddl, 2012).

Puasa adalah pengosongan diri dari sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi berpendarnya cahaya Tuhan, sehingga yang tersisa adalah sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya (Kautsar Azhari Noer, 2008).

Separuh harapan Ibn’ Arabi ini menjadi kenyataan setelah makhluk baru ini lahir di tengah-tengah kita. Semua orang mesti “meninggalkan” apa yang tidak seharusnya. Pseudo Ramadan yang selama ini berlaku pada akhirnya terhenti.

Pada ujungnya, ada upaya mengembalikan fitrah Ramadan yang semestinya, menjadi lebih khusyuk. Tak ada lagi hingar bingar.

Kini yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana menjadikan Ramadan sebagai momentum membangkitkan motivasi, semangat, sumber inspirasi dan membangunkan kembali kesadaran kritis yang mengendap dalam diri setiap umat Islam, dengan demikian kehadiran Ramadan tersebut menjadi terarahkan maknanya.

Selanjutnya, bagaimana kesadaran kritis yang dibangkitkan tersebut tersebut mampu menggerakkan umat untuk melakukan perubahan radikal dalam dirinya sebelum kemudian ditularkan kedalam lingkup yang lebih luas. Kesadaran kritis yang dimaksud untuk mengentaskan ketertindasan dan melawan penindasan manusia atas manusia lainnya. Apalagi saat ini semua kalangan, khususnya kaum miskin berada di titik nadir ekonomi.

Harapan inilah yang kemudian menjadi obsesi kita dalam Ramadan yang akan segera berakhir, semata-mata agar berkah Ramadan menyebar seperti pupuk di tanah kita.

Selamat menjalani sisa-sisa hari bersama Ramadan, yang kini ditemani makhluk baru ciptaanNya, yang membuat kita harus lebih khusyuk dan tulus menerima apa yang sedang “diajarkanNya” secara kolektif. Kita patut bersyukur atas hikmah yang terjadi pada Ramadan tahun ini yang telah “mengekang” kita untuk berlebih-lebihan. Semoga, dengan hikmah tersebut, kita semua diterangi cahayaNya yang tak terbatas.****

Penulis Funco Tanipu, Dosen Sosiologi di Universitas Negeri Gorontalo.

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60