Oleh : Muhammad Makmun Rasyid
Agama dan pembawa agama, ibarat dua sisi keping mata uang. Agama hadir dengan visi membimbing dan mengatur pola prilaku, menata kehidupan pribadi dan sosial masyarakat. Hadirnya sebuah agama, tidak bisa lepas dari sosio-historis sang pembawa agama. Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam hadir, yang saya ibaratkan dengan menutup lubang bangunan yang kekurangan satu batu bata. Kekurangan itu dalam agama adalah akhlak. Visinya, mengajarkan dan menyebarkan ajaran yang penuh kerahmatan dan kasih sayang. Tugas utamanya sejak diutus menjadi nabi dan rasul, tiada lain hanyalah mengajak, bukan memaksa seluruh manusia di dunia untuk masuk Islam. Nabi pun dibekali mukjizat terbesar bernama al-Qur’ȃn.
Sebagai sebuah pedoman, Al-Qur’an merupakan kompas kehidupan dan obat bagi orang-orang yang mengimaninya (Qs. Yûnus [10]: 57). Kehebatan daya tarik dari ayat-ayatnya, selalu menyilaukan mata para pengkaji dan pemerhatinya. Sebuah bacaan sempurna dan pancaran cahaya Ilahi. Ia tidak saja diperuntukkan untuk umat Muslim, namun untuk seluruh alam semesta. Maka di dalam mushaf itu akan banyak dijumpai ayat-ayat perdamaian dan lemah lembut serta kasih sayang. Ini sebagai bukti penekanan bahwa hanya dengan cinta peradaban suci akan tumbuh.
Hati dan jiwa yang selalu disirami oleh untaian-untaian kalimat Allah, akan membentuk jiwa yang lemah lembut dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai al-Qur`an. Al-Qur`an disatu sisi juga, mampu memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan perspektif yang membacanya. Orang Muslim dan non-Muslim, sama-sama membaca al-Qur’an akan mendapatkan pemahaman dan hasil yang berbeda, tidak saja dipengaruhi oleh sistem berpikir dan metodologi yang dimiliki, namun spiritualitas memainkan peranan istimewa dalam aktivitas membaca itu.
Sebab itu pula, masyarakat Arab pada saat itu beranggapan bahwasanya kitab suci al-Qur’an sungguh unik dan indah. Para penyembah berhala di kota Makkah merasa haru terhadap susunan, lirik bacaan yang telah dikumandangkan oleh sebagian penganut agama Islam. Mereka tunduk dan tak berdaya untuk menciptakan dan membuat yang semisal. Seperti yang terdokumentasikan dalam al-Qur’an: Qs. al-Baqarah [2]: 23; Qs. Yûnus [10]: 38; Qs. Hûd [11]: 13-14 dan Qs. al-Isrȃ’ [17]: 88.
Dalam aktivitas membaca itu akan menghadirkan keimanan. Setelah kita mengimaninya dengan penuh kesadaran dan percaya al-Qur’an terjaga sampai hari kiamat (Qs. al-Hijr [15]: 9). Pertanyaan yang muncul adalah sudahkah di dalam kepercayaan dan penghayatan itu, kita menghormati dan mengagungkan al-Qur’an? Jika sudah, bersyukurlah; jika belum, “na’uzubillah”.
Ungkapan pemikir kontemporer, Muhammad Iqbal patut menjadi renungan kita bersama, yaitu: “religion, as stated before, seeks a closer contact with the Ultimate Reality. Islam ia not only a religion or a name for beliefs or certain forms of worship; it is, in fact, a philosophy of life a complete code for the guidance of the individual’s entire life—from the cradle to the grave and from the grave to the yonder world”.
Iqbal ingin menitikberatkan pada konsep falsafah hidup. Menurutnya, Islam tidak saja sebuah kepercayaan, tapi sebagai falsafah hidup. Islamlah yang memberi bagaimana mengatur hidup, penghidupan dan kehidupan. Cara mengaturnya ini dapat terlaksana dengan sempurna dan baik tatkala pendidikan seseorang baik. Faktanya, Indonesia dengan moto memberantas buta huruf dan mengupayakan mengangkat martabat bangsa melalui pendidikan, sukses. Bangunan megah dan bertingkat, ada dimana-mana.
Masyarakat telah sekolah, dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi sudah tak terhitung jumlahnya. Namun, pendidikan di Indonesia, tidak menjamin lulusannya memiliki akhlak. Artinya, kita punya pendidikan dan budaya kehilangan akhlak. Kita punya hukum kehilangan keadilan. Kita punya ekonomi tapi kehilangan pemerataan. Aspek akhlakul karimah, keadilan dan pemerataan adalah hal mendasar yang paling dasar dalam agama.
Kita selalu mengucapkan untuk membaca al-Qur’an, tapi saat memegangnya dan membacanya kehilangan adab dan aklak. Inilah kerisauan saya, akhirnya tahun 2015 menulis sebuah buku lagi berjudul “Kemukjizatan Menghafal Al-Qur’an [Jakarta: Quanta Emk, 2015]”.
Pertanyaan mendasar yang saya ajukan adalah seseorang ingin bercinta dengan al-Qur’an, namun menafikan adab-adabnya, termasuk cara membawanya dan menaruhnya. Bagaimana mungkin ia akan mendapat ridha dan keberkahan dari al-Qur’an tersebut. Al-Qur’an bukanlah majalah dan koran, yang saat kita membacanya tanpa disertai adab-adab dan ketentuan baku, sebagaimana yang diajarkan para ulama. Keluhuran al-Qur’an sangat tinggi, namun kita masih menyejajarkannya dengan kaki. Membawanya layakanya buku biasa, seperti “ditenteng” layaknya koran.
Ketika sebuah masyarakat tidak lagi menghormati, menghargai dan menghayati pedoman hidupnya, maka tunggulah kehancuran akan menimpanya. Kehancuran sebuah daerah – bahkan negara – tidak perlu dirusak generasi mudanya dengan minuman keras, berjudi dan zina, cukup dengan mereka tidak menghargai pedoman hidupnya (al-Qur’an).
Jikalau kita beriman, maka seharusnyalah kita menghormati al-Qur’an, sebagaimana penghormatan pembawa agama kepada mukjizat yang didapatkannya. Pepatah populer dalam dunia tasawuf “barangsiapa yang tidak pernah merasainya, tidaklah akan dapat mengetahuinya”. Ini bisa menjadi jawabanya, bahwa kita tidak sadar—mungkin sengaja—dalam membaca al-Qur’an ada adab dan aturannya.
Budaya yang jelek, turun temurun, adalah bias malapetaka sebuah masyarakat. Al-Qur’an tidak saja ilmu tetapi sumber ilmu, ia luhur namun budaya dan orang yang membacanya tak seluhur al-Qur’an itu. Walaupun, orang yang membacanya, mengklaim dirinya sudah bersuci dari kotoran kecil dan besar, terbebas dari najis. Layaknya, syariat Islam dan negara Islam. Syariat Islam (al-Qur’an dan Sunnah) sangat luhur, namun negara Islam tak luhur, sekalipun masyarakatnya mengklaim negaranya berasaskan Islam. Karena keduanya aka nada jarak, yang sulit tersatukan.
Dalam kasus fenomenanl dan membudaya di daerah kita, seseorang yang telah berbuat korupsi adalah mereka-mereka yang juga berpuasa dan membaca al-Qur’an. Tapi mengapa mereka korupsi? Karena segalanya yang terkait ibadah, saat melakukannya tidak terjadi internalisasi dan membuahkan hidayah. Sebab adapula orang yang semakin hari beraktivitas tapi hidayah tidak menyertainya. Maka Ramadan ini menjadi wahana memoles diri dan berusaha menginternalisasikan nilai-nilai al-Qur’an ke dalam kehidupan sehari-hari.
Ringkasnya, budaya membaca al-Qur’an harus diselaraskan dengan tingkat penghormatan dan pengagungan kita kepada al-Qur’an. Selain Nabi Muhammad Saw, al-Qur’an mampu memberikan syafaat kepada orang yang mencintainya. Tiada artinya bila al-Qur`ân kita baca namun tak berbanding lurus dengan budi pekerti dan akhlak kita. Melalui Qs. al-Furqân [25]: 30 menjadi peringatan kepada kita, agar selalu “mulâzamah” (mengulang-ngulang) dengan al-Qur`ân, tak membiarkannya berdebu di lemari, serta tak menghiraukannya dengan tidak menyentuh dan membacanya setiap hari. []