Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
“Orang-orang yang mendapat rezeki halal, hatinya akan bersih. Banyak orang desa, miskin, hatinya bersih dan berdoa, anaknya jadi ulama, intelektual, presiden dan tokoh dunia. Disisi lain, banyak orang kaya dan memiliki jabatan, tapi anaknya kena narkoba, kena ini dan itu. Jadi, kebersihan akan membuahkan kebesaran. Tapi kebesaran yang tidak bertanggungjawab akan memukul dirinya sendiri”
——Dr. KH. A. Hasyim Muzadi
Muslim di Indonesia tengah mengalami kebahagiaan sekaligus kemunduran. Kebahagiaan bersumber dari telah usainya pesta demokrasi yang cukup memakan waktu lama dan menghabiskan energi bangsa, dan hadirnya ibadah puasa Ramadan. Pengumuman dari KPU nantinya akan melahirkan kepuasan dan ketidakpuasan. Namun apapun itu, semuanya telah disediakan panduan berdemokrasi yang baik dan dijamin oleh konstitusi. Maka sebenarnya, tak ada gunanya membuang energi untuk berkelahi di dunia maya. Lebih-lebih jika hal itu dipelopori oleh para cerdik cendekia yang telah masuk ke ruang pengkutuban. Sedangkan kemundurannya, hadirnya Ramadan tidak menyurutkan praktik-praktik negatif dan buruk di Indonesia.
Ambiguitas antara dengungan kebaikan dengan praktik kehidupan seseorang. Euforia berpuasa diselipi prilaku nonetis, yang juga diperankan oleh mereka-mereka yang pintar—tapi tidak benar. Misalnya, pejabat ASN yang melakukan korupsi. Disini persoalan mengkontekstualisasikan ajaran dan nilai-nilai Ramadan (das sollen) ke dalam fakta (das sein) mengalami kemandekan. Kemandekan itu menambah kaburnya gerakan membumisasikan visi Tuhan yang diwakilkan ke manusia sebagai khalifah di muka bumi (Qs. Al-Baqarah [2]: 30). Lalu dimanakah letak tanggungjawab sebagai mahluk bermoral?.
Merevitalisasi moral menjadi kebutuhan primer sebagai wujud gerakan dari keimanan yang produktif di bumi Serambi Madinah. Pengikraran diri sebagai “Dulio Limo lo Pohalaa” (Bumi Serambi Madinah) harus dibuatkan gerakan strategis untuk mewujudkan setumpuk nilai-nilai filosofis Gorontalo. Sebab, kriris “moral reasoning” (dimensi moral) telah merembet ke diri orang-orang pintar yang bergelar dan bertahta.
Wadah pendidikan sejenis kampus, saat ini belum memuaskan untuk menghadirkan orang-orang pintar yang benar dan bertanggungjawab atas amanah yang diberikan kepada masing-masing individu. Disini ragam keahlian dan pekerjaan harus ditopang oleh hidayah dari Allah. Panduan agama dan kompas hidup (al-Qur’an) bukan pajangan, melainkan saat masing-masing kita diciptakan sudah ada ikrar suci dengan Allah.
Disini dipastikan bahwa orang-orang yang melanggar etika agama dan mengabaikan ajaran agama bukanlah orang ateis. Di antara mereka ada yang berpuasa, berhaji dan berzakat. Tapi efek beribadah itu tidak membekas dalam diri. Tentunya ini disebabkan ketidakmampuan menyerap dan menginternalisasikan ajaran agama sebagai operasionaliasi semangat bertauhid dan beragama yang benar.
Memperbaharui niat kembali dalam berpuasa di bulan Ramadan menjadi keniscayaan setiap manusia. Agar berpuasa yang kita lakukan mendapat nilai berpahala dan meraih pribadi yang bertakwa. Wujud takwa itu menerapkan jejak luhur Nabi Muhammad SAW. Salah satunya menjauhi ragam penyakit kronis bangsa ini, semisal korupsi dan dagang jabatan serta memberikan suatu amanah kepada yang bukan ahlinya.
Beberapa oknum yang terlibat korupsi, sebenarnya sudah menjadi persoalan struktural, kultural dan personal. Struktural karena telah membudaya di internal pemerintah, instutusi politik dan tak kalah seriusnya di internal penegak hukum. Sedangkan kultural karena menjadi kelaziman kolektif dan personal disebabkan mentalitas korupsi sudah menjalar kemana-mana. Bahayanya korupsi, sampai-sampai dalam kajian fikih kontemporer terkategorikan sebagai syirik modern.
Sampai-sampai ada penyair pernah mengatakan: “sekiranya aku berkuasa atas alam seperti Allah, sungguh akan aku hancurkan alam ini sampai akar-akarnya dan akan aku ciptakan alam baru. Tempat segala sesuatu bisa mencapai semua tujuannya dengan kebebasan sempurna”. Syair itu, di tengah kejahatan dan prilaku buruk merajalela, mungkin terkesan apik. Tapi, dalam konteks meminimalisir kejahatan, syair itu mengandung sifat “kekanak-kanakan”.
Melihat alam ini harus secara keseluruhan. Disitu kita menerima eksistensi kebrutalan dan ketentraman, kejahatan dan kebaikan, kesuksesan dan kegagalan, dan lainnya. Dengan begitu, hakikat keburukan menampakkan kebaikan dan hal-hal negatif menampakkan hal-hal positif. Kita tidak bisa mengatakan bohong itu buruk manakala tidak ada perbandingannya dengan jujur. Maka wujud keburukan itu ada sebagai sebuah tatanan utuh alam semesta. Agar hal-hal indah dan baik terjelmakan dan menjadi sesuatu yang “maujud” (ada).
Persepsi ini sebenarnya sudah bisa mengantarkan kita untuk berkata buruk atas korupsi dan perbuatan ammoral lainnya. Realitas beragama dan bernegara menjadi pragmatis dan amburadul lantaran moralitas berkehidupan telah “mendua” (ambigu). Di satu sisi berteriak melawan korupsi, disatu sisi masuk dalam kubangan praktik korupsi.
Di tengah bulan Ramadan ini, meminjam pernyataan Hegel bahwa adanya “konflik dan kejahatan…harus membentuk tangga mencapai kebaikan dan kesempurnaan”. Mengapa? Karena ada sesuatu yang selalu tersembunyi di setiap lawannya. Di tengah-tengah kubangan keburukan yang membudaya, ada tersembunyi potensi menjadi manusia yang baik dan bermartabat. Tentunya logika ini didasarkan pada ayat, “sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Qs. Al-Insyirah [94]: 5-6). Ayat ini mendedahkan kita dengan redaksi “bersama kesulitan ada kemudahan” bukan “kemudahan itu setelah kesulitan”.
Ayat itu pula menyangkal syair akan sebuah harapan membuat “alam baru” karena banyaknya keburukan di muka bumi dan menggantinya dengan wajah penuh kebaikan. Ada sebuah harapan untuk kita yang berpuasa Ramadan akan menjadi manusia yang amanah sebagai khalifah. Dilahirkan untuk berbuat dan menanam kebajikan dan menyerukan perdamaian serta kemaslahatan untuk sesama. Jangan sampai, amanah itu digunakan untuk mencari rezeki-rezeki “istidraj”. Sebuah pendapatan yang terasa nikmat, namun sejatinya ia awal dari hadirnya malapetaka.
Puasa mengajarkan kita untuk meraih eksistensi yang layak dengan setumpuk cobaan. “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam kepayahan” (Qs. Al-Balad [90]: 4). Maksudnya, kesulitan dan kepayahan meraih sesuatu yang diinginkan jangan membuat kita kehilangan etika dalam kehidupan. Puasa mendidik manusia agar dalam guncangan hidup mampu menjadi cambuk untuk menuju kesempurnaan hakiki.
Jangan hanya selalu ingin menjeburkan diri ke ruang kenikmatan dan kesenangan tanpa melalui kesulitan, sebab itu akan membuat kita jatuh merosot. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Qs. Al-Baqarah [2]: 155). Dalam bahasa KH. A. Hasyim Muzadi bahwa “orang yang (selama hidupnya) meminta kemudahan tanpa bersedia melakoni kesulitan, maka dia sedang menuju kesulitan yang lebih besar dari apa yang dia inginkan”.
Tidak hanya sampai disitu, Ramadan dihadiahkan untuk menegakkan dan memperjuangkan dimensi moral di setiap lini kehidupan. Moralitas menjadi tujuan penting dalam training Ramadan ini. Jangan sampai kita masuk ke ruang training tapi sebab perbuatan yang dianggap tidak tercela menjadikan Allah tidak menyukai dan mencintai.
Al-Qur’an mewejangkan beberapa hal yang tidak dicintainya. Pertama, orang-orang yang melewati batas (Qs. Al-Baqarah [2]: 190). Dalam kehidupan ini, intinya kita tidak boleh melewati batas. Maka syukur atas pemberian setelah kerja keras harus ada dalam diri masing-masing. Menjadi manusia bersyukur bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Sebab, ikhtiar adalah usaha lahiriyah dan munajat adalah usaha batiniyah. Keduanya akan menjadi rem jika ingin bertindak di luar batas.
Kedua, prinsip di atas diikuti dengan tidak bolehnya berlebih-lebihan. “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs. Al-A’râf [7]: 31). Ternyata banyak manusia yang hanya mengamalkan ayat ini awalnya saja “makan dan minumlah”, sedangkan teks berikutnya “janganlah berlebih-lebihan” diabaikan. Ia bekerja untuk mencari harta, tahta dan wanita tapi berlebih-lebihan sampai-sampai tetangganya tidak merasakan sedikitpun kenikmatan duniawi yang dimilikinya.
Ketiga, Allah tidak mencintai orang-orang zalim (Qs. Ali Imrân [3]: 140). Dalam konteks bernegara, korupsi dalam kasus ayat tersebut termasuk orang-orang zalim. Karena telah mengambil sesuatu yang bukan haknya dan merugikan banyak orang. Jikalau orang sudah berbuat zalim maka keadilan sirna dalam dirinya (walau potensi itu masih bisa dihadirkan kembali). Dalam konteks beragama, orang-orang yang mengabaikan perintah Allah dan rasul-Nya adalah orang-orang zalim. Disini kezaliman sebagai antitesa dari menghilangkan komitmen—dalam perkara apapun.
Keempat, Allah tidak mencintai orang-orang pongah, sombong dan berbangga-bangga diri (Qs. Luqmân [13]: 18). Menyetir pendapat Jalaluddin Rumi, hanya dengan kerendahan hati kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Artinya, ketiga sifat buruk itu bisa menjadi kendala perjalanan menuju penantian tertinggi, yakni bertemu Allah SWT.
Keempat hal yang tidak dicintai Allah itu bisa ditangani dengan berpuasa Ramadan dengan sebenar-benarnya. Ramadan bisa menjadi penolong diri kita dari segala kebrutalan hidup yang selama ini kita lakukan tanpa pernah merasakan bahwa itu buruk. Dan keberhasilan dalam menjalankan ramadan akan melahirkan pribadi yang bermoral lagi berintegritas. Hanya dengan memiliki moral dan akhlak, keindahan dan kebahagiaan akan tercipta. Tanpa moralitas dan cinta, maka membumisasikan visi Tuhan dan cita-cita mewujudkan Gorontalo berkeadaban penuh integritas hanyalah lonceng dan teks tak bermakna. Rawatlah Gorontalo dengan menjadikan diri kita masing-masing sebagai mahluk bermoral, berintegritas dan berkualitas. Selamat berbuka puasa!