Muhammad Makmun Rasyid
Manusia didesain oleh Allah sebagai insan terbaik. Dijadikannya khalifah di muka bumi agar menebar kebaikan dan mencegah kejahatan. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (Qs. Al-Baqarah [2]: 143). Disamping itu, mengajak manusia agar kembali ke perjanjian utamanya, yakni beribadah secara maksimal. Fungsinya, agar terciptanya kebahagiaan dan ketenangan dalam diri. Dan Ramadaan—sebagai ibadah wajib—membuat semua manusia bahagia, yang bulan ini dinikmati pula oleh non-Muslim. Sebab, tidak saja masjid penuh sesak dan terasa sempit, tapi pusat-pusat perdagangan penuh sesak sampai lebaran tiba.
Ya, Ramadan bulan penuh kegembiraan. Sebab itu, di Gorontalo ada sebuah tradisi Ketuk Sahur (Koko’o). Dilakukan selama Ramadan penuh, baik oleh anak-anak sampai orang tua. Menggunakan ragam kendaraan. Makna lain dari tradisi ini disebut sebagai bentuk kegembiraan akan bertemunya dengan bulan penuh ampunan, penyucian jiwa (tazkiyatu al-Nafs) dan pendidikan karakter. Tapi apakah mendapat ampunan-Nya?
Dalam Islam, (sejatinya) bukan karena Ramadan Allah mengampuni kita. Perspektif pengampunan kerap mengaburkan hakikat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Seakan-akan, di luar Ramadan pengampunan terkunci dan jendela arsy tidak terbuka lebar. Padahal, sifat Allah sebagai Maha Pengampun akan datang “tanpa tergantung” kondisi, bulan dan waktu. Ia diberi kepada siapa saja yang meminta. Selama manusia mengundangnya, maka akan datang.
Begitulah sabda-sabda Nabi yang menjanjikan kelimpahan pahala bagi yang menemui Ramadaan. Ibarat mengejar dan mendambakan bertemunya Lailatul Qadar, maka seseorang harus punya tiketnya, yaitu puasa Ramadaan. Begitu pula ampunan-Nya, kuncinya adalah kebersihan segala-galanya. Dan Ramadaan ini sebagai salah satu tempat penyucian jiwa yang paling efektif, yang mengajarkan amal ritual dan amal sosial sama pendapatannya. Bayangkan, pahala menyuguhkan makanan dan minuman sama seperti pahala orang yang berpuasa. Disinilah keistimewaan Ramadan.
Keistimewaan-keistimewaan yang ada di dalamnya membuat manusia membutuhkannya. Semacam ada kebutuhan yang membara untuk berpaling total ke ruang spiritual dan merobek-robek dada agar tampak 11 bulan sebelumnya telah berbuat apa. Menghempaskan badaniyah ke penghamparan yang telah teleburi oleh gemerlapnya aktivitas duniawi dan pergi berlayar ke singgasana kehidupan penuh kebahagiaan. Disini, kebahagiaan tidak sekedar bertemu dan bercengkrama dengan Ramadhan, tapi mendapat ampunan-Nya.
Sebab, ada sebuah pertemuan yang berujung nestapa dan berakhir sesal. Namun, tiket untuk mendapatkannya itu telah diberitakan Nabi dalam sebuah pidatonya. “Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan ampunan. Bulan yang paling mulia disisi-Nya. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya”.
“Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat.”
“Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu.”
Pidato itu menjagarkan bahwa ampunan menjadi tiket utama memasuki surga-Nya dan kehidupan bahagia kelak hari. Yang ampunan itu pula tersebar di luar Ramadan. Sebab, Ramadhan sebagai bulan pendidikan pengontrolan nafsu insaniyah. Disini nafsu tidak boleh diputus, melainkan dikontrol agar ditempatkan pada tempatnya. Disini pula puasa Ramadan semacam penawar bagi racun-racun yang kerap mematikan hati manusia. Maka siapa saja yang menamatkan puasa yang disertai iman dan pengharapan maka ia kembali suci bagaikan bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.
Dan ambisi menggapai kebahagiaan itu membutuhkan kecakapan dalam mengolah hati sebagai tempat makrifat. Yang kecerdasannya lebih tajam dan dalam dari kecerdasan abstrak (otak). Dengan bekal istiqamah beribadah, hati akan menjadi lembut, tampil jiwa penuh kasih sayang. Dalam diri seorang pencari kebenaran, kebersihan hati dari prasangka buruk, menjadi pintu masuk ketersingkapan isi alam semesta. Kewajiban seorang pencari kebenaran, mempersiapkan diri dari pengolahan diri dari pengosongan terhadap sifat-sifat tercela (takhalli), menimbun sifat tercela itu dengan sifat terpuji (tahlli) dan konsistensi pada tahap kedua, membawa pencari kebenaran pada tahapan tajalli (tersingkpnya tabir).
Banyak manusia yang menginginkan kehidupannya penuh kebahagiaan, tetapi rintangannya enggan dinikmatinya. Sungguh, “saat kepayahan terlewati, kebahagiaan akan mengabadi. Sebaliknya, saat kebahagiaan terlewati, penyesalan akan mengabadi”, ungkap Ibnu al-Jauzi. Konsistensi ketaatan saat kepayahan menimpa, terkadang lebih berat dilaksanakan, ketimbang konsistensi di saat kemewahan dan kelayakan hidup menimpa seseorang. Oleh sebab itulah, konsistensi dan istiqamah harus diterapkan dalam segala lini kehidupan; baik kepayahan maupun kemewahan duniawi menempel dan dimilikinya.
Puasa Ramadan jangan dijadikan momen menaruh kegembiraan semata, melainkan harus dicicipi agar merasakan kegembiraan itu. Dalam mencicipinya, berusahalah ke arah itu dengan sungguh-sungguh. Maka Allah akan memberikannya. Cicipi segalanya dan jangan hanya berpuasa semata, sebab usaha yang keras dan totalitas berbeda dengan yang bergembira di awal datangnya dan enggan menjeburkan diri ke dasar lautan kenikmatan. Semoga Allah memberikan ampunan-Nya.*****