banner 468x60

Rekomendasi Ombudsman Dalam Pelayanan Publik

Pelayanan Publik

READ.ID – Salah satu warisan almarhum Gus Dur, Presiden RI yang ke 4 adalah hadirnya lembaga negara bernama Ombudsman Republik Indonesia (awalnya bernama Komisi Ombudsman Nasional). Lembaga ini dibentuk Gus Dur dengan Kepres 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, kemudian pada tahun 2008 dikuatkan melalui UU yaitu UU 37 Tahun 2008 dan berganti nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman) yang kita kenal sekarang.

Sebagai lembaga negara yang  mengawasi pelayanan publik tugas Ombudsman sangat luas yakni mengawasi kementerian dan lembaga  di tingkat pusat maupun pemerintah daerah, termasuk BUMD/BUMD dan swasta atau perseorangan yang menggunakan anggaran negara/daerah serta melakukan misi negara yaitu penyelenggaraan pelayanan publik (Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman).Asal mula nama lembaga ini, dari Skandinavia tepatnya di Swedia tahun 1713 oleh raja Charles XII dan berkembang diseluruh dunia sebagaimana kelembagaan Ombudsman yang dikenal saat ini. Adapun arti harafiahnya atau aslinya dari Swedia, Norwegia, dan Denmark yaitu ombudsmandia secara etimologis berakar pada kata norse kuno umboðsmaðr, yang pada intinya berarti “perwakilan” dengan kata umbud/ombud yang berarti “proxy”, “pengacara”, yaitu seseorang yang berwenang bertindak untuk orang lain, makna yang masih ada dalam bahasa Skandinavia.

Bila mengacu pada data keanggotaan institusi Ombudsman internasional pada saat ini berjumlah 232 anggota, dimana lebih dari 150 negara yang memiliki institusi ini bandingkan dengan keanggotaan PBB yang terdiri dari 193 negara. Kehadiran lembaga ini tidak mengenal bentuk negara, baik negara berbentuk kerajaan, republik, federal atau negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris memiliki lembaga yang namanya Ombudsman. Mengingat bahwa tujuan Ombudsman adalah menjamin hak warga negara agar terlayani dengan baik dan birokrasi pemerintahan tidak melakukan “abuse of power” atau maladministrasi.

Setiap negara yang  memiliki Ombudsman mempunyai tugas dan kewenangan serta kekhususan yang berbeda-beda intinya melindungi hak publik, seperti khusus  menangani hak azasi manusia sebagaimana di hampir seluruh negara Eropa, memiliki kewenangan  dalam penanganan perkara korupsi (Korea Selatan, Philipina), terlibat penyelesaian sengketa pemilu (Papua New Guinea) serta berbagai kewenangan lainnya. Demikian pula dari sisi dasar hukum pembentukan kelembagaan Ombudsman, ada yang dibentuk dengan konstitusi negara (Swedia, Thailand, Timor Leste), dibentuk dengan UU (Indonesia, Australia, Selandia Baru) dan terdapat Ombudsman yang dibentuk dengan keputusan presiden, namun memiliki kewenangan dan pengaruh yang besar (Pakistan).

Sementara itu Majelis Umum PBB  pada tanggal 16/12/2020 mengadopsi resolusi A/RES/75/186 tentang “Peran Ombudsman dan lembaga mediator dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, tata pemerintahan yang baik, dan supremasi hukum”. Dengan demikian khusus bagi Indonesia yang memiliki lembaga ini diharapkan dapat memainkan perannya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang baik.

Tugas dan Wewenang Ombudsman

Dalam konteks Indonesia, sebagai lembaga negara tugas dan wewenang Ombudsman dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 dan 8 UU 37/2008, selanjutnya diperkuat dengan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan Pasal 351 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Sama halnya dengan berbagai negara di dunia yang memiliki lembaga ini, tugas utamanya adalah menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat tentang maladministrasi dalam pelayanan publik dan melakukan pencegahan atas praktek maladministrasi.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Ombudsman selain tunduk pada amanat UU, terikat pula dengan prinsip-prinsip yang berlaku universal di dunia seperti prinsip mendengarkan para pihak atau tidak boleh memihak, obyektif, semua laporan masyarakat harus melalui review proses atau pemeriksaan yang mendalam, melakukan pendekatan dengan cara persuasif dan tidak mengedepankan penghukuman  atau sanksi. Sebagai contoh setiap tahun terdapat ribuan laporan atau permasalahan yang terkait dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di seluruh Indonesia.

Hal itu dapat terjadi karena terbatasnya sekolah pada semua tingkatan dari SD, SMP dan SMA yang dikelola pemerintah atau sekolah negeri, sementara minat masyarakat sedemikian tinggi dan merasa bahwa masuk sekolah negeri bahkan diangap sebagai sekolah unggulan dapat memberikan kemudahan untuk kemudian dapat masuk ke perguruan tinggi negeri. Dengan demikian terjadi rebutan kursi untuk masuk sekolah dan dalam prakteknya rawan pungli, terkait dengan laporan masyarakat atau fenomena semacam ini, Ombudsman menyikapi dengan menyelesaikan secara kekeluargaan antara orang tua murid dan sekolah, melalui proses konsiliasi dimana uang pungli kemudian dikembalikan dan oknum dari pihak sekolah yang melakukan pungli diberikan teguran, untuk anak yang memenuhi syarat difasilitasi untuk diterima pada sekolah bersangkutan, sebaliknya yang tidak memenuhi syarat diberikan edukasi untuk mencari sekolah lainnya, kecuali mengulangi perbuatan pungli tersebut pada tahun berikutnya maka akan langsung dilaporkan kepada penegak hukum untuk ditindak.

Pada saat ini Ombudsman RI sudah hadir di 34 provinsi karena terdapat mandat UU untuk membentuk perwakilan di daerah. Setiap tahun ribuan laporan masyarakat yang ditangani oleh Ombudsman, sebagai gambaran pada tahun 2022, terdapat 6.767 laporan masyarakat, belum lagi yang sifatnya konsultasi yaitu berjumlah 11.427, sedangkan yang menjadi inisiatif Ombudsman tanpa ada laporan berjumlah 88 inisiatif, bahwa dari jumlah total laporan pada tahun 2022 tersebut lebih dari 60 persen dapat diselesaikan dalam tahun 2022.  Adapun lima besar permasalahan yang dilaporkan masyarakat adalah pelayanan publik oleh pemda 4008 laporan, permasalahan agraria 878 laporan, pelayanan kepolisian 683 laporan, BUMN/BUMD 628 laporan, BUMN/BUMD 628 laporan, kementerian/lembaga ditingkat pusat 517 laporan.

Substansi laporan terkait dugaan maladministrasi antara lain, penundaan berlarut dalam pelayanan 1456 laporan, penyimpangan prosedur 780 laporan, tidak memberikan pelayanan 1.242 laporan, penyimpangan prosedur 780 laporan, tindakan tidak patut oleh penyelenggara pelayanan 293 laporan. Data laporan masyarakat pada tahun 2022 tersebut sejatinya tidak banyak berbeda dengan data pada tahun 2020 dan 2021. Pada tahun 2023  pasca covid-19, jumlah laporan masyarakat akan terus bertambah mengingat sampai dengan awal November 2023 telah lebih dari 7000 ribu laporan masyarakat yang terdata pada sistem pelaporan Ombudsman.

Adapun mekanisme penyelesaian dilakukan sesuai tugas dan wewenang Ombudsman yaitu selesai pada tahap awal seleksi laporan (formil dan materiel), selesai pada tahap pemeriksaan, melalui investigasi lapangan, permintaan keterangan dan konsiliasi, atau selesai pada tahap resolusi dan monitoring yakni melalui mediasi/konsiliasi dan pemberian Rekomendasi Ombudsman (RO). Selain pasif menerima laporan, Ombudsman juga melakukan kegiatan inisiatif investigasi seperti permasalahan distribusi minyak goreng, solar dan pupuk bersubsidi, pelayanan PLN, Pertamina, Kerusuhan dalam pertandingan sepak bola di Malang yang menimbulkan korban jiwa serta berbagai kegiatan pencegahan maladministrasi lainnya.

RO Bersifat Final dan Mengikat

Bahwa proses penanganan laporan oleh Ombudsman setidaknya melalui 3 tahapan yaitu penerimaan dan verifikasi laporan (PVL) pada unit pengaduan masyarakat, pemeriksaan laporan dan resolusi dan monitoring. Pada tahap PVL dipastikan syarat formil dan materielnya terpenuhi sehingga laporan diteruskan pada tahap pemeriksaan. Selanjutnya dalam tahap pemeriksaan dipastikan apakah terdapat maladministrasi atas laporan tersebut melalui suatu proses investigasi yang mendalam sampai dengan dikeluarkannya laporan hasil pemeriksaan (LAHP).

Dalam tahap ini, semua pihak baik pelapor maupun terlapor termasuk pihak terkait dimintai keterangan serta diberikan kesempatan yang sama atau berimbang untuk memberikan penjelasan atas permasalahan atau substansi laporan, termasuk pemeriksaan lapangan bilamana diperlukan agar diperoleh fakta yang sebenarnya atas laporan/pengaduan yang disampaikan kepada Ombudsman. Dalam hal ditemukan malaministrasi maka kepada terlapor yaitu penyelenggara pelayanan diberikan kesempatan untuk memperbaiki pelayanannya melalui tindakan korektif sebagaimana tertuang dalam LAHP yang diberikan kepada terlapor atau atasannya agar dilaksanakan.

Bilamana kemudian tidak ada tindakan korektif  yang dilakukan oleh terlapor  atau atasannya dan terjadi pembiaran maka penanganan selanjutnya sesuai peraturan Ombudsman diserahkan kepada unit yang membidangi resolusi dan monitoring. Pada tahap ini sekali lagi dilakukan persuasi melalui resolusi agar terlapor atau atasannya melaksanakan tindakan korektif yang disampaikan oleh Ombudsman. Bila tidak ada penyelesaian pada tahap resolusi maka melalui mekanisme pleno pimpinan Ombudsman RI dikeluarkan RO.

Adapun RO ini bersifat final dan mengikat atau final and binding sebagaimana ketentuan pasal 38 UU 37/2008 serta ketentuan sanksi sebagaimana diatur dalam UU 25/2009 dan UU 23/2014 bilamana RO tidak dilaksanakan. Sampai dengan bulan Oktober  2023 dari ribuan laporan masyarakat yang ditangani Ombudsman selama tahun berjalan dan juga pada tahun sebelumnya yang belum memperoleh penyelesaian, terdapat 3 laporan masyarakat yang berujung pada diterbitkannya RO. Adapun ketiga instansi yang menjadi terlapor yaitu Walikota Lhokseumawe, terkait dengan ganti rugi pembebasan lahan untuk kepentingan umum, Gubernur Kalimantan Barat terkait dengan ganti rugi pembangunan dermaga di Kabupaten Sambas, dimana terdapat kerusakan bangunan milik warga dan laporan mengenai pemberhentian perangkat desa di Kabupaten Gorontalo yang berjumlah 176 orang tanpa dasar hukum yang jelas.

Ketiga RO tersebut pada saat ini sedang dalam proses monitoring pelaksanaannya. Penulis membatasi tulisan ini khususnya terkait dengan RO kepada bupati Gorontalo sebagaimana RO Nomor: 003/RM.03.01/IX/2023 tanggal 27 September 2023 tentang Maladministrasi oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo terkait Pemberhentian Perangkat Desa melalui Evaluasi Kinerja dan/atau Penyesuaian Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Tahun 2021. Tulisan ini juga sebagai bahan untuk memberikan informasi kepada publik terkait tulisan dalam harian Gorontalo Pos pada tanggal 16 November 2023, baik versi cetak maupun online yang berjudul “Menelaah Rekomendasi Ombudsman Soal Perangkat Desa”, sebagai wacana publik tulisan tersebut memberikan pencerahan dari aspek hukum mengenai ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku dalam perumusan suatu peraturan kepala daerah sesuai dengan PPU yang berlaku.

Apresiasi atas tulisan tersebut sehingga memberikan pemahaman pada pembaca dan menjadi wacana publik. Akan tetapi beberapa pendapat mengenai RO perlu kiranya diluruskan agar tidak terdapat persepsi yang keliru atas tugas dan wewenang Ombudsman khususnya penanganan laporan masyarakat. Dalam hal ini laporan masyarakat mengenai para perangkat desa yang diberhentikan. Dimana berdasarkan hasil pemeriksaan Ombudsman sebagaimana yang tertuang dalam RO terdapat Maladministrasi dalam pemberhentian tersebut sehingga perlu perlindungan pada para perangkat desa.

Apresiasi juga bagi pemerintah kabupaten Gorontalo yang telah melaksanakan sebagian RO tersebut karena sampai saat ini sesuai informasi, tinggal sebagian kecil perangkat desa yang belum memperoleh penyelesaian. Artinya pemda Gorontalo koperatif dan melaksanakan RO karena memfasilitasi penyelesaian laporan dimaksud dan menyadari ada maladministrasi yang terjadi dalam pemberhentian perangkat desa. Adapun RO kepada Bupati Gorontalo terdiri dari 2 bagian yaitu RO yang wajib dilaksanakan sesuai UU Ombudsman, sebagaimana  ketentuan Pasal 38 ayat 1 dan terdapat saran di dalam RO sebagai jalan keluar agar tidak terjadi problematika sistem yaitu peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi landasan hukum bagi pemda untuk mengambil kebijakan seperti mekanisme evaluasi terhadap perangkat desa agar tidak terjadi maladministrasi berulang, perbaikan regulasi sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 2. Bahwa kemudian dalam penyusunan peraturan perundang-undangan terdapat mekanisme dan tata cara sebagaimana lazimnya PPU yang juga harus dipatuhi, seperti melibatkan DPRD dalam penyusunan perda. Mengingat hal itu merupakan  langkah teknis maka menjadi tugas dan wewenang bupati sebagaimana saran didalam RO.

Oleh karena telah jelas landasan hukumnya, maka kepada terlapor dan atasan terlapor selaku pihak yang melaksanakan RO, termasuk pemerintah kabupaten Gorontalo dalam hal ini, perlu diingatkan; Pertama, tidak semua permasalahan pelayanan publik diselesaikan melalui mekanisme hukum atau upaya hukum seperti uji materi atau judicial review baik melalui MK maupun MA sesuai tugas dan kewenangan dua lembaga judisial tersebut, karena negara telah menyediakan lembaga negara seperti Ombudsman untuk terlibat dalam penyelesaian masalah publik. Kedua, penyelesaian oleh Ombudsman memberikan ruang dan waktu yang cukup karena melibatkan semua pemangku kepentingan termasuk Kemendagri sebagai instansi pengawas dan pembina pemeritahan daerah agar memperbaiki layanannya sehingga tidak merugikan pelapor.

Kasus pemberhentian perangkat desa terjadi pada tahun 2021 namun berproses sampai saat ini untuk mendapatkan solusi yang tuntas. Sebagai informasi Kemendagri juga terlibat mendorong pemerintah kabupaten Gorontalo memfasilitasi solusi terkait pemberhentian perangkat desa.

Ketiga, dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih serta bebas KKN, seharusnya ada kesadaran bahwa bila ada kekeliruan dalam tata kelola pemerintahan maka perbaikannya dapat dilakukan dengan mekanisme yang disediakan negara termasuk melalui lembaga seperti Ombudsman yang diberikan kewenangan untuk itu. Bahkan seharusnya dengan kesadaran sendiri atau self correction,  penyelenggara pelayanan melakukan perbaikan karena menyangkut rakyat yang dilayani, bayangkan semua permasalahan publik harus diselesaikan melalui mekanisme yudisial, sementara untuk itu memerlukan sumber daya, biaya, waktu dan tenaga. Hal ini kemudian menjadi pameo dalam pelayanan bahwa mengapa hal yang mudah kemudian dipersulit.

Keempat, dalam kehidupan masyarakat modern dan sudah menjadi praktek baik diberbagai negara bahkan dianjurkan oleh PBB melalui resolusinya, penyelesaian masalah publik di luar sengketa privat pada saat ini cenderung melalui lembaga alternatif seperti Ombudsman atau lembaga mediasi lainnya.

Kelima, penyelesaian melalui Ombudsman tidak dipungut biaya apapun, bayangkan perangkat desa yang sudah diberhentikan harus menyediakan biaya untuk berperkara, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Keenam, bagi kepala daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota yang tidak melaksanakan RO akan ada sanksi sebagaimana ketentuan Pasal 351 UU 23/2014, dan sejauh ini semua RO yang ditujukan kepada kepala daerah setidaknya dilaksanakan semua atau dilaksanakan sebagian dengan alasan yang dapat diterima.

Akhirnya RO merupakan bagian dari upaya negara melalui Ombudsman  untuk melindungi hak masyarakat dan sebagai mitra penyelenggara pelayanan publik agar terus memperbaiki diri diera modern ini sehingga kehadiran negara dirasakan dalam kehidupan masyarakat banyak.

 

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60