banner 468x60

Ridwan Arbie Paparkan Kewenangan Pansus Hak Angket Soal Pemanggilan Paksa

Kewenangan Hak Angket

READ.ID – Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Gorontalo Utara, Ridwan Arbie memaparkan kewenangan panitia khusus (Pansus) hak angket yang bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap pihak terpanggil.

Paparan Ridwan ini untuk menepis pernyataan dari salah satu Advokad, Efendy Dali yang mengatakan bahwa, DPRD tidak memiliki kewenangan soal pemanggilan paksa, dimana panggilan paksa hanya unutuk kasus pidana.

“Sebenarnya tak ada urjensinya bagi Panitia Angket, menanggapi pernyataan Efendy. Namun jangan sampai opini itu akan membuat pemahaman yang timpang di kalangan masyarakat. Sebagai Advokad, Efendy harusnya memiliki kecakapan dalam memahami putusan MK soal panggil paksa,” kata Ridwan, Selasa (29/6/2021).

Dalam rilisnya, Ridwan menjelaskan, konstruksi Putusan Mahkamah Kondtitusi (MK) yang strukturnya rumit dan penggunaan bahasanya yang baku sering kali membuat siapa saja sulit dan butuh kemampuan tersendiri untuk dapat memahaminya.

“Memang dapat dimaklumi memahami putusan MK tidaklah mudah akan tetapi butuh kemampuan tersendiri apalagi jika hanya sekedar main kutip dari Google maka bisa salah kaprah,” terangnya.

Putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 adalah judicial review atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan UU No. 2 Tahun 2018.

Dalam Amar pada Putusan MK No 16/PUU-XVI/2018 tersebut sama sekali tidak mencabut atau membatalkan ketentuan bahwa dalam rangka penggunaan hak Angket DPR-RI memiliki kewenangan memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian bagi para pihak yang tidak memenuhi panggilan setelah dipanggi berturut-turut tanpa alasan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 204 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2018 yang lengkapnya berbunyi:

“Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kah berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggi secara paksa dengan bantuan Kepolisan Negara Republik Indonesia”.

Sesungguhnya Putusan MK No. 16/PUU-XVU2018 tersebut hanya mencabut ketentuan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU No. 2 Tahun 2018 yang pada pokoknya mengatur kewenangan DPR-RI memanggil paksa dengan menggunakan Kepolisian bagi para pihak yang tidak hadir dalam seluruh jenis rapat DPR-RI kecuali dalam rangka penggunaan Hak Angket.

Jadi pada Putusan MK No. 16/PUU-XVU/2018 tersebut tidak mencabut kewenangan DPR-RI dalam memanggil paksa dalam rangka penggunaan Hak Angket akan tetapi hanya mencabut kewenangan DPR-RI dalam memanggil paksa di semua rapat kecuali rapat Panitia Angket.

Selain itu Putusan MK No. 18/PUU-XVI/2018 tersebut hanya mencabut ketentuan Pasal 122 huruf I UU No. 2 Tahun 2018 yang mengatur kewenangan Mahkamah Kehormatan DPR-RI.

Sehingganya, Ridwan menegaskan bahwa, Efendy harusnya banyak belajar agar mampu memahami perbedaan DPR-RI dengan DPRD Prov/Kab/Kota.

Sesungguhnya semenjak berlakunya UU No. 23 Tahun 2014, maka DPRD Prov/kab/Kota tidak lagi berada di bawah rezim UU No.17 Tahun 2014 beserta perubahannya, akan tetapi sudah berada di bawah rezim UU No. 23 Tahun 2014 beserta perubahannya.

“Sehingga Efendy seharusnya tidak mencampur adukan hasil uji materi terhadap UU No. 17 Tahun 2014 yang mengatw DPR-RI dengan norma yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 yang mengatur DPRD Prov/Kab/Kota. Itu sama halnya urusan laut di bawah ke darat

Memang konstruksi pelaksanaan kewenangan DPR-RI dan DPRD Prov/Kab/Kota yang sama-sama sebagai lembaga perwakilan rakyat, dalam sistem Tata Negara Indonesia adalah sebangun, misainya soal hak kelembagaan, samasama memiliki Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat,” jelas Ridwan.

Dalam pelaksanaannya pun berlaku mutatis mutandis, misalnya dalam penggunaan Hak Angket DPR-RI serta DPRD Prov/Kab/Kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian bagi para pihak yang tidak hadir setelah dipanggil berturut-turut.

Meskipun sebangun akan tetapi berbeda dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan pengaturannya.

Perlu juga dijelaskan kepada ED bahwa ketentuan kewenangan DPRD Kab/Kota dalam rangka penggunaan Hak Angket dapat memanggil secara paksa diatur Pasal 171 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 yang selengkapnya berbunyi:

“Dalam hal pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturutturut tidak memenuhi panggilan, DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Ridwan.

Hingga saat ini ketentuan tersebut belum di-review oleh MK maupun oleh perundang-undangan dalam heararki yang sama.

Dengan demikian sangat jelas bahwa disamping tidak ada ketentuan atau Putusan MK yang telah mencabut kewenangan panggil paksa dalam penggunaan Hak Angket oleh DPR-RI, tidak terdapat pula ketentuan atau Putusan MK yang telah mencabut kewenangan panggil paksa, dalam penggunaan Hak Angket oleh DPRD Prov/Kab/Kota, serta terdapat perbedaan antara Undang-undang yang mengatur tentang DPR-RI dan yang mengatur DPRD Prov/Kab/Kota.

“Sehingga kami jelaskan penggunaan Angket DRPD Gorontalo Utara telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena didahului kajian yang bukan abal-abal tapi kajian komprehensif oleh DPRD,” tandas Ridwan.

(WM/Read)

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60