READ.ID – Musim panas dinyatakan selesai tiga hari sebelum pesawat yang mengantarkan peserta pertama pelatihan jurnalisme tingkat lanjut mendarat di Bandara Sheremetyevo, demikian pernyataan dari penyelenggara.
Angin bersuhu 15 derajat Celcius menyambut kami saat akan masuk taksi menuju ke pusat kota dalam musim peralihan.
“Privyet (Halo),” sapa sang pengemudi taksi dalam Bahasa Rusia yang lantas mencoba percakapan terbata-bata kepada kami, peserta dari Asia. Dia tidak fasih berbahasa Inggris tapi dia mencoba memastikan kedatangan kami merupakan yang pertama kali di negara terbesar di Eropa Timur itu.
Seakan ingin menunjukkan kemegahan Moskow sebagai ibu kota, sopir taksi itu hanya sesekali tersenyum kepada kami lewat kaca spion tengah. Lalu-lintas jalan raya Leningradskoye ramai dan lancar sehingga kami tiba di penginapan sebelum matahari terbenam pada pertengahan Agustus.
“Spasiba,” ujar saya kepada sang sopir yang berarti terima kasih dalam Bahasa Rusia. Dia tampak terkesan. Sembari mengeluarkan koper kami dari bagasi, dia membalas ucapan tersebut dengan “Пожалуйста” yang berarti terima kasih kemb
Meskipun tanpa dialog interaktif yang sedianya muncul saat sesama orang asing bertemu, sang sopir taksi setidaknya mencoba mengakrabkan diri dengan pendatang.
Keluar dari kamar penginapan masing-masing, kami para peserta dari ASEAN, Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika bagian utara, negara-negara Balkan, Afrika bagian tengah, Afrika bagian selatan, hingga Amerika Latin saling bertegur sapa dalam jamuan makan malam.
Meski tidak dihadiri tuan rumah Rusia, yang terasa ada hal yang aneh bagi kami, para peserta saling mengidentifikasi pihak lain dengan menghafal negara asal mereka.
Di Moscow, kami akan mengikuti pelatihan jurnalisme tingkat lanjut, tapi kegiatan itu lebih berkesan bagaimana peserta dari negara-negara bukan terafiliasi Barat memahami dan memandang Rusia sebagai negara besar. Eksistensi Rusia sebagai penyeimbang kekuatan militer dan ekonomi di dunia, terutama setelah kemunculan organisasi BRICS, terkesan perlu afirmasi dari kami para peserta.
“Where is the spice, Rusia? (Di mana bumbu itu, Rusia?)” demikian seloroh kawan asal Afrika Selatan yang termaktub dalam salah satu tugas pelatihan. Sebagai sesama anggota BRICS, pertanyaan dia bukan sekadar tentang rempah-rempah ataupun makanan pedas, melainkan perihal dinamika saat orang-orang dari negara lain bercengkrama untuk saling mengenali diri.
Bukan tanpa alasan pertanyaan itu muncul. Itu adalah ekspektasi kehangatan tuan rumah semata dari sudut pandang warga Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Amerika Latin tentu berbeda dengan mereka yang berasal dari Eropa.
Namun dari pernyataan itu pula, kami para peserta harus mencoba memahami bahwa tuan rumah Rusia bukan tidak ramah, mereka sudah saling berbagi tugas sesamanya sehingga acara makan malam diberikan hanya eksklusif untuk kami peserta.
Tuan rumah akui perlu melihat ke Timur
Direktur Kerja Sama Internasional Grup Media Rossiya Segodnya Vasily Pushkov mengakui situasi geopolitik yang harus dihadapi Rusia di Eropa Timur dalam tiga tahun terakhir memaksa negara itu mandiri secara ekonomi, dalam pemenuhan konsumsi negeri, sistem pembayaran, hingga ruang interaksi digital berupa media sosial.
“Dalam konteks saat ini, kami harus menelusuri kembali lebih dalam tentang sejarah bangsa Rusia, bahwa kami juga harus melihat ke arah timur, sebagaimana simbol negara kami yaitu elang dengan dua kepala,” katanya.
Sejatinya, lambang elang berkepala dua Federasi Rusia berakar pada warisan bangsa Het dan Kerajaan Bizantium yang bermakna menyatukan barat dan timur.
Orientasi Rusia sebagai bagian dari bangsa Eropa sudah terjadi sejak kekuasaan Pyotr yang Agung sebagai Tsar Rusia pertama. Namun, pemikir Fyodor Dostoevsky pada abad ke-19 menyebut orientasi itu sebagai kesalahan berpikir karena orang Eropa melihat Rusia sebagai barbar oriental.
Sejarawan Vasily Klyuchevsky pada abad ke-19, sebagaimana dikutip situs Russia Beyond, menyebut, “Rusia tentu saja bukanlah Asia, tetapi secara geografis juga bukan Eropa. Itu adalah negara transisi, perantara antara dua dunia. Budayanya tidak dapat dipisahkan dari Eropa; tetapi alam telah memaksakan karakter dan pengaruh pada Rusia, seakan selalu menarik Rusia ke Asia atau menarik Asia ke Rusia.”
Maka, tidak salah pernyataan Puskhov bahwa pada abad ke-21 saat ini orang-orang Rusia perlu saling berdialog dengan warga Asia, Afrika, Timur Tengah, hingga Amerika Latin. Rusia harus mengakui satu pandangan saja terhadap Negara Barat dapat menjerumuskan mereka.
“Saat ini, populasi dunia lebih banyak di sisi timur dunia, demikian pula keunggulan ekonomi, bahkan berbagai persoalan pun muncul di sisi timur dan bukan di barat,” ujarnya yang menyiratkan ironi situasi terbaru di Eropa timur.
Puskhov yang telah berpengalaman lebih dari 20 tahun menjalin kerja sama dengan perusahaan media asal Amerika Serikat dan Eropa Barat itu mengatakan dialog antar orang dengan orang, bukan hanya antar-pemerintahan, perlu lebih intensif pada masa sekarang dan mendatang.
“Kami orang Rusia sangat terobsesi dengan pariwisata. Ada persoalan yang sangat besar dengan industri pariwisata Eropa saat ini yang menutup pintu kami sebagai tujuan mereka. Dan pariwisata Rusia akan sangat lebih baik misalnya jika melibatkan Asia Tenggara, secara kulturan dan psikologis,” katanya sembari menyebutkan secara spesifik dialog kultural itu dapat diawali dari gastronomi, salah satu bidang yang digemari Generasi Z di belahan dunia manapun.
Rusia sebagai perintis organisasi BRICS, lanjut Puskhov, punya ruang perspektif besar terkait potensi kerjasama dengan ASEAN sehingga menciptakan poros baru ruang dialog antar-manusia. Dialog yang kemudian memunculkan kerja sama dan pendekatan lebih humanis terkait budaya, sains dan teknologi, serta olahraga.
Kerja sama BRICS dan ASEAN, bukan tidak hanya selalu membahas tentang keamanan kawasan dan dunia, melainkan untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan, termasuk di dalamnya ketimpangan ekonomi dan perubahan iklim.
Moskow bantah stereotip soal Rusia
Seringkali kita terbentur stereotip sebelum berdialog dengan pihak lain karena terpaan media sosial yang kita konsumsi dengan logika algoritma-nya. Semakin kita menyukai atau menikmati konten yang kita suka, kita akan terus disuguhkan konten dengan nilai serupa.
Negara tertutup, banyak mafia, hingga malam yang gelap dan kelam tentu saja mengawali stereotip tentang Rusia sebelum para peserta datang di Moskow. Terpaan perspektif negara Barat seperti AS dan Eropa Barat terhadap Rusia yang seringkali diposisikan sebagai musuh meneguhkan hal itu.
Tiga puluh peserta pelatihan dari ASEAN, Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika bagian utara, negara-negara Balkan, Afrika bagian tengah, Afrika bagian selatan, hingga Amerika Latin sepakat satu hal tentang Moskow: aman. Iya, ibu kota itu aman. Pada jam 11 malam, berjalan menyusuri jalanan Moskow tampak skuter listrik tergeletak begitu saja di jalan dan lorong bawah tanah penyeberangan jalan.
Bahkan, jaringan kereta bawah tanah mereka aman dan bersih meskipun penerangan dan gaya arsitektur mereka terkesan tua. Para penjaga di stasiun kereta juga tetap membantu kami para pendatang dari berbagai belahan dunia, meskipun soal kata ramah kami punya definisi lain.
“Satu hal yang perlu kalian para pendatang waspadai adalah iklim kami, yaitu dingin. Beginilah musim panas kami, orang-orang tetap memakai jaket dan bahkan berlapis syal. Jangan tertipu dengan mereka yang menggunakan kaos olahraga dan celana pendek kalau kalian belum pernah ke Moskow sebelumnya,” kata Puskhov soal alasan Rusia aman dari musuh karena perlindungan iklim dingin.
Stereotip Rusia sebagai negara besar yang kaku dengan atmosfer militeristik yang kuat terbantahkan bagi saya asal Indonesia saat berkunjung ke pasar suvenir di Izmailovsky. Saya tetap dapat menawar harga terjangkau untuk boneka khas Rusia berukuran sedang. Berbagai barang yang menampilkan Rusia sebagai bangsa yang berbudaya tampak di lokasi itu, seperti baju tradisional, baju hangat, hingga aneka kerudung dengan bulu binatang.
Rusia itu dingin, bahkan untuk musim panasnya. Tapi, dingin Rusia tidak selalu menyiratkan masyarakatnya secara keseluruhan. Mereka tetap tertarik untuk saling mengenal orang-orang dari belahan bumi yang lain.
Generasi muda mereka juga ramah saat kita berinteraksi dengan Bahasa Inggris, sesuatu yang jarang untuk beberapa negara lain di Eropa Barat dan Asia Timur yang merasa bahasa mereka lebih baik dibanding Inggris.
Oleh kareba itu, dalam konteks dialog antar-bangsa, Indonesia punya kesempatan memainkan peran sebagai negara besar anggota ASEAN untuk duduk bersama Rusia. Indonesia punya beraneka budaya yang akan menarik bagi orang Rusia, begitu pula sebaliknya.
Kita bangsa Indonesia mampu menyuguhkan kehangatan ala masyarakat tropis bagi mereka dari Rusia dalam posisi yang setara, saling membutuhkan, dan saling menghargai.