Oleh : Hifni Hasan
Marikah kita renungkan sejenak mengapa banyak yang memusuhi Front Pembela Islam (FPI)? Apakah mereka telah melakukan makar atau menyebar teror?
Setahu saya tak ada teror yang diciptakan FPI. Tak ada satupun keluar kalimat makar yang mereka ucapkan untuk memecah belah bangsa ini.
Yang ada Pasukan Putih yang didominaai dari kalangan menengah ke bawah ini selalu muncul pada setiap bencana menimpa negeri ini. Mereka selalu hadir lebih awal. Masih ingat peristiwa Tsunami di Aceh. Pasukan binaan Habib Rizieq ini mengevakuator mayat terbanyak, lebih dari100 ribu jenazah. Mereka membangun kembali masjid dan musholah, dan menginap di kuburan selama berbulan-bulan lamanya.
Coba bayangkan mereka tanpa masker mengangkut jenazah yang sudah membusuk. Mereka tidak merasa jijik tatkala melihat mayat yang sudah penuh dengan belatung. Mereka dengan tenang mengumpulkan potongan mayat dalam kantung plastik kemudian mensholatkannya. Tak ada merasa mual yang menghinggapi mereka saat menarik tangan mayat terlepas dari tubuhnya karena sudah membusuk. Mereka pun tidak takut mayat yang bentuknya sudah tidak karuan itu membayangi mimpinya.
Saya yakin dan percaya apa yang mereka lakukan itu tidak mungkin bisa dilakukan penghina FPI meskipun dengan bayaran. Dan, saya percaya juga orang ataupun oknum yang ingin membubarkan FPI mampu melakukannya.
Begitu juga saat tsunama di Palu, Sulawesi Tenggara dan bencana alam lainnya. Mereka tetap hadir dan memberikan bantuan makanan kepada korban bencana.
Harusnya kita sebagai umat muslim dan negara bangga punya Pasukan Putih yang berada di garis depan. Harusnya kita banyak belajar dengan kemampuan Habib Rizieq yang mampu membentuk mereka yang jumlahnya begitu besar dengan sukarela membuang waktunya tanpa menuntut bayaran dari negara untuk melakukan pekerjaan kemanusiaan.
Bukankah sangat sulit mencari pasukan seperti mereka. Boleh dibilang bisa dihitung dengan jari untuk menemukan manusia yang mau berada di tengah bencana dan mengangkut jenazah selama berbulan-bulan.
Harusnya negara memberikan penghargaan. Kalaupun mereka mendapat keistimewaan dari negara itu sangat layak. Kalaupun mereka mendapat fasilitas kesehatan dan kehidupan bagi keluarganya itu pun cukup pantas.
Kenapa demikian? Mereka dengan suka rela meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan untuk menjalankan pekerjaan mulia tersebut. Mereka tidak berharap keuntungan apalagi menambah penghasilan bagi keluarganya saat mengerjakan tugas sangat mulia itu.
Yang ada, mereka hanya meninggalkan perasaan khawatir orang tuanya, istri ataupun anaknya saat berangkat ke lokasi bencana.
Khawatir akan kesehatan dan keselamatannya. Khawatir akan terkena bencana susulan atau terjadi kecelakaan saat menjalankan tugasnya atau terkena penyakit karena terus berada di lokasi mayat.
Pernahkan anggota dewan yang terhormat dan pejabat negara ini memikirkan nasib mereka? Mengalami kekurangan persediaan makanan yang dibawanya ke lokasi bencana. Atau terkena penyakit saat meninggalkan lokasi bencana yang bisa saja menular kepada keluarganya. Atau mereka tak bisa lagi hadir di tengah keluarganya karena meninggal dunia. Lantas bagaimana jika jenazahnya tidak bisa dikembalikan ke tempat asalnya?
Yang pasti air mata seorang ibu akan menetas. Begitu juga air mata sang istri dan anak-anaknya pun akan mengalir deras karena tak lagi bertemu dengan orang yang mereka cintai. Yang pasti, keikhlasan mereka melepas orang kesayangannya itu tidak ternilai harganya.
Mungkin tidak ada salahnya petinggi negara ini merenung secara mendalam apakah sudah berbuat baik untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Yang pasti, virus keikhlasan mereka patut menjadi tauladan dan merasuki anak-anak Indonesia ke depan.
Penulis adalah Mantan Plt Sekjen KOI dan Politisi Partai Demokrat