Indonesia merupakan negara hukum, tentu segala sesuatunya harus didasarkan pada ketentuan hukum, baik itu ketentuan yang mengatur pemerintahan maupun Birokrat, tidak terkecuali dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri yang mengatur hubungan antara birokrasi dan politik pemerintahan kontemporer.
Pada tanggal 14 September 2022 Menteri Tito meneken surat edaran nomor 821/5492/SJ perihal Persetujuan Mendagri Kepada Pelaksana Tugas/Penjabat/Penjabat Sementara Kepala Daerah dalam Aspek Kepegawaian Perangkat Daerah.
Jika ditelisik lebih jauh SE ini disandarkan pada ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota kemudian disandarkan pada Pasal 132A ayat (1) huruf a dan ayat (2) PP 49/2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hal mana dalam ketentuan a quo menegaskan larangan Pelaksana Tugas/Penjabat/Penjabat Sementara Kepala Daerah untuk melakukan mutasi pegawai kecuali atas persetujuan tertulis dari mendagri.
Pada hakikatnya melihat ruh dan semangat norma hukum diatas, maka para pembuat undang-undang telah membuat skema sedemikian rupa sehingga para Birokrat yang mengisi jabatan Pelaksana Tugas/Penjabat/Penjabat Sementara Kepala Daerah tidak sewenang wenang menggunakan kekuatan untuk memutasi, atau mendemosi ASN demi melanggengkan kepentingan kolega dan penguasa. Atau tidak menutup kemungkinan Birokrat yang bertugas sebagai Pj/Plt/Pjs di daerah telah tersandra untuk mengamankan kepentingan politik atasannya.
SE yang diterbitkan Mendagri berpotensi menimbulkan kekisruhan pada tahun-tahun politik yang sejatinya telah dibentengi oleh Undang-undang. Bisa saja Birokrat yang menjadi Pj/Plt/Pjs memiliki “hubungan khusus” dengan salah satu pasangan calon, maka tentu akan pengarahan Birokrasi kepada pasangan calon tertentu pada pemilu serentak mendatang, jika ada ASN yang “mbalelo” maka dengan tajuk penegakan disiplin sanksi mutasi maupun demosi, pemberhentian maupun pemberhentian sementara adalah hal mutlak yang sudah menanti, Inilah yang tidak diinginkan oleh para pembuat undang-undang karena pada akhirnya akan sangat mengorbankan masyarakat.
Pasal 71 UU 10/2016 pernah memakan korban di Provinsi Gorontalo, dimana saat itu pasangan calon Petahana di Kabupaten Boalemo Rum Pagau dan Lahmudin hambali, tidak diikutsertakan pada pilkada 2017. Selanjutnya di tahun 2020 Pasangan calon bupati Ogan Ilir – Provinsi Sumsel Ilyas Panji Alam – Endang PU Ishak, dan masih banyak contoh lain yang mana petahana di diskualifikasi karena ketentuan Pasal a quo, tak ayal para pejabat/petahana sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan mutasi maupun demosi atau menjatuhkan sanksi pemberhentian kapada ASN. Interaksi norma ini setidaknya membuat lega para ASN dari belenggu politik praktis dan meminimalisir terjadinya “abuse of power” dalam pemerintahan.
Birokrat sejatinya adalah alat pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara. Sehubungan dengan itu menuju tahun 2024 terdapat 271 daerah yang mengalami kekosongan kepala daerah. tentu di tahun-tahun politik itu, semua Parpol punya kepentingannya masing-masing dan akan melakukan berbagai cara untuk mewujudkan kepentingannya, tidak terkecuali mendekati 271 Birokrat yang menjadi Pj/Plt/Pjs di daerah. Tentu kita mengharapkan para Birokrat yang ditugaskan dapat memegang prinsip-prinsip netralitas dan professional sebagaimana sumpah jabatan.
Sejatinya Peraturan perundang-undangan tidak melarang Pj/Plt/Pjs melakukan mutasi, pergeseran jabatan atau rolling jabatan asalkan mendapatkan persetujuan mendagri sebagaimana Pasal 132A ayat (2) PP 49/2008. Untuk mendapatkan persetujuan tersebut haruslah berdasarkan alasan-alasan yang patut menurut hukum. Apabila alasan-alasannya merupakan suatu keharusan maka mendagri akan menerbitkan persetujuan tertulis, begitupun sebaliknya. Disisi lain, SE a quo dianggap tidak sesuai dengan asas hukum “lex superior derogate legi inferiori” yang berarti ketentuan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan diatasnya, Faktanya SE a quo telah mereduksi Permendagri 58/2019 dan Peraturan BKN 5/2019, Padahal menurut hukum SE seharusnya hanya berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/ atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak, Bukan malah mereduksi ketentuan hukum.
Para pembuat Undang-undang menyadari dengan berkaca pada hubungan Birokrasi dan Partai politik zaman Orde Baru dimana Birokrat digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dengan mewajibkan seluruh PNS “berseragam Golkar” keterlibatan ASN sebagai pengurus partai berlambang beringin mengakibatkan ketidaknetralan birokrasi serta melanggengkan pemerintahan orde baru selama 32 tahun. Oleh karen itu Maka hukum sebagai dasar negara menyadarinya bahwa ius konstitutum (hukum yang ada saat ini) tidak bisa dibiarkan dan harus dilakukan perubahan yang mengarah pada keteraturan hukum yang lebih baik atau ius konstituendum (hukum yang dicita-citakan) namun dengan adanya SE Mendagri 821/5492/SJ hal ini berpotensi mengancam netralitas birokrasi Indonesia khususnya menjelang tahun tahun pemilu.
Oleh karena itu, penulis berharap Menteri Dalam Negeri segera mencabut SE 821/5492/SJ karena tidak sejalan dengan nafas UU dan tidak pula sejalan dengan semangat demokrasi. Tidak berlebihan jika penulis kwatir SE 821/5492/SJ seolah mengembalikan sistem Birokrasi Orde Baru versi Reformasi.(YMP)
Penulis :
Yakop A.R Mahmud, S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum UNG/ Advokat.