READ.ID – Catatan kolonial, jurnal ilmiah, dan katalog tsunami menunjukkan Gorontalo berulang kali diujicobakan oleh bumi. Namun ketika gempa Rusia kemarin yang telah memicu peringatan tsunami, yang muncul justru campuran kepanikan spontan dan lelucon digital, hal ini menunjukkan retaknya memori risiko dan kegagalan protokol kolektif.
Sejarah Gempa dan Tsunami Gorontalo: Memori yang Terlupakan
Secara geologis, Gorontalo berada di zona kompleks: pengaruh sesar lokal (Gorontalo Fault), sesar regional seperti Palu-Koro dan Matano, serta interaksi lempeng mikro, menjadikan wilayah ini rentan terhadap gempa dangkal hingga menengah secara berulang.
Katalog Tsunami Indonesia dan studi seismisitas modern melengkapi dan mengonfirmasi pola historis itu dengan presisi. Sejarah sebenarnya sudah cukup memberi pelajaran. Gorontalo dan Teluk Tomini telah berulang kali mengalami gempa dan tsunami signifikan. Catatan terverifikasi menunjukkan peristiwa sejak 1871, ketika gelombang laut tidak biasa tercatat di pesisir timur Sulawesi. Tahun 1907, gempa dalam berkekuatan sekitar Ms7,3 menghasilkan pasang laut yang teramati hingga kawasan Teluk Tomini. Peristiwa paling mematikan datang pada 9 Januari 1917, ketika gempa besar disertai tsunami setinggi 3 meter menghantam kawasan pesisir teluk. Dua dekade berikutnya menjadi pengingat keras: 20 Mei 1938 dan 22 Desember 1939, gempa besar mengguncang kembali Teluk Tomini, menimbulkan tsunami lebih dari 2 meter, merusak rumah, memicu longsor di Parigi dan Donggala, serta tercatat dalam foto koran kolonial. Arsip harian Belanda melaporkan “100 bouw sawah rusak dan kerugian ƒ25.000,” fokus pada angka ekonomi, bukan penderitaan sosial. Inilah bias kolonial: bencana dipandang sebagai gangguan pada infrastruktur dan produksi, bukan tragedi kemanusiaan.
Transisi reflektif muncul, yakni narasi historis yang administratif dan parsial telah meninggalkan gap memori pada masyarakat kontemporer. Dokumentasi administratif seperti Verslag van de afdeeling Gorontalo 1845 (Wijnmalen, 1880) mencatat penduduk, hasil bumi, dan kontrol sosial, tetapi nyaris tak menyinggung strategi bertahan dari bencana. Ketika memori sosial tidak diinternalisasi, maka respons terhadap ancaman modern cenderung instingtif dan improvisatif. Humor digital hari ini adalah cermin keterputusan itu: masyarakat menghadapi risiko dengan tawa karena sistem formal tidak hadir dalam kesadaran keseharian.
Data modern memperkuat pola berulang ini. Katalog Tsunami Indonesia dan kajian seismik (Manyoe dkk., 2019) menegaskan bahwa Gorontalo berada di zona kompleks pertemuan sesar lokal dan regional, termasuk Palu-Koro dan Gorontalo Fault. Gempa besar 1968 di barat laut Sulawesi menandai kelanjutan tekanan tektonik, disusul seri aktivitas 1990-an, gempa Laut Sulawesi 2008 (M7,7), hingga gempa M6,3 pada 24 Juli 2025. Sejarah dan sains berbicara selaras: gempa dan tsunami adalah bagian dari ritme wilayah ini. Yang berbeda hanyalah cara kita mengingat dan meresponsnya, dan hal ini memperlihatkan bahwa catatan tentang masyarakat sudah tersedia, tapi bencana tidak menjadi bagian cerita kolektif yang hidup.
Tsunami Digital di Gorontalo: Dari Panik ke Humor
Respon soal gempa oleh masyarakat mendapatkan titik klimaksnya. Pada pagi hari Rabu, 30 Juli 2025, pukul 06.24:50 WIB, gema dari gempa tektonik berkekuatan M8,7 menggema tidak hanya di lepas pantai Kamchatka, Rusia, tetapi ke ruang sosial di Gorontalo. BMKG merilis peringatan potensi tsunami lintas samudra termasuk untuk wilayah Gorontalo. Dalam hitungan menit, masyarakat Gorontalo terbelah dua: sebagian berlarian ke bukit tanpa jalur evakuasi resmi, sebagian lain mengubah ancaman menjadi lelucon digital dengan menertawakan ancaman itu lewat meme dan story WhatsApp serta Instagram dan Facebook.
Lelucon yang muncul mencerminkan kreativitas sekaligus kegelisahan. Di tengah peringatan tsunami, linimasa Gorontalo berubah menjadi panggung humor kolektif. Muncul meme “Tsunami Half Marathon” lengkap dengan kategori 5K, 10K, dan hadiah “BPJS plus uang tunai 180 juta,” disusul poster parodi “Seruan Aksi: Tolak Stunami Datang di Gorontalo” di Bone Pesisir.
Story Instagram dan grup WhatsApp ramai dengan lelucon berbahasa lokal: “Ada suru ba waspada, kiapa ngoni b kumpul dipante sanaaaaaa? Tsunami ini bukan orang anyor eyi, weeeee tan apa juw”. Ada pula sindiran sosial, “Ini tsunami sama deng bansos mo sampe kamari kurang sadiki, tidak sama deng yang dari pusat”, dan humor khas Gorontalo: “Bisa dipastikan, sore nanti arah pantai Leato dan Pabean akan macet diakibatkan warga yang ingin melihat tsunami. Gorontalo ini Boss”.
Lelucon-lelucon ini bukan sekadar hiburan, tapi merefleksikan respon sosial yang ambigu antara panik, sinisme, dan mekanisme bertahan di tengah risiko yang nyata. Lelucon-lelucon ini bukan sekadar hiburan sesaat, tapi menjadi mekanisme sosial untuk meredam ketegangan dan ketakutan kolektif, meski sekaligus memperlihatkan lemahnya internalisasi protokol resmi kebencanaan.
Beberapa jam kemudian, klarifikasi datang, tsunami tak akan terjadi. Laut tetap tenang, tetapi gempa ini mengguncang satu hal yang lebih penting—kesiapsiagaan sosial kita.
Mengapa Respons Jadi Tawa: Analisis Sosiologi Bencana
Peringatan dini adalah ujung tombak negara modern dalam menghadapi bencana. BMKG bekerja berdasarkan model fisik; data gempa Rusia dianalisis lalu disebarkan sebagai pengumuman waspada. Di Gorontalo, respons resmi tampak lamban dalam merangkai narasi lanjutan. Pemerintah daerah menginformasikan agar ada potensi tsunami, warga harus waspada, tapi hal itu tidak ditindaklanjuti secara komprehensif dengan mengaktifkan kanal komunikasi dua arah yang menginternalisasi perubahan informasi (misalnya pencabutan status waspada), memberikan gambaran peta evakuasi, hingga informasi terkait pusat informasi resmi. Ketidakjelasan itu direspon oleh masyarakat selain dengan kepanikan refleks, tetapi juga meng-cover kekosongan informasi dengan humor kolektif. Reaksi spontan masyarakat memperlihatkan dua wajah yang kontras yakni ketakutan instingtif dan humor kolektif. Dalam perspektif sosiologi bencana, pola ini menandai lemahnya literasi risiko dan rapuhnya kepercayaan pada sistem peringatan resmi.
Peter Sandman membedakan antara dua komponen yang membentuk persepsi risiko publik, Pertama adalah hazard yakni bahaya objektif atau potensi kerusakan, dan kedua adalah outrage yakni reaksi emosional masyarakat terhadap informasi tersebut. Dalam konteks Gorontalo, gempa Rusia menghadirkan hazard teknis: probabilitas tsunami yang dihitung dan disampaikan oleh BMKG. Tetapi yang kemudian lebih cepat tersebar dalam ruang sosial adalah outrage: kecemasan, kebingungan, ketidakpercayaan, dan desakan emosional yang dipicu oleh komunikasi yang tidak konsisten, ketidakjelasan status, serta jaringan informal (WhatsApp, grup keluarga, warung kopi). Faktor-faktor yang meningkatkan outrage antara lain kurangnya kontrol (warga merasa tidak punya pengaruh atas ancaman), ketidakpastian, ketidakpercayaan terhadap institusi, dan isu distribusi informasi. Ketika klarifikasi datang (pencabutan waspada), ia tidak meredam outrage seketika karena tidak dikelola sebagai proses naratif: tidak ada “ritual” transisi dari ketakutan ke aman yang bisa menenangkan emosi kolektif. Jadi persepsi risiko tidak hanya dipicu oleh kemungkinan fisik tsunami, melainkan oleh ketegangan emosional yang berputar di antara pesan yang saling tarik-ulur.
Di dalam ruang itu, masyarakat menggunakan coping mechanism yakni strategi sosial-psikologis untuk meredam stres dan ketidakpastian. Dalam kerangka tersebut, coping bisa dibagi secara kasar menjadi tiga jenis: problem-focused (mencari solusi langsung), emotion-focused (mengelola respon emosional), dan meaning-focused (mencari makna atau reframe dari situasi). Karena struktur mitigasi formal (jalur evakuasi, edukasi berbasis rutinitas) belum melekat kuat secara kolektif, respons masyarakat banyak jatuh pada emotion-focused coping dan meaning-focused coping. Humor, parodi, dan sarkasme adalah respon yang muncul dalam bentuk meme “Tsunami Half Marathon”, komentar dan story WA yang lucu adalah bentuk emotion-focused coping yakni mereka mereduksi kecemasan dengan menjadikan ancaman terasa dapat diakali, dikendalikan, atau setidaknya dimiliki secara simbolik. Ini juga berfungsi sebagai social coping: tawa bersama membentuk solidaritas sementara di tengah ketidakpastian, memperkuat rasa “kita masih bisa tertawa meski dunia berguncang”.
Slavoj Žižek memetakan mekanisme semacam ini sebagai cynical distance. Orang-orang sebenarnya menyadari bahaya, mereka mendengar sirine, membaca pesan, melihat peringatan, tetapi secara kolektif mengambil jarak dengan cara menyangkal urgensi melalui ironi dan sinisme. Humor menjadi alat ganda yakni mengakui ancaman (karena hanya yang tahu ada risiko yang bisa bercanda tentangnya), tapi sekaligus menangguhkan tindakan serius. Inilah penundaan aksi dengan ketidakterlibatan aktif karena ancaman telah “ditangani” secara simbolik lewat tawa, bukan secara praktis lewat evakuasi atau konfirmasi. Cynical distance juga mengekspresikan ketidakberdayaan dengan menertawakan potensi tsunami, warga mengalihkan fokus dari ketidakmampuan struktural (misalnya tidak tahu jalur evakuasi, tidak percaya informasi resmi) ke performatif kontrol (saya bisa bercanda tentang hal ini, berarti saya tidak sepenuhnya takut).
Dalam dinamika ini ada social amplification of risk (Kasperson dkk.), yaitu bagaimana informasi atau sinyal awal tentang bahaya bisa diperbesar atau diperkecil oleh jaringan sosial dan media. Di Gorontalo, rantai pesan WhatsApp yang tidak terverifikasi mempercepat amplifikasi yakni kabar “tsunami datang” berputar lebih luas daripada klarifikasi pencabutan, sementara humor menjadi semacam “penyangga”, memoderasi kecemasan sekaligus mereduksi urgensi, sehingga risiko substansial menjadi paradoksal: terasa besar namun tidak ditanggapi dengan struktur. Ini menciptakan medan di mana outrage melayang tidak tertambat ke prospek solusi nyata.
Ada juga dimensi meaning-focused coping yang muncul terselubung: dengan mengubah ancaman menjadi cerita lokal (“naik bukit cari sinyal”, “kita sambut tsunami dengan lomba lari”), masyarakat membentuk ulang narasi sehingga risiko diinternalisasi sebagai bagian dari pengalaman kolektif yang bisa dituturkan. Ini membuka celah: humor bisa menjadi pintu masuk komunikasi risiko yang efektif jika dibingkai ulang—sebagai “meme kesiapsiagaan” yang menghubungkan tawa dengan tindakan—daripada hanya sebagai pelampiasan emosional.
Namun, tidak semua coping adaptif. Jika humor menutup ruang diskusi serius, menunda evakuasi, atau menciptakan ilusi aman palsu, ia berubah menjadi mekanisme maladaptif yang memperbesar kerentanan ketika ancaman nyata datang. Di sinilah peran institusi dengan mengakui keberadaan humor kolektif sebagai ekspresi sosial, lalu menggabungkannya dalam strategi komunikasi risiko, misalnya dengan menggunakan gaya lokal, menjadikan cerita historis tentang gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Gorontalo sebagai bahan edukasi yang bisa “dibercandakan sekaligus diresapi”, sehingga jarak sinis itu berubah menjadi keterlibatan reflektif.
Apa yang tampak sebagai “tawa” di permukaan adalah medan kompleks di mana hazard teknis berinteraksi dengan outrage emosional, dan masyarakat mengerahkan coping mechanism untuk menavigasi ketidakpastian. Jika dilewatkan tanpa dipahami, tawa akan terus menunda aksi. Jika dibaca dengan cermat, ia bisa menjadi sinyal awal bahwa sistem formal belum terinternalisasi, sekaligus titik masuk untuk membangun kesiapsiagaan yang lebih berbasis budaya.
Slavoj Žižek menawarkan kunci tambahan: humor tidak semata pelarian; ia juga jarak sinis—pengakuan atas ancaman sekaligus penyangkalan kolektif, yang menunda aksi nyata. Warga Gorontalo menertawakan tsunami karena dalam bercanda ada pengendalian atas ketidakpastian yang sistem formal gagal tangani. Fenomena ini berpotensi menjadi indikator disintegrasi memori risiko—ketika tawa menggantikan ritual kesiapsiagaan.
Dari fenomena ini memperlihatkan bahwa humor kolektif digital bukan hanya sebagai coping mechanism, melainkan sebagai sinyal sosio-kultural, yakni titik di mana pengetahuan historis bencana telah kehilangan “jatidiri kolektif” sehingga respons terhadap alarm modern menjadi campur aduk antara panik tanpa protokol dan parodi tanpa refleksi.
Pendekatan sosiologi bencana mengajarkan bahwa risiko bukan hanya persoalan geologi, tetapi juga persoalan sosial. Ketika masyarakat lebih cepat membuat meme daripada mengaktifkan protokol evakuasi, kita berhadapan dengan fenomena yang bisa disebut “mitigasi lelucon”: humor sebagai mekanisme sosial sekaligus sinyal erosi memori risiko. Fenomena ini jarang dikaji dalam konteks Indonesia. Penelitian tentang komunikasi risiko di Jepang, misalnya, menunjukkan bahwa keberhasilan mitigasi tidak hanya karena teknologi, tapi karena budaya risiko yang ditanam sejak dini. Di Jepang, sirine bukan undangan untuk bercanda; ia adalah bagian dari ritus kolektif yang dipahami secara emosional dan historis. Di Jepang, gempa yang lebih dari 1000 kali per tahun bukan untuk ditakuti, tapi “dibiasakan”.
Perbandingan ini menunjukkan transisi yang harus dilakukan Gorontalo. Pemerintah daerah sudah mulai membangun program Desa Tangguh Bencana dan jalur evakuasi resmi serta membangun strategi komunikasi sosial hingga pendidikan kebencanaan. Namun, upaya ini perlu dilengkapi dengan narasi publik yang menghidupkan kembali sejarah lokal bencana. Simulasi tidak cukup jika tidak diikat dengan memori kolektif. Masyarakat akan lebih siap jika diberi konteks bahwa sirine bukan sekadar bunyi, tapi gema sejarah gempa dan tsunami masa silam.
Kesiapsiagaan tidak lahir dari ketakutan sesaat, tetapi dari proses reflektif yang menjahit pengetahuan ilmiah, pengalaman historis, dan budaya lokal. Jika tidak, tawa akan terus menjadi satu-satunya protokol, sampai suatu hari gempa datang bukan untuk ditertawakan, tapi untuk benar-benar dihadapi. Gorontalo memiliki kesempatan untuk membalik keadaan ini, dari risk society yang gagap menjadi masyarakat tangguh yang belajar dari sejarahnya sendiri.
Jepang, yang secara seismik jauh lebih sering diguncang gempa, menunjukkan bahwa bukan frekuensi ancaman yang menentukan kesiapsiagaan, melainkan internalisasi risiko sebagai praktik sosial. Di sana, anak-anak dilatih evakuasi sejak dini, simulasi rutin, sirene dan informasi disampaikan dalam protokol yang menggabungkan fisik dan narasi lokal: gempa berarti bergerak, tsunami berarti ke dataran tinggi, bukan bahan lelucon. Budaya ini adalah hasil dari proses panjang, yakni proses refleksif modernitas terdidik yang membentuk disiplin kolektif, yang hal tersebut belum sepenuhnya terbangun di Gorontalo.
Dalam konteks sosiologi kebencanaan, di mana informasi ada, sejarah tercatat, tetapi “kesiapsiagaan sosial” gagal dibangun karena narasi itu tidak diintegrasikan ke dalam imajinasi kolektif. Inilah ruang kebaruan teoritik yakni merumuskan konsep “mitigasi lelucon” atau “humor sebagai early-warning sosial terhadap erosi memori risiko”, di mana tawa menjadi sinyal bahwa sistem formal tidak diinternalisasi, dan bahwa bencana berikutnya bisa memanfaatkan kelengahan yang sama.
Dari Tawa Menuju Ketangguhan
Gorontalo punya bahan untuk bangun ketangguhan: arsip 1845 yang menunjukkan keberadaan dokumentasi, kronologi gempa dan tsunami (1917, 1938, 1939) sebagai narasi yang bisa dihidupkan kembali, serta program pemerintah lokal yang sedang berjalan. Namun implementasi harus melampaui sirene atau pesan sederhana. Edukasi harus menyusun ulang memori: menggabungkan sejarah (foto koran, catatan kolonial), teori risiko (Beck), dan praktik lokal (simulasi berbasis cerita nyata) agar “tawa” tidak lagi menjadi pelampiasan tunggal, melainkan jembatan masuk ke kesiapsiagaan.
Tsunami dari Rusia tak pernah datang ke Gorontalo. Tapi gelombang lain telah melintas: gelombang sejarah yang nyaris terlupakan, gelombang informasi yang diserap tanpa ritme, dan gelombang tawa yang menutupi celah kesiapsiagaan. Jika kita gagal membaca “tawa” itu sebagai bagian dari geografi risiko sosial, maka gempa dan tsunami berikutnya tidak hanya akan mengguncang tanah, tapi juga menghantam memori yang belum sepenuhnya pulih. Gorontalo bisa menjadi contoh daerah yang membalikkan risk society, dari ketakutan pasif menjadi kesiapsiagaan aktif, asal mau menjahit kembali narasi sejarah dengan praktik kolektif hari ini.
Oleh: Dr. Funco Tanipu, ST., M.A
(Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)