Mungkin bagi yang tinggal di daerah perkotaan, kita sudah jarang menyaksikan penjual ikan yang bersepeda. Di kampung-kampung masih banyak.
Saya termasuk yang masih sempat menyaksikan penjual ikan yang berkejaran ke Pelelangan pada pukul tiga dini hari. Setelah belanja ke pengumpul-pengumpul ikan di pelelangan, mulai pukul enam pagi mereka semua start dari pelelangan untuk menyebar ke seluruh pelosok Gorontalo.
Rute mereka sudah diatur, jarang ada penjual ikan yang memasuki “wilayah dagang” penjual lain. Sudah ada semacam konvensi di antara mereka terkait itu. Namun, ada juga yang “sasaliniya ponula” (saling subsidi atau distribusi ikan) jika ada penjual di satu wilayah yang kehabisan ikan maka akan disubsidi ikan dari penjual lain.
Penjual ikan jarang disebut “tahemo potaliya lo ponula”. Penjual ikan yang bersepeda biasa disebut Ta To Bambu’a. Bambu’a adalah kerang laut yang didesain untuk bisa ditiup. Bunyi Bambu’a adalah informasi bagi warga yang ingin membeli ikan. Jika Bambu’a dibunyikan, otomatis ibu-ibu berhamburan keluar rumah sambil meneriakkan “Ponula, diyamayi!” (Penjual Ikan, kesini!).
Pada suatu masa, pernah orang Gorontalo begitu membanggakan kebanggan mereka yang berprofesi sebagai Ta To Bambu’a. Tepatnya pada Pekan Olahraga Nasional pada era tahun 60 an, ada orang yang berlatar Ta To Bambu’a pernah ikut dalam PON mewakili Sulawesi Utara.
Nama orang tersebut adalah Baka. Singkatan dari Abubakar. Dia pernah menjadi juara Gorontalo dan Sulawesi Utara dalam cabang olahraga bersepeda. Baka tidak pernah latihan dalam satu karantina olahraga, Baka adalah “produk alam” dari Ta To Bambu’a. “Latihan” rutin puluhan tahun tiap hari dengan sepeda onthel membuat betis Baka seperti tinggal otot saja, tanpa daging.
Baka adalah kebanggaan Gorontalo kala itu, sampai-sampai lahir istilah “Cucu Baka”. “Cucu Baka” jadi istilah bagi orang bersepeda agar mempercepat laju sepedanya.
Penjual Ikan Keliling. Foto: Gustina Tahunawa
Walaupun Baka saat itu tidak bisa meraih emdali emas, tapi Baka sempat mengharumkan nama Gorontalo di pentas nasional. Baka adalah produk alam Gorontalo dari mereka yang berprofesi sebagai Ta To Bambu’a.
Ta To Bambu’a adalah “inovasi analog” orang Gorontalo dalam hal delivery food sebelum lahir yang namanya GrabFood, GoFood dan layanan delivery online untuk pangan saat ini. Ta To Bambu’a adalah semangat melampaui zaman. Ta To Bambu’a adalah disrupsi pada era itu.
Kini, setelah banyak sepeda motor, lambat laun Ta To Bambu’a mulai redup. Bunyi Bambu’a digantikan dengan terompet atau klakson motor.
Karanji lo Ponula (keranjang ikan) yang berada di samping kiri dan kanan sepeda pun digantikan oleh box ikan yang sudah diisi es batu agar ikan bisa awet.
Di masa pandemi yang sedang dihadapi hari ini, kebutuhan akan delivery food menjadi semakin penting. Sebab, imbauan untuk #dirumahaja dan mengurangi aktifitas pasar tradisional semakin diperluas, apalagi jika menghadapi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam waktu yang tidak lama. Di satu sisi, banyak pekerja sektor informal yang kehilangan pekerjaan. Maka, menghadirkan Ta To Bambu’a bisa jadi salah satu alternatif untuk menjembatani pasar dan pembeli, sebab armada ojek online saat ini sangat terbatas dan tidak didesain untuk menjajakan dagangan, tapi hanya berfungsi delivery (pengantaran).
Ta To Bambu’a sebenarnya ada konsep memecah konsentrasi massa dalam era pandemi. Perlu riset historis yang mendalam apakah ini adalah bentuk kearifan lokal yang lahir pasca pandemi Flu Spanyol di awal tahun 19 an silam.
Ta To Bambu’a jika dikerangkai kembali dalam konteks pandemi bisa jadi salah satu solusi physical distancing. Tentunya perlu dukungan pemerintah dalam menggerakkan sektor informal ini sebagai alternatif profesi bagi mereka yang sudah “diistirahatkan kerja” secara alamiah.*****
Penulis: Funco Tanipu
Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo