READ.ID – Tiga bulan istimewa yakni Rajab, Sya’ban dan Ramadan disambut antusiasme oleh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Dalam Islam, Rajab disebut sebagai bulan Allah karena terjadinya peristiwa penting berupa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian naik ke Sidratul Muntaha untuk berjumpa dengan Allah.
Bulan Sya’ban disebut bulan Nabi Muhammad karena Allah menurunkan ayat tentang perintah bershalawat kepada Nabi sebagaimana yang tertuang dalam Qs. Al-Ahzb [33]: 56. Dan Ramadan disebut bulan kaum Muslimin karena bulan ini diperintahkan secara khusus kepada umat Islam untuk melakukan puasa selama sebulan penuh dan selanjutnya merayakan Idul Fitri. Dalam bulan inilah diturunkannya rahmat dan ampunan yang tak terbilang kepada umat Islam.
Ketiga bulan itu dimaknai kelompok terorisme sebagai bulan teristimewa dan teragung dalam melakukan aksi jihadnya. Umumnya kaum Muslimin melakukan mujahadah atau perjuangan yang mengandalkan unsur kalbu agar mampu menaklukkan ego dan hawa nafsu, namun bagi kelompok terorisme dimaknai hadirnya seseorang secara fisik dan melakukan aksi di medan perang lebih utama dari sekedar mujahadah dan ijtihad melalui pena (intelektual).
Jika Imam Ghazali mengatakan bahwa satu jam melakukan mujahadah lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun, yang merupakan pengabdian seorang hamba kepada Allah, maka Abdullah Azzam membuat doktrin sejam berada di medan peperangan lebih utama dari 60 tahun.
Abdullah Azzam, seorang mantan Ikhwanul Muslimin Palestina yang meraih gelar doktor Ushul Fikih dari Universitas Al-Azhar, ketika terjun ke medan jihad di Afghanistan saat negeri itu diduduki Uni Soviet sejak tahun 1979, dia membentuk Maktab al-Khidmat untuk merekrut mujahidin-mujahidin baru. Keahliannya dalam melakukan glorifikasi terbukti pada tahun 1983 menulis kitab “Ayat al-Rahman fi Jihad al-Afghan”.
Tidak puas dengan kitab itu, ceramah-ceramahnya saat di Afghanistan dibukukan dengan judul “Fi al-Tarbiyah al-Jihadiyah wa al-Bina” sebanyak 16 jilid kecil. Di Indonesia, penyebaran kumpulan ceramah itu mengalami pasang surut karena dianggap mampu memotivasi orang-orang yang membacanya untuk bergabung ke medan jihad dan melakukan aksi jihad. Alih bahasa terjadi dua versi yakni tiga jilid oleh Jazera Solo dan 12 jilid oleh Pustaka al-Alaq Solo.
Azzam menegaskan bahwa andai dirinya masih diberi umur panjang, maka akan dijadikannya perang laksana kedudukannya seperti ibu, tombak sebagai saudara dan pedang sebagai bapak. Dengan rambut kusut dan wajah tersenyum menyongsong kematian.
Permisalan itu membuatnya menyusun teologi maut, yang jikalau dilaksanakan pada bulan Ramadan maka pahalanya lebih besar dari serangkaian pelaksanaan ibadah wajib yang sekedar dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Azzam berkali-kali menulis “berdiri sejam di barisan perang adalah lebih baik daripada berdiri (shalat) selama 60 tahun”.
Aksi Teror di Tiga Bulan Istimewa
Doktrin Azzam inilah yang diadopsi jihadis-jihadis, termasuk di Indonesia. Teologi menjemput kematian, bagi Azzam, laksana buah manis yang harus dicicipi dan seolah-olah mereka tidak keluar dari dunia saat mereka terbunuh. Maka dia mengibaratkan pemuda-pemuda saat pertempuran di Jalal Abad, mereka itulah pemuda yang kokoh imannya untuk berlomba-lomba mencari kematian.
Lebih dari itu, Azzam pun mendedahkan kisah Sa’ad al-Rusyud dan Abdul Wahhab al-Ghamidi yang dikuburkan secara berdampingan. Dari makam keduanya keluar cahaya setiap malam Senin dan Kamis, sebuah hari dimana amal baik anak Adam diangkap kepada Allah. Dia mengilustrasikan darah keduanya dengan warnanya merah darah dan menyembur bau kasturi.
Dalam doktrin tersebut, teroris tidak sekedar percaya tentang kenikmatan akan mati syahid tetapi kenikmatan berjumpa dengan Allah seperti aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo (2016), bom Panci Kampung Melayu (2017), bom di Gereja Surabaya (2018) dan lain sebagainya. Di Indonesia, doktrin Azzam ini digabungkan dengan doktrin kematian yang pernah ditulis Ali Ghufran alias Mukhlas di balik jeruji besi tempat dirinya ditahan.
Menjemput kematian di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan yang pertama kali disuguhkan Azzam, dalam perjalannya menemukan kebakuan pasca ISIS membentuk jaringan sendiri dan tokoh utamanya berpisah dari Al-Qaidah. Kebakuan itu sebagai upaya juga dalam menyederhanakan modus teror. Kita bisa membaca dari kalimat sebagai berikut:
“Bunuh mereka semua dengan cara apa pun. Tidak usah kalian minta nasihat dan tidak perlu kalian minta arahan pada orang lain. Bunuh orang-orang kafir itu baik warga sipil maupun tentaranya, karena mereka semua adalah sama. Bila tak mampu membuat bom, pukul kepala mereka dengan batu, gorok mereka dengan pisau, tabrak mereka dengan mobil, lempar mereka dari tempat yang tinggi, cekik dan racuni mereka.”
Bukti kongkrit atas implementasi itu dilakukan Syarial Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Diana (istrinya) yang divonis 12 tahun penjara pada kasus penusukan Wiranto pada 10 Oktober 2019. Konsep penyederhanaan aksi teror itu dalam realitasnya mempermudah doktrin utama Azzam. Pelaku aski teror, sebelum melakukan aksi juga kerap berkoordinasi dengan jaringannya agar ketika dirinya berhasil melakukan aksi maka keluarganya bisa ditolong oleh temannya.
Model tersebut pun tertuang dalam doktrin yang digagas oleh Muhammad bin Ahmad al-Salim tentang tatacara saling tolong menolong antar sesama mujahidin. Di tahun 2000-an, salah satu karyanya yang digunakan dalam kelompok teror berjudul “39 Wasilah li Khidmah al-Jihad wa al-Mujahidin fi Sabilillah”. Muhammad bin Ahmad al-Salim merupakan orang yang terinspirasi dari Hamud al-Uqla tentang mengokohkan keyakinan mujahidin lain saat ingin melakukan aksi dan jangan berikan keragu-raguan kepadanya.
Katibat al-Tauhid wa al-Jihad
Penangkapan oleh pihak pihak kepolisian pada 24 Maret 2023 terhadap WNA Uzbekistan dengan inisial BA alias JF, OMM alias IM, BKA dan MR merupakan momentum yang tepat sebelum mereka melakukan ejawantah dari doktrin Azzam. Dimana dua dari empat orang itu berangkat ke Indonesia pada 6 Febuari dan dua lainnya berangkat tanggal 27 Febuari 2023.
Keempatnya di dalam data kepolisian terafiliasi dengan jaringan Katibat al-Tauhid wa al-Jihad (KTJ), yang merupakan faksi terorisme, yang tidak saja “beringas” namun cukup lihai dalam memanfaatkan “political event” di sebuah negara. Kita ketahui, Uzbekistan merupakan salah satu negara di Asia Tengah yang masih menghadapi kekhawatiran terhadap ancaman terorisme yang berasal dari perbatasan Afghanistan, khususnya pasca ditariknya pasukan koalisi Amerika Serikat dari Afghanistan.
KTJ merupakan faksi yang dibentuk pada tahun 2014. KTJ saat ini merupakan brigade yang penting dalam tubuh Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin Abu Muhammad al-Jaulani, seorang pengikut jalan Abu Mus’ab al-Shuri. Walaupun di dalam tubuh KTJ sendiri mengalami pertikaian seperti fenomena bergabungnya Abu Saloh (Sirojiddin Mukhtarov) dan 50-an sahabatnya ke Jabhat Ansar al-Din (JaD).
KTJ secara ideologi tidak bisa dipisahkan dari ideologi yang dikembangkan al-Qaidah. Pemimpinnya selalu menegaskan bahwa perjuangan jihad belum berakhir. Sekalipun lahir belakangan, namun KTJ memiliki kepentingan untuk menyebarkan paham dan ideologi yang dibuat para pemimpin al-Qaidah, khususnya di Asia. Di tangan Abu Saloh, murid dari Aiman al-Zawahiri ini, terus mengobarkan peperangan secara bombastis untuk melawan Barat. Hal ini terbukti dengan sistem infeksi yang dilakukannya di Lembah Ferghana dan menghasilkan ribuan pengikut.
Maka penangkapan oleh pihak kepolisian, merupakan kebijakan tepat sebelum aski nyata dilakukan empat orang yang terafiliasi KTJ tersebut. Sebab, doktrin yang dikembangkan KTJ di lapangan bisa menyatu dengan doktrin yang digunakan Jamaah Islamiyah (JI) maupun Jamaah Ansorud Daulah (JAD). Menjelang hajat politik besar di Indonesia, maka kepolisian memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya aksi-aksi terorisme sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun 2018. Sekaligus menjaga kesucian bulan Ramadan dari tindakan terorisme. []
Catatan: Sekelumit tweet ringkas saya tentang KTJ bisa dibaca melalui link Twitter
Penulis : Muhammad Makmun Rasyid (Anggota Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Pusat)