banner 468x60

Tragedi Pohuwato: Hilangnya Fungsi Fasilitas Pemerintahan

Pemerintahan

READ.ID – Sungguh diluar dugaan. Apa yang kami pelajari secara-terus menerus, dalam ruang ruang diskursus, benar-benar terjadi. Masyarakat sipil dari kalangan penambang, di Kabupaten Pohuwato, melakukan aksi pembakaran dan pengrusakan fasilitas negara.

Dalam beberapa jam, asap hitam mengepul dari megahnya Gedung Kantor Bupati. Kobaran api benjulang tinggi, melalap seluruh isi bangunan. Kantor Bupati Pohuwato terbakar. Tak hanya itu, Kantor DPRD Kabupaten dan Rumah Dinas Bupati, juga ikut diporak-porandakan massa aksi.
Kini, hanya bangunan dengan semen berkualitas yang berdiri kokoh.

Selain itu, ludes terbakar, hancur, dan rusak parah. Suasana semakin mencekam. Jalan-jalan diisi oleh pasukan pengamanan, dengan persenjataan. Seakan siap melalap habis, masyarakat yang masih melakukan aksi massa.

Pemberontakan menjadi jalan alternatif, yang dipilih masyarakat untuk mewujudkan aspirasinya. Mereka melawan negara yang memiliki logika tersendiri, dalam menyelesaikan perkara masyarakat.

Awal Mula

Sudah sewajarnya. Dalam membahas masalah, akan ada dua kelompok yang hadir dan bertentangan, karena memiliki pandangan yang berbeda. Satu baik, dan satunya lagi buruk,” Adian Napitupulu.

Sekiranya, kalimat seorang mantan aktivis 98 ini, diambil penulis karena dinilai sesuai dengan konflik yang terjadi di wilayah pertambangan, Kabupaten Pohuwato.

Kalimat di atas, digunakan Adian, untuk menjelaskan konflik kepentingan yang terjadi pada masing-masing kelompok yang memperebutkan sumber kehidupan.
Begitu pula, konflik pertambangan yang terjadi antara masyarakat sipil dan perusahaan yang beroperasi. Hajat hidup, membuat persoalan ini, harus menjadi prioritas pemerintah daerah.

Izin usaha yang diberikan oleh pemerintah, kepada PT. PETS, dan kontrak karya kepada PT Gorontalo Sejahtera Mining PT GSM, tentunya mengganggu mata pencarian masyarakat lokal, yang telah hidup puluhan tahun, menambang di tanah leluhur mereka.

Namun, seperti biasannya. Dalih, investasi dan pembangunan ekonomi, menjadi dasar pemerintah dalam pemberian izin ini. Apalagi, kondisi ekonomi yang hancur, akibat terjangan pandemi Covid 19, membuat pemerintah daerah diharuskan memulihkan ekonomi.

Perusahaan datang, dengan sederet administrasi dan izin pertambangan dari pemerintah. Puluhan alat pertambangan modern, diluncurkan. Tak terhitung jumlah, emas yang didapatkan setiap harinya, dari model pertambangan ini.

Berbeda jauh dengan masyarakat penambang lokal, dengan peralatan tradisional. Tentunya membuat penghasilan emas cukup terbatas. Namun, itu tak menjadi masalah, selama kebutuhan hidup dan nafkah keluarga tetap tercukupi.

Selanjutnya mudah ditebak. Perselisihan terus terjadi. Penghasilan masyarakat lokal semakin terpuruk, akibat tanah kelahirannya diambil alih, perusahaan yang memiliki izin usaha. Solusi yang ditawarkan pemerintah dan perusahaan, juga dinilai tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Perasaan yang mulai berkecamuk, mendorong kesadaran kelas masyarakat lokal, untuk mencari cara, agar aspirasinya bisa terwujud.

Berjuta Kali Turun Aksi

Tercatat, aksi damai sudah beberapa kali dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil. Para penambang, pemuda, hingga aktivis mahasiswa, melakukan unjuk rasa dibeberapa tempat yang dianggap menjadi representasi pemerintahan, dalam mengurusi kehidupan masyarakat.

Kantor Bupati, DPRD, Perusahaan tambang, Polres hingga Polda Gorontalo, sudah didatangi. Namun, lagi-lagi (seperti biasa). Tanggapannya tidak sesuai keinginan masyarakat.

Kurangnya kejelasan, dari pemerintah daerah. Kurangnya langkah tegas, dan cepat, pihak penegak hukum, dalam penyelesaian konflik, membuat masyarakat naik pitam. Kekesalan pun tidak dapat dibendung.

Akhirnya, berbagai Tindakan ekstrim, seperti pembakaran, pengrusakan, dan semacamnya, dilakukan sebagai bentuk pelampiasan kemarahan.

Sebelum aksi pengrusakan, massa telah berusaha mendatangi kantor perusahaan. Itikad baik selalu dikemukakan. Namun, aksi yang menghadirkan ribuan masyarakat ini, tidak mendapatkan tanggapan berarti. Perusahaan tidak mengirimkan pimpinannya menemui massa aksi, untuk bernegosiasi.

Aksi pengrusakan dan pembakaran pun, dilakukan massa aksi yang kesal, karena dianggap remeh oleh perusahaan.
Tak hanya sampai disitu, kemaran serupa juga terjadi saat massa mendatangi kantor yang menjadi representasi pemerintahan.

Harapan bertemu wakil rakyat, dibela, dan diberikan solusi, pupus setelah mendapati para wakil rakyat tidak ada di tempat.
Kemarahan pun, tak dapat dibendung. Janji manis, dan upaya penyelesaian konflik masyarakat, yang cepat dan adil, dari wakil rakyat, nyatanya hanya isapan jempol semata.

Tentu setiap rasa harus dilampiaskan. Berbagai macam cara perlu dilakukan. Sehingga, pembakaran, dan pengrusakan, adalah ekspresi kekesalan masyarakat sipil, atas lemahnya pemerintah dan instrumen penegak hukum, dalam mengurusi amanahnya (masyarakat).

Lagi-lagi, tindakan masyarakat yang tidak sesuai logika (sistem) pemerintahan, dilakukan setelah taatnya masyarakat terhadap sistem, namun tidak mendapatakan hasil yang memuaskan, dan berpihak penuh pada masyarakat.

Fenomenologi Konflik

Tentu jika dilihat dalam kacamata hukum yang cenderung positifistik, masyarakat sipil dilihat sebagai pelaku kejahatan, karena telah melakukan pembakaran dan pengrusakan fasilitas negara. Namun, nampaknya kita harus banyak membuka diri, untuk bisa melihat secara jernih, akar konflik yang terjadi. Agar, kita tidak hanya melihat hasil, namun juga melihat penyebab hasil itu diciptakan.

Ketidak mampuan pemerintah daerah, dan pihak penegak hukum (Polisi), dalam memberikan rasa aman dan nyaman pada masyarakat penambang lokal, membuat langkah pemberontakan dilakukan.

Sasaranya jelas. Kantor dan Rumah Dinas Bupati, DPRD, hingga Perusahaan pertambangan. Ini jelas menggambarkan, bahwa sasaran masa aksi benar-benar tepat, dan sesuai dengan dengan fungsi kantor itu didirikan.

Kantor perusahaan pertambangan, harus pro dan menghormati penambang lokal, yang lahir dan hidup di tanahnya sendiri. Mereka tidak boleh dibodohi, dobohongi, dan dihalangi, jika ingin berdiplomasi tentang kekayaan tanah leluhurnya sendiri.

Begitu pula, Kantor Bupati dan DPRD. Keduanya adalah simbol keagungan daerah, sekaligus pusat pemerintahan tertinggi yang ada, dan paling dekat dengan masyarakat. Sehingga, fungsinya harus jelas dan tegas, berada paling sigap, dalam menerima, dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, yang penghasilannya dipajaki, untuk memberi makan para penghuni kantor Bupati dan DPRD ini.

Kalau pun tidak mempunya wewenang dalam memenuhi aspirasi masyarakat, karena adanya regulasi minerba, setidaknya Bupati dan DPRD yang merupakan wakil rakyat ini, harus sigap memperjuangkan aspirasi ini ke intansi yang paling berwenang.

Inilah tujuan kepada mereka dipilih, dan digaji, serta mendapatkan privilege sebagai wakil rakyat. Paling tidak, jika perjuangan tidak berhasil, seorang wakil rakyat berani bertemu massa aksi, dan memberikan kejelasan.

Apa yang menjadi hambatan, sekaligus memberikan solusi kepada masyarakat, langkah yang harus ditempuh, agar hak hidup masyarakat, bisa terpenuhi dengan baik. Mengingat, konstitusi dengan jelas, memberikan wewenang kepada pemerintah, untuk menguasai segalanya di negara ini, dan diperuntukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat seusi UUD 1945 pasal 33.

Namun, hasilnya nihil. Masyarakat kecewa. Pemerintah dan penegak hukum, sebagai instrument negara, dalam mengurusi kebutuhan hidup masyarakat di daerah, tidak menjalankan fungsuinya dengan baik.
Padahal, setiap harinya, aktivitas penarikan pajak dari masyarakt terus dilakukan. Segala hal dipajaki.

Tanah, usaha, kendaraan, penghasilan, dan lainnya, dipajaki oleh pemerintah, agar pemasukan bagi daerah, bisa berjalan dengan lancar dan memenuhi segara kebutuhan aparat pemerintahan, dalam menjalankan fungsinya.

Namun sayang, kewajiban telah dilakukan, namun hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dan perjuangan dari para wakil rakyat, tidak didapatkan dengan baik. Alhasil, pemerintah akan berujung pada istilah makan gaji buta. Karena, menerima pemasukan dari pajak rakyat, namun tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Barangkali ini, yang ada dalam benak massa aksi penambang, ketika mendapati tidak adanya sikap berpihak dari wakil rakyat dan perusahaan, terhadap para penambang lokal.

Kehancuran Simbol Pemerintahan
Banyak yang berkata, perusahaan dan kantor wakil rakyat, telah hancur dirusak oleh massa aksi. Namun, (jika benar) analisis yang dilakukan penulis diatas, maka sebenarnya kantor para wakil rakyat ini telah rusak, sejak para wakil rakyat tidak bisa memenuhi aspirasi masyarakat sipil. Yang dilakukan massa aksi, hanyalah melengkapi kerusakan itu, dengan membakar bahan-bahan kantor.

Sejatinya, kerusakan telah terjadi sejak lama. Dan bangunan itu, hanya menjadi tempat perputaran surat dan berbagai administrasi, yang dibangun oleh sistem pemerintah, namun tidak mampu menyelesaikan persoalan hak hidup masyarakat.

Dengan banyaknya anggaran pemerintah, dan kekayaan para wakil rakyat, tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk membangun Kembali gebung-gebung yang rusak itu. Tentu jika para wakil rakyat ini, benar-benar Ikhlas dalam mengabdikan dirinya untuk daerah. Namun, yang menjadi keresahan adalah, kapan dan bagaimana membangun kembali kepercayaan ribuan masyarakat, yang telah hilang itu.

Tentu ini juga tidak akan lama. Apalagi menghadapi momen pemilu 2024 seperti ini. Akan banyak bermunculan, para wakil rakyat yang menjadi pemerkosa dan perayu retoris (Rakhmat: Retorika Modern), yang mengobral janji manis. Tentu masyarakat akan kembali percaya. Tinggal waktu saja yang akan membuktikan. Apakah komitmen dan kepercayaan ini, bisa benar-benar kokoh dan bertahan lama.

Insiden ini menjadi alaram besar dan penting bagi pemerintah dan para wakil rakyat. Mereka harus memastikan, fungsi pemerintahan yang menempel di jas dan pangkat kehormatannya, benar-benar kuat dan mampu melindungi masyarakatnya, dari segala macam konflik yang terjadi. Sekiranya, menegakan fungsi pemerintahan ini, yang harus fokus dibangun oleh wakil rakyat.

Jika membangun kantor dan rumah bisa dilakukan dengan uang dan kebijakan, maka membangun kepercayaan dan integritas kepemimpinan, harus dengan proses pengkhidmatan dan pembuktian yang memakan waktu cukup Panjang.

Berani Menghukum yang Bersalah
Wakil rakyat harus membuktikan, bahwa mereka berani menghukum orang-orang yang bersalah. Mereka yang mempermaikan nasib masyarakat, mereka yang bersekongkol dengan cukong. Mereka yang korup dan menyalahgunakan kekuasaan, harus dipastikan menerima ganjaran yang setimpal. Integritas dan marwah wakil rakyat harus dibangun kembali.

Hal ini penting, untuk membuktikan dan membatalkan, berbagai dugaan masyarakat sipil, tentang keterlibatan pemerintahan dan aparat penegak hukum, dalam mendiamkan aspirasi masyarakat.

Wakil rakyat harus meminta maaf, atas lemahnya peran pemerintah, dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Mereka harus berani turun dan bertemu langsung dengan rakyatnya, menunjukan sikap kebenanian, dan representasi pemerintah yang pro terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.

Inilah wujud pemerintahan yang seharusnya ada di Indonesia, khususnya di Kabupaten Pohuwato yang telah mengalami pemberontakan rakyat. Tragedi ini menjadi alaram besar bagi pemerintah dan segala macam instrumennya, untuk banyak melakukan perbaikan. Pola perjuangan, komunikasi, dan langkah cepat dalam memenuhi aspirasi masyarakat.

 

Rivaldi Hapili
(Eks Ketum HMI Cabang Gorontalo)

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60