Setiap Warga Negara Indonesia (WNI), sipapun dia harus menjunjung tinggi Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM). Sehingganya azas hukum presumption of innosence (Azas Praduga Tak Bersalah) menjadi pengakuan utama kita bersama, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap Hukum dan HAM, termasuk dalam proses penegakan hukum.
Lebih khusus ditur dalam Pidana pada Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:
1. Seseorang;
2. Menista orang lain baik secara lisan; maupun tulisan;
3. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar.
Sedangkan menurut Pasal 28 D UUD 1945: Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Ketentuan-ketentuan di atas bermakna bahwa setiap manusia harus mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat.
Sehingga setiap penyidik Kejaksaan harus berhati-hati dalam menentukan bahwa perbuatan itu merupakan TIPIKOR atau MAL ADMINSTRASI, seperti yang menjadi kewenangan Kejaksaan berdasarkan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 8 ayat (3) menyatakan, “demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”.
Sedangkan pada ayat (4) memerintahkan, “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya”.
Terkait dengan Kejaksaan menetapkan Tersangka, jika tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti, maka sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan No. Perkara 21/PUU-XII/2014, hal itu dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, melalui permohonan Lembaga Praperadilan.
Dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pada Pasal 52 disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yang meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa terkait dugaan tindak pidana penyimpangan dalam pembebasan lahan GORR di Gorontalo yang nilainya berubah-ubah, awalnya keruiannya sebesar Rp. 85 Milyar, kemudian Rp. 45 Milyar, pernah dikhabarkan Rp. 750 juta, dan terakhir menjadi 43.3 Milyar apakah kerugian ini wajar ? karena pernah Kejaksaan Tinggi menyatakan perhitungan itu sementara.
Haruslah perhitungan itu sudah jelas dan nyata dilakukan oleh Lembaga Negara (Badan Pemeriksaan Keuangan atau BPK) bukan oleh Lembaga lain, karena dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK menyatakan bahwa: Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Sangat jelas juga dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang.
Bahwa Kerugian Negara sebagaimana dinyatakan sebagai unsur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, tanpa adanya unsur ini maka tidak ada korupsi. Dan sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 0003/PUUIV/2006, tanggal 25 Juli 2006 “unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung”.
Pembuktian dan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya itu harus dilakukan secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.
Apalagi jika seseorang yang asal menuduh, karena di awal ulasan penulisnya menyatakan dugaan perampokan uang rakyat, tetapi isinya sudan tuduhan/vonis yang menyatakan pusaran uangnya hanya mengalir ke kelompok kepentingan tertentu sehingga tidak berkontribusi pada perputaran uang di daerah.
Di sini jelas pernyataannya sangat tendensius, tidak mendasar dan lebih beropini liar tanpa mengetahui secara jelas dan nnyata, adalah dugaan perbuatan fitnah.
Padahal, jelas penulis sebutkan di atas, bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) sipapun dia harus menjunjung tinggi Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) seseorang, sehingga azas hukum presumption of innosence (Azas Praduga Tak Bersalah), karena dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ada pengkuan HAM seseorang yang belum bersalah jika Pengadilan tidak menetapkan seseorang bersalah secara inkrah.
Penulis: Dahlan Pido, SH., MH. (Kuasa Hukum Pemprov Gorontalo).