banner 468x60

Ulang Tahun dan Hakikat Hidup

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid

“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”
—Qs. Al-Nahl [16]: 70

Setiap orang memiliki ritual berbeda dalam memperingati hari kelahirannya. Ada yang secara diam-diam agar tidak diketahui sahabatnya. Umumnya, sahabat-sahabat yang mengetahuinya akan meminta traktiran kepada yang berultah. Sebuah budaya “buruk” yang tumbuh subur di Indonesia. Kegembiraannya di hari itu terbebani oleh bermacam-macam permintaan orang di sekitarnya. Kisaran duit yang keluar sampai ada yang tak tanggung-tanggung. Di tubuh generasi milenial, demi memuaskan permintaan dan kegengsian dalam bersosial, rela meminta kepada kedua orang tuanya berjuta-juta dan mem-booking tempat mewah. Seharusnya, orang-orang yang sedang berultah disempurnakan kegembiraannya dengan mengajaknya bernostalgia akan masa lalu, masa kini dan masa depan serta mentraktirnya.

Dalam persoalan hukum di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, umumnya seseorang mengucapkan “tahni’ah” (ucapan selamat) kepada seseorang diperbolehkan (mubah). Dalilnya, menganalogikakan (Qiyas) masalah ini dengan prilaku sahabat Nabi. Imam Bukhari meriwatkan sewaktu Ka’ab bin Malik menerima informasi berita gembira dari Nabi Muhammad mengenai penerimaan taubatnya. Lantas sahabat Thalhah bin Ubaidillah menyampaikan “tahni’ah” itu. Dengan catatan, perayaan itu tidak menyertai perbuatan mungkar.

Penggunaan Qiyas (sebuah kajian dalam ranah Ushul Fikih; salah satu alat menentukan hukum dalam Islam) di atas diafirmasi oleh isyarat lisan Nabi Isa. “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku. Pada hari aku dilahirkan dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (Qs. Maryam [19]: 33). Dalam perbuatan lain, Nabi Muhammad merayakan ulang tahunnya dengan berpuasa. Tujuannya sebagai wujud terima kasih kepada-Nya yang melahirkannya pada hari itu.

Melangkah ke tahap berikutnya: untuk apa ber-ultah?. Kebolehan merayakannya (pandangan kaum moderat) bukan berarti membolehkan segala-galanya dan tanpa meninggalkan jejak perenungan mendalam akan hakikat hidup. Dalam kenyataan ontologis, pertanyaan seriusnya adalah kita ini diposisi mana di antara hakikat hidup manusia: sebagai mahluk spiritual yang memiliki pengalaman fisik ataukah mahluk fisik yang memiliki pengalaman spiritual. Silahkan direnungi!

Perenungan itu akan membawa kita ke sebuah ruangan jalan sunyi yang masih membutuhkan nilai-nilai transenden dan nilai-nilai vital dalam bersosial. Kita tidak saja harus maju dalam urusan duniawi tapi juga akhirat. Kadangkala, kemajuan sebuah era (aspek duniawi) diiringi dengan sebuah bentuk kemunduran. Kemunduran itu diikuti fenomena krisis spiritual maupun “existential illness” (penyakit eksistensial). Penyakit ini berawal dari “keterasingan akal” dan “keterasingan hati” yang merambat sampai pada “keterasingan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”.

Ketika manusia sudah menelantarkan “spiritual space” yang ada dalam dirinya maka kebenaran pun akan sulit diterima dan diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Ujungnya adalah asing terhadap diri sendiri. Hatinya gersang dari cahaya dan nur Ilahi. Mata dan akalnya hanya memanjakan nafsu birahi. Nalar aktif pun menjadi stagnan akibat kalbu tak mendapatkan siraman kebajikan. Akhirnya, manusia hanyalah jasad yang hidup tanpa mampu memancarkan cahaya untuk sekitarnya. Semoga saja Tuhan tidak “membuang mukanya” pada kita semua.

Menelantarkan “spiritual space” membuat kebahagiaan hakiki lumer dan menjauh. Sebab secara otomatis akan berkurangnya segenap potensi rohaniyah yang mengajak ketundukan kepada ketentuan syariat. Ibnu ‘Arabi menganjurkan mereka-mereka yang ingin kembali mengisi kehampaan spiritual itu dengan tiga konsep dasar: spiritual sebagai gerakan psikologis, gerakan etik-moral dan gerakan integralistik yang teraktualisasikan menjadi sikap moral positif dalam lakon hidup sehari-hari.

Ramadan inilah tempat kita bermuhasabah akan hakikat hidup yang kita maknai selama ini. Sudah tepatkah ataukah belum?. Banyangkan! 11 bulan lamanya kita hanya memberi nafkah jasad dan sebulan (jika menjalankannya secara tuntas) kita menafkahi lahiriyah. Lalu, kita masih mengeluh kepada-Nya? Banyak waktu di luar Ramadan kita kuras energi untuk keperluan duniawi, sampai-sampai meminggirkan urusan Ilahi yang berfungsi sebagai tameng kelak hari.

Dalam memaknai hakikat hidup di era kekinian, dimana kehidupan yang serba dikejar oleh waktu, membuat rencana hidup yang panjang dan sebagainya. Perbandingan keberadaan kini dengan perencanaan yang menjulang tinggi. Perencanaan hidup yang kompleks itu timbullah keterkaitan antara waktu dan aku. Kemudian muncullah slogan populer bahwa waktu adalah uang. Yang ditafsirkan cukup materialistik. Padahal hakikat waktu dalam kehidupan adalah tergantung cara berpikir seseorang dalam menggunakan hidupnya; pada tatanan positif ataukah negatif. Dan yang paling sederhana, sudahkah kita menjalani falsafah hidup orang-orang tua Gorontalo yang diberitakan kepada kita, “Penu demo’odulopo uti, Asali diya odulopa liyo lo tawu” (membiarkan diri mendapatkan kesan tidak baik dari orang lain; tapi jangan sampai orang lain yang mendapatkan kesan tidak baik dari diri kita).

Sebuah falsafah hakikat hidup yang selalu menjadi manusia berguna. Dengan mengorbankan jiwa raga untuk kepentingan orang lain dan memuliakannya. Mengasihi mereka sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri. Saya pun teringat dawuh (ucapan) KH. Hasyim Muzadi, “orang yang tidak berbuat apapun untuk kemaslahatan umat (orang banyak), justru akan dililit oleh permasalahannya sendiri”. Menyimpulkan secara sederhana saja, tidak berkembangnya diri kita di era pertumbuhan demografi yang pesat disebabkannya manusia satu sama lain lebih mementingkan untuk memikirkan kepribadian masing-masing.

Maka sampai disini, sejatinya hakikat hidup dengan seperangkat nilai yang terwariskan kerap kita tinggalkan tanpa beban sama sekali. Perayaan setiap tahunnya dan momentum Ramadan sebagai pencuci jiwa hanya ritual formalitas tanpa bekas. Yang seharusnya, kita mengamalkan hakikat tersurat dari sebuah istilah, “hulutalangi” yang bermakna “lebih mulia”. Menjadikan diri agar menjadi orang mulia bukan menganggap diri mulia. Dua aspek yang berbeda.

Dengan bertambahnya usia kita, menuntut kita pula agar menambah kebaikan. Berpijak pada ketentuan-ketentuan kehidupan yang tepat dan memulai memahami “dharma”-nya masing-masing. Menuju kemulian diri menuntut pemahaman akan derajat kita. Maka Ramadan bukan sebagai tuntutan lagi, melainkan kebutuhan jiwa yang sudah terbercaki oleh noda hitam. Ibarat kulit yang terkena panu, yang jika dibiarkan akan menular. Jika sampai mencemari semua kulit, seketika itu pula kita menyebut orang tersebut putih. Padahal itu putih yang penuh kepalsuan. Dalam keseharian kita hidup, banyak perbuatan negatif (barangkali terkesan kecil) sering kita lakukan, kemudian menganggapnya tidak lagi berdosa. Dan saat itu pula, hati kita diibaratkan oleh kaum sufi telah terjangkiti bintik hitam yang harus dibersihkan dengan segenap ritual ibadah dan berusaha mengembalikan kesucian jiwa.

Akhirnya, ulang tahun harus kita maknai sebagai pengingat akan hakikat hidup yang membutuhkan ragam pengorbanan. Pengorbanan untuk membakar nafsu-nafsu liar agar bisa terkontrol dan menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya; memaknainya pula dengan introspeksi diri: sudah menjadi wakil Tuhan sejati ataukah belum mampu mengemban amanah utama diciptakannya kita ke bumi ini: ibadah secara vertikal dan horizontal!. Selamat berbuka puasa.

 

*Tulisan ini saya persembahkan untuk CEO Read.ID, Kanda Rully Lamusu yang telah berulang tahun. Oleh karena itu, topik ini mengangkat tema “Ulang Tahun dan Hakikat Hidup”, guna menjadi perenungan kita bersama. Segenap kebaikan menyertaimu selalu!

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60

Leave a Reply