Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Membicarakan pembumisasian universalisme Islam (syumûliyah al-Islâm) selalu merujuk ke Negara Madinah. Aspek yang terpenting dari komprehensivitas tentang Negara Madinah adalah tauladan dan kepribadian Nabi Muhammad.
Seorang pembawa agama yang kemudian menjadi kepala negara berdasarkan “kontrak sosial”.
Kepercayaan yang diberikan kepada Nabi Muhammad, membuatnya terinspirasi untuk membuat perjanjian fenomenal dalam sejarah klasik di Madinah, yakni perjanjian dengan 12 kelompok yang diwakili oleh kelompok mayoritas: kaum Muslimin, orang Arab non-Muslim dan Yahudi dari Bani Nadir dan Quraizah.
Dari sinilah lahir 47 pasal yang sangat komplit dan universal hingga terpakai sampai saat ini.
Acuan di atas sangat relevan untuk membicarakan literasi Qur’aniyah di bumi Serambi Madinah.
Ditilik dari aspek esoteriknya, Gorontalo diibaratkan sebagai berandanya Madinah, kota suci umat Islam, sekaligus kota penerang dan pencerah bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Sebagai berandanya Madinah, maka Gorontalo harus memiliki konsep “reformasi bumi”, sebagaimana yang tertuang dalam Qur’an.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (Qs. Al-A’râf [7]: 56).
Istilah “memperbaikinya” dalam konsep kekhalifahan manusia disebuat “reformasi”, yang dalam istilah Bahasa Arabnya dikenal “islâh”.
Di dalamnya, setidaknya memuat dua cakupan makna. Pertama, menjaga kelestarian alam semesta tanpa merusaknya.
Banyak kejadian-kejadian alam disebabkan ulah manusia yang angkuh, tamak dan penuh hasrat akan keduniaan.
Qur’an menegur prilaku buruk ini (Baca: Qs. Al-Rûm [30]: 41). Kedua, menciptakan perbaikan dan mewujudkan maslahat. Keaktifan masyarakat dalam menjadi warga yang “al-Muslih” (orang yang menciptakan perbaikan) menjadi syarat tegaknya semangat tauhid yang membumi dan keimanan yang produktif.
Warga yang “al-Muslih” memiliki prinsip “ukhuwah” (persatuan), “ta’awun” (tolong menolong), “tasamuh” (toleransi) dan “tasyawur” (musyawarah).
Keempat prinsip itu telah termuat dalam naskah-naskah kegorontaloan, sebagai ciri khas masyarakat Gorontalo.
Tapi itu pun tidak cukup, bahwa nilai akan bermakna manakala terjadi pembumisasian ke tengah kehidupan masyarakat, yang sama-sama sepakat mengerjakan tanpa harus diperintahkan oleh kepala daerah.
Artinya, semangat mewujudkan nilai-nilai baik harus tumbuh dan dilakukan dengan kesadaran penuh.
Jangan sampai, Serambi Madinah akan dirasa janggal tatkala tidak ada kesesuaian antara prinsip dengan laku tindak masyarakat setempat.
Dalam sejarah keindonesiaan, selain Gorontalo yang sedari awal disematkan istilah Serambi Madinah, Aceh menyabet sematan Serambi Makkah. Namun, dalam perjalanan waktunya, istilah itu pernah tercoreng oleh prilaku “Wilayatul Hisbah” (polisi syariah).
Prilaku seorang polisi Syariah (RL; 33th) yang melakukan “khalwat” dengan gadis tetangganya (LN; 17th) pada tahun 2017.
Namun, karena ia sebagai petugas pengawas berjalannya syariat Islam, ia tidak mendapatkan hukuman cambuk sebagaimana ketetapan “qonun” (peraturan daerah) Syariat Islam itu sendiri.
Berbeda jika prilaku ini menimpa warga biasa, seperti mahasiswa/mahasiswi Unsyiah yang dijatuhi hukuman cambuk dengan nomor pelanggaran: No. 14 Tahun 2003.
Itu salah satu contoh bukti ketidaksesuaian antara filosofi yang luhur dengan budaya berhukum dan menjalankan filosofi itu sendiri.
Maka di Gorontalo, kejadian semisal tidak boleh terjadi. Disebabkan seseorang telah berkuasa atau dekat dengan penguasa, lalu ia lepas dari jeratan atas tindakan negatif yang merugikan banyak orang, mencederai harkat martabat orang lain atau apapun.
Bunyi teks dan bunyi laku tindak harus sesuai. Sebab, ketidakmajuan sebuah tempat disebabkan banyaknya orang berucap tapi tidak melakoninya.
Tentunya, spirit Serambi Madinah ini harus betul-betul wujud di masyarakat Gorontalo. Nilai-nilai Qur’aniyah, sebagai optimalisasi dari filosofi “adat bersendi syara’, syara’ bersendi al-Qur’an” harus wujud nyata dan mengikuti tauladan Nabi Muhammad dalam mencontohkannya.
Dalam salah satu pernyataan terhadap prilaku Fatimah al-Makhzumiyah, seorang keturunan bangsawan yang kedapatan mencuri emas.
Nabi berkata, “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Begitu tegasnya Nabi sebagai hakim. Bisakah ini terjadi di Gorontalo?.
Sebagai keberlanjutan dari reformasi bumi, tidak saja ditopang oleh ketegasan-ketegasan para pemimpin di masing-masing daerah, melainkan ada satu syarat penting yang harus ada, mau tidak mau, yaitu: meliterasikan Qur’an di segala lini, yang harus dimulai secara bersama-sama antara masyarakat dengan pejabat daerah.
Konsep meliterasikan Qur’an, memuat aktualisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan yang nyata.
Tidak saja bermuara pada pemeliharaan tradisi mengaji secara zahir saja, melainkan mengamalkan dan mengajarkan al-Qur’an ke segala sendi masyarakat, dari anak-anak, generasi muda sampai pejabat daerah.
Menghidupkan gairah itu tidak saja dengan wujud semarak ber-MTQ, yang terkadang lupa pada substansi Qur’an. Orientasi melombakan (terkadang) lebih dominan daripada membentuk masyarakat Qur’ani.
Semangat ini harus diupayakan secara sungguh-sungguh, tidak sekedar di-Perda-kan. Perda tanpa keteladanan hanya bunyi tanpa makna.
Sebab, menjadikan Gorontalo sebagai berandanya kota suci Madinah memerlukan gerakan literasi dan studi al-Qur’an yang banyak.
Ini akan menjadi tantangan besar di tengah polarisasi beragama dewasa ini yang kian tidak menampilkan penganut agama yang cerdas dan matang.
Literasi Qur’aniyah ini juga memuat visi utama dan beragenda besar, yakni wujudnya “khairu ummah”. Ayatnya jelas, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Ali Imrân [3]: 110). Muaranya, tidak saja masyarakat yang baik, tapi juga unggul dalam segala aspek.
Keunggulan itu akan melahirkan, apa yang tersurat dalam Qur’an pula, “Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (Qs. Saba’ [34]: 15). Ayat terakhir memuat konsepsi “al-Daulah al-Rî’iyyah” (negara kesejahteraan) harus ditopang oleh keaktifan masyarakat dalam membangunnya.
Lebih-lebih nuansa beragama dan ber-Qur’an di bulan suci Ramadan ini sedang berada dipuncaknya. Gairah merengkuh al-Qur’an pun menjangkiti siapa saja.
Berawal dari slogan, “siapa yang merengkuh al-Qur’an maka al-Qur’an akan merengkuhmu (kelak hari nanti)”. Spirit merengkuhnya tidak boleh kendor di bulan-bulan berikutnya.
Bukti keimanan yang masih bersyarat adalah mengamalkan ajaran agama tapi untuk mendapat simpatik dari Allah dan meminta diberikan pahala oleh-Nya.
Seyogyanya, kebaikan-kebaikan ini kita bawa sampai seterusnya. Agar kita beribadah bukan hanya karena puasa dan ramadan, melainkan betul-betul atas kepatuhan sepanjang hayat pada-Nya.
Disinilah literasi Qur’aniyah dalam setiap rumah dan kantor-kantor penting. Bahwa nuzulnya Qur’an ke bumi harus dijadikan referensi kehidupan tanpa paksaan.
Menjalankan perintah-Nya yang termaktub secara maksimal dan sungguh-sungguh. Tidak ada kata nanti tua baru beribadah atau sebagainya.
Sebab kematian selalu menghampiri kita bersama. Oleh karena itu, bersungguh-sungguh sebisanya dalam tatanan praktik bukan wacana, menjadi keniscayaan bagi setiap masyarakat.
Jika pertama bukti adanya literasi Qur’aniyah ditandai adanya keselarasan antara filosofi dengan bukti empiriknya, dilanjutkan pembumisasian melalui tradisi dan budaya yang bernafas Islami, maka tahap berikutnya, literasi Qur’aniyah menuntut adanya “living Qur’an” dan “way of life” di sebuah daerah itu.
Farid Esack dalam “The Introduction to the Qur’an” (England, 2002) mengutip kisah menarik tentang hubungan Tuhan dengan manusia melalui al-Qur’an.
Kisah ini diberitakan oleh Imam al-Ghazali yang didapat dari Ahmad Ibn Hanbal saat bermimpi bertemu Tuhan. Ahmad Ibn Hanbal bertanya tentang orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan dan bagaimana mereka bisa meraih kedekatan tersebut.
Tuhan pun menjawab, “Dengan firmanku (al-Qur’an]), wahai Ahmad.”
Ahmad Ibn Hanbal mengejar lagi dengan mengajukan pertanyaan selanjutnya, “Dengan memahami makna firman-Mu atau tanpa memahaminya?”.
Tuhan menjawab kembali: “Baik dengan memahaminya (teks-teks al-Qur’an) maupun tidak”.
Kisah ini menjadi dasar normatif, bahwa kebersamaan dengan al-Qur’an bisa menjadikan kita semakin dekat dengan Allah.
Disinilah hakikatnya literasi Qur’aniyah, tidak saja memuat “living phenomenon of Qur’an” yang hanya berorientasi adanya pengungkapan sebuah fenomena (isi sebuah kejadian) dan fenomena yang hidup di masyarakat, namun juga nilai-nilai al-Qur’an sebagai kompas dan jalan hidupnya.
Meminjam permisalan Nasr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an itu seperti musik yang dimainkan oleh para pemain musik, sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu seperti note musik (ia diam).
Agar ia terasa nikmat, maka ia harus dibunyikan. Agar ia menjadi “way of life” maka masyarakat harus memainkan alat musik secara indah, nikmat dan penuh kesadaran bertuhan.
Qur’an tidak saja didengarkan dan dibunyikan pada momen-momen tertentu, Seperti ritualitas tahunan MTQ dan sejenisnya, tapi harus stabil pembunyiannya kapan pun dan di mana pun.
Agar aura al-Qur’an menempel pada siapa saja dan menjadi obat bagi masing-masing diri. Selamat berbuka puasa!