Agama Itu Pisau Tajam

banner 468x60

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid

“Salah besar jika ada orang yang menyalahkan ajaran agama sebagai biang keladi dari segala tindak kekerasan”
—Makmun Rasyid


banner 468x60

Dalam sebuah agama, ada keimanan. “Iman itu telanjang” (al-Îmânu ‘uryanu), begitu tegas Nabi Muhammad. Iman diibaratkan bagaikan anak bayi yang baru lahir ke muka bumi tanpa sehelai benang dan kedua orang tuanyalah dan alam sekelilingnya yang membentuk dan mempengaruhi “setting social” sang bayi itu. Kedua faktor penting itulah yang membentuknya: mempertebal atau menipiskan. Tebal dan tipisnya iman seseorang akan berpengaruh pada sistem pengelolaan. Sebagaimana tubuh (jasad) yang memerlukan penanganan agar tetap tampil prima dan menawan, iman pun demikian. Iman memerlukan penanganan dan perawatan yang baik agar tumbuh kembangnya bisa terpusat pada hal-hal positif.

Dalam konteks keimanan seseorang dalam beragama, dibutuhkan balutan yang kokoh, yaitu takwa. Takwa yang terkoneksi dengan akhlak. Akhlak itu akan melahirkan rasa malu. Kesimpulannya, hanyalah orang yang beriman—sebetul-betulnya beriman—yang melahirkan akhlak dalam bersosial dan bermuamalah. Sebab tujuan dari keimanan yang produktif adalah menciptakan kemaslahatan bukan kerusakan.

Keimanan yang produktif itu tercermin dalam redaksi al-Qur’an, “berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan” (Qs. Al-Baqarah [2]: 148). Sebaliknya, keimanan yang tidak produktif adalah tercermin dari prilaku-prilaku orang beragama yang tidak sampai pada ketakwaan: memanusiakan manusia. Keduanya sama-sama beragama, tapi membawa agama dan mengaplikasikan agamanya berbeda-beda. Ibarat pisau yang tajam, ia bisa dipergunakan untuk hal-hal baik dan ada pula yang menggunakan ketajaman pisau itu untuk membunuh orang—yang bisa jadi seagama.

Prilaku-prilaku seseorang yang menggunakan ketajaman agama itu diibaratkan al-Qur’an sebagai manusia yang lebih rendah binatang (Qs. Al-A’râ’f [7]: 179). Artinya, mereka diberikan hati untuk merasakan penderitaan orang lain, menebar kasih sayang, timbul rasa empati yang melahirkan simpati dan lain sebagainya, tapi tidak digunakan optimal. Maka derajatnya lebih rendah dari binatang.

Kesadaran akan hakikat sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini, dimana Tuhan memberikan kepercayaan kepada manusia untuk terlibat mengatur tatanan dunia ke arah yang lebih baik. Namun Allah tidak mengisi dunia ini satu warna, bermacam-macam warna. Disini jelas, pelbagai perumpaan dari-Nya, ada yang dengan “perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk…” (Qs. Al-Baqarah [2]: 26).

Kepercayaan Allah yang diberikan kepada manusia itu bukti bahwa tugas manusia di dunia ini tidak saja dalam pengertian doktrin umumnya manusia (baca Qs. Al-Dzâriyât [51]: 56) yakni ibadah kepada Allah saja. Disini menurut Imam Ghazali, segala sesuatu yang diniatkan untuk ibadah kepada Allah dengan jenis apapun kegiatan positifnya, maka itu ibadah pada bidangnya masing-masing. Jelaslah, struktur keagamaan Islam tidak mengenal pemisahan aspek duniawi dan ukhrawi. Penyatuan itu disebabkan berasal dari sumber yang sama: Allah SWT.

Salah besar orang yang hidupnya hanya memusatkan hidupnya hanya beribadah secara vertikal. Mengapa? Sejatinya, nilai-nilai Islam itu bersifat “all embracing”—istilah Kuntowijoyo—atau mencakup seagala sesuatu. Nilai-nilai sakral dan komprehensif itu harus tertranformasi ke ruang sosial dan budaya. Disini penulis tidak memungkiri akan pusat keimanan adalah Allah, tapi apapun dia maka ujungnya adalah pengaktualisasian, yang itu tertuju pada manusia. Maka menjadi manusia beragama yang “muttaqîn” harusnya menjadi manusia yang mampu mewujudkan “rahmatan lil alamin”; tidak saja rahmat untuk alam semesta tapi juga rahmat kepada sesama manusia yang beranekaragam agamanya dan jenis sifatnya.

Begitulah hakikat beragama. Agama yang diistilahkan “religio” memiliki makna “ikatan”. Sebuah ikatan yang menghubungkan kebenaran dengan manusia. Saat kebenaran itu ingin direalisasikan maka dibutuhkan metode menyampaikannya. Saya ibaratkan, agama itu semacam optik. Tidak semua obat yang ada, cocok untuk pasien. Yang mengetahui macam-macam obat adalah dokter atau apoteker. Salah memberikan obat maka akan fatal. Begitulah dalam beragama. Setiap penyampai dan pembawa harus mengerti dosis orang yang membutuhkan siraman-siraman nilai-nilai agama (manusia).

Jangan takut kita dianggap tidak pintar karena kurang memberikan dalil-dalil kepada umat, namun yang kita takutkan adalah ketiadaan keteladanan dalam beragama itu sendiri. Keteladanan memang lebih sulit dari sekedar memberi contoh tentang keteladanan tokoh-tokoh, termasuk keteladanan Nabi Muhammad. Walaupun masing-masing penganut agama Islam mengatakan bahwa perbuatannya meniru Nabi Muhammad dan memperjuangkan syariat. Tapi sebagai sebuah klaim, tentunya ada jarak antara agama dengan pembawa agama. Agama itu suci dan pembawa agama tidak sesuci agama itu sendiri. Jarak itulah yang membuat seseorang, ada yang menggunakan dan menjalankan agama sesuai relnya dan adapula yang salah membawa agama. Kesalahan itu membuat orang di luar Islam menyebarkan bahwa Islam itu bengis, radikal dan ekstrim. Disinilah Islam antara cita dan fakta berbeda. Bukan Islamnya atau agamanya yang salah melainkan orang yang membawanya.

Selalu saja, cita-cita berislam selalu terformalisasikan dengan baik dan sempurna. Namun fakta kerap menyelisihi cita-cita itu. Ada goresan keindahan dalam agama yang telah digoreskan Allah tidak dipergunakan sebaik-baiknya oleh manusia. Padahal goresan keindahan itu jubah dari humanisme teosentrik. Dimana agama mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dan manifestasi dari keimanan harus diarahkan dalam perjuangan pembentukan peradaban manusia yang kohesif dan berkeadaban.

Menarik untuk mengutip seorang filsuf Katolik di Amerika Serikat, John D. Caputo dalam bukunya “On Religion” (2001) yang secara serius melucuti orang-orang beragama dengan ketiadaan cinta dan kasih sayang dalam beragama. Khususnya, Caputo dalam bab empat berjudul “Impossible People” mengutip munajat Eckhart yang berbunyi “I Pay God to rid me of God” atau “Aku berdoa dari Tuhan supaya membersihkanku dari Tuhan”. Maksudnya, seorang yang beriman harus selalu membersihkan dirinya dari pengaruh monopoli peran Tuhan di muka bumi ini. Jangan sampai, tugasnya adalah membawa agama tetapi justru lakonnya membajak agama untuk kepentingan kelompoknya.

Munajat di atas itu bisa kita selaraskan dengan ayat al-Qur`ân, “Dan saya tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai pembawa kasih sayang bagi alam semesta” (Qs. al-Anbiyâ’ [21]: 107). Itulah tujuan utama Nabi Muhammad Saw diutus ke muka bumi, tidak untuk membawa laknat melainkan membawa rahmat. Dalam membawa agama, Nabi mengajak bukan menggasak; Nabi menyampaikan bukan memaksakan; Nabi mengayomi bukan menyakiti; Nabi menyebarkan penuh kebaikan bukan dengan kebengisan dan lain sebagainya.

Dalam ajaran kasih sayang juga, bisa menjadi sarana untuk menghilangkan fiksasi masyarakat dan penganut agama dalam memandang Tuhan. Tuhan yang awalnya dilihat sebagai sumber kasih sayang berubah menjadi getaran negatif yang dapat menjauhkan seseorang dalam ber-Tuhan. Begitu pula dengan agama, ketika agama dikonotasikan dan diidentikkan dengan kekerasan, maka lambat laun seseorang akan menjauh dari agama.

Lebih-lebih berbahaya lagi, jika agama yang begitu diidealkan memasuki periode krisis dan agama mengalami kemunduran dominasi di sebuah masyarakat. Kebagusan agama digerogoti oleh penganutnya. Tidak mampu memanfaatkan ketajaman agama pada hal-hal kebajikan. Jadi apapun agamanya, khususnya Islam, harus mampu tampil untuk mengatasi berbagai kejahatan yang melenyapkan kelestarian umat manusia.

Mengapa ini penting, sebab adanya kecanggihan teknologi dan dasar agama itu tajam membuat peluang terciptanya pelampiasan keserakahan dan kebejatan-kebejatan yang dibungkus oleh dalil-dalil agama. Semangat redefinisi dan reinterpretasi untuk menyambut revolusi industri, jangan sampai membuat penganut agama kehilangan keindahan, kebenaran dan kebaikan dalam membawa agama. Maka menimbang segala sesuatu dengan parameter ketiganya dibutuhkan.

Sesuatu yang dibawa tidak saja baik, tapi benar. Tidak saja benar, tapi indah. Gabungan ketiganya akan membuat kita masuk dalam kategori orang-orang yang keimanannya produktif. Dengan begitu, kita bisa mengamalkan ajaran Qur’an, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Ali Imrân [3]: 110). Selamat berbuka puasa!

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90

Leave a Reply