READ.ID – Dunia kedokteran di era digitalisasi saat ini terus berkembang, riset pengobatan super modern terus dilakuan dengan harapan akan berdampak positif pada kualitas layanan kesehatan.
Mudah, murah dan praktis, itulah barangkali ungkapan terhadap pengobatan modern berbasis teknologi di era digital. Sebagai contoh teknik rekayasa genetik dengan memanfaatkan sistem imun sel bakteri/virus yang menyerang tubuh, teknologi yang disebut Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) ini akan dapat mengerem keganasan penyakit kanker dan HIV.
Contoh lain, adalah aplikasi teknologi Robotic Surgery. Metode pembedahan dilakukan dengan pemanfaatan robot. Keunggulan pengobatan ini, antara lain: risiko infeksi rendah, tingkat kesakitan rendah, perdarahan sedikit, dan waktu perawatan lebih singkat.
Masih banyak inovasi-inovasi terbaru yang ditemukan oleh para pakar yang diharapkan bermuara pada kepuasan publik dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan kesehatan (health care receiver).
Di sisi lain kemajuan dunia kedokteran juga diperhadapkan dengan ketidak-kepuasan pasien dan keluarga pasien dalam pemberian layanan yang excellent (memuaskan dan membahagiakan).
Tuntutan publik ini kadangkala tidak diperoleh di rumah sakit, klinik dan faskes lainnya sebagai pihak yang memberikan pelayanan kesehatan (health care provider).
Penyebabnya adalah antara pihak rumah sakit dan pasien tidak/belum memiliki ‘frekuensi’ yang sama dalam memaknai layanann yang diberikan. Hal ini disebabkan mis-komunikasi yang berakibat pada mis-understanding (kesalahpahaman), inilah yang kemudian menjadi persoalan besar (kasus) yang pada akhirnya masuk ke ranah hukum.
Kesamaan persepsi dan frekeuensi antara dokter dan pasien harus terbangun sejak awal, sebelum diadakan tindakan medis. Oleh karena itu, etika kedokteran memandu para pelayan kesehatan (dokter, dan profesi kesehatan lainnya) untuk mengawali layananya dengan mengadakan anamnesis.
Anamnesis atau anamnesa merupakan cara dokter/petugas kesehatan untuk mendapatkan informasi awal terkait keluhan penyakit pasien melalui wawancara medis yang dilakukan terhadap pasiennya untuk memperoleh informasi mengenai kondisi yang sedang dialami oleh pasien agar dokter dapat menyimpulkan diagnosis penyakit dari pasien tersebut.
Tujuan dari anamnesis adalah untuk mendapatkan informasi akurat dan menyeluruh mengenai kesehatan pasien. Aktivitas anamnesis juga diharapkan akan bermanfaat bagi terjalinnya hubungan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, sehingga dokter dapat mengambil kesimpulan secara profesional dan pasien akan mendapatkan pengobatan sesuai harapan.
Selain anamnesis, langkah penting dan strategis yang harus dilakukan oleh para dokter dan tenaga kesehatan terkait adalah langkah yang disebut Informed concent. Tindakan ini telah menjadi standar pengobatan dan layanan kesehatan secara global.
Secara filosofis, kesehatan sebagai hak setiap manusia, dan kewajiban negara untuk memenuhi hak itu terutama pada situasi bahwa tidak setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati haknya itu.
Saat sakitpun manusia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengobatan dan pelayan Kesehatan terbaik, dengan memastikan segala keputusan yang diambil untuk kepentingan kesehatannya harus melibatkan individu terkait. Tidak ada keputusan medis dan prosedur medis yang boleh dilakukan tanpa informed concent (persetujuan Tindakan) dari pasien , kecuali dalam kasus kasus inkompetensi legal.
Dengan dasar bahwa penderita memiliki niatan yang paling murni dalam pengambilan keputusan mengenai kepentingan hidupnya, Orang lain mungkin akan memilih sesuatu yg memiliki bias, saat pengambilan keputusan .
Untuk dapat memberikan informed concent dengan baik , diperlukan penjelasan mengenai kondisi sebenarnya,tentang pemeriksaan yang akan dilakukan, diagnosis penyakit, upaya penyembuhan , tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan , termasuk prognosis, dari dokter yang merawat. Pasien bebas menentukan dan membuat keputusan setelah mendengar penjelasan, memahami penjelasan tersebut kemudian menimbang berbagai pilihan dan alternatif yang disampaikan dokter.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2008, disebutkan, bahwa persetujuan Tindakan Kedokteran (informed Consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Selanjutnya dikatakan, bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Selanjutnya, perihal fisafat pendidikan dikatakan oleh Al-Syaibany (1979 : 36), merupakan aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat menjadi sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya Filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya.
Takrif yang dikemukakan ini, menunjukkan bahwa melalui anamnesis dan Informed concent para pengabdi bidang kesehatan (dokter dan petugas kesehatan terkait) telah mempraktikan filsafat pendidikan, apabila konsisten dengan peraturan perundangan yang berlaku, kesepakatan nilai etik dan kemanusiaan.
Ihwal dikarenakan dalam tindakan anamnesis dan Informed concent terbangun keselarasan antara dokter/tenaga medis dengan pasien/keluarga pasien, yakni melalui tindakan yang seimbang. Juga dalam dalam perspektif ini, upaya yang dilakukan dokter/tenaga kesehatan, yaitu memberikan pencerahan melalui edukasi dan konseling.
Edukasi, merupakan proses untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang (pasien) dan konseling merupakan aktivitas pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu (pasien) agar problematika yang dihadapinya dapat teratasi.
Dengan dalam anamnesis dan informed consent, seorang dokter/tenaga kesehatan dapat bertindak sebagai seorang pendidik sekaligus sebagai seorang konselor. Inilah salah satu hal yang dipandang penting dalam pengobatan modern, sebab tidak hanya mengedepankan teknologi tetapi juga berlandaskan pada asas filosofis.
Anamnesis dan informed consent juga mengandung makna, bahwa tindakan medis yang akan diambil benar-benar obyektif, transparan, bijaksana sehingga dapat dipertanggung-jawabkan dari aspek keilmuan dan etika (moral). Edukasi dan konseling merupakan pencerahan kepada pasien sehingga dapat mempertimbangkan pilihannya, sehingga dapat menyetujui atau menolak tindakan medis yang akan dilakukan.
Kadangkala pengambilan keputusan tersebut sangatlah emergency, maka aturan negara dan kemanusiaan memungkinkan tindakan darurat harus segera diambil tanpa menunggu persetujuan. Inilah tindakan kemanusiaan yang menyangkut nyawa pasien sekaligus menjadi tindakan yang dapat berefek pada hukum apabila terjadi kegagalan.
Secara empiris (pengetahuan melalui bukti-bukti indrawi; didengar, dirasakan dan dilihat), tindakan medis yang tidak dikomunikasikan (belum dan/atau tanpa mendapat persetujuan pasien dan keluarga pasein) karena emergency seperti cyto seringkali menjadi problem, bahkan sampai ke ranah hukum.
Padahal dalam pandangan ilmu kedokteran (rasional), kemanusiaan dan etika kedokteran, keselamatan nyawa manusia harus dikedepankan apalagi dalam posisi gawat-darurat. Jadi dari banyak kasus terkait dengan informed consent, tidak saja berada pada ranah pengetahuan empiris tetapi sekaligus masuk ke ranah pengetahuan rasional dan ranah pengetahuan otoritatif (pembuktian bukan saja atas baik dan benar, tetapi buktinya diperoleh dari otoritas para ahli di bidangnya).
Dalam konsepsi disiplin ilmu kedokteran, maka filsafat etika biomedis yang akan menjawab kasus-kasus yang terkait dengan problematika anamnesis, informed consent, malpraktik dan ihwal yang terkait dengan praktik kedokteran karena pada akhirnya prinsip moral profesi kedokteran adalah terbangunnya hubungan fiduciary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics).
Oleh: Maimun Ihsan, Ansar, Hariadi Said dan Arwildayanto
Program Doktor Pendidikan Pasca Sarjana
Universitas Negeri Gorontalo