Oleh:
Rezkiawan Tantawi
Pengajar di Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo
Komparasi kualitas antara sumber daya lokal dan asing menjadi polemik tersendiri yang tidak hanya menjadi masalah bagi si pencari kerja yang harus bersaing dengan tenaga kerja asing tetapi juga bagi pemerintah selaku penentu kebijakan yang seringkali terbentur dilema antara memprioritaskan tenaga kerja lokal atau mengundang masuk tenaga asing yang memenuhi kualifikasi sebagai tenaga ahli sekaligus langkah dalam meningkatkan pendapatan Negara melalui investasi.
Era pasar bebas dewasa ini menuntut para manajer untuk memiliki perspektif global dalam proses pengelolaan organisasi. Persaingan yang ada antar tenaga kerja meruntuhkan batas Negara sehingga kita dipaksa untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan internasional yang tidak hanya sekedar luas tetapi juga dinamis. Impor dan ekspor tenaga kerja asing (ekspatriat) pun mulai digencarkan demi memberikan pengalaman kepada pekerja terutama dalam hal budaya kerja yang berkembang di luar organisasi guna agar memiliki pengalaman. Bagi beberapa perusahaan, impor tenaga kerja asing menjadi alternatif dalam meningkatkan kapasitas organisasi termasuk kompetensi pekerja lokal. Pekerja asing dengan profesi dan kualifikasi keahlian tertentu dapat melatih pekerja lokal sehingga dapat mengembangkan kualitas kerja mereka.
Dalam program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), sedikitnya delapan jenis profesi yang terkena dampak dari pasar bebas. Sebagaimana yang tertuang dalam MRA (Mutual Recognition Arrangement) profesi tersebut meliputi insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survey, praktisi kesehatan (tenaga medis), dan perawat yang kesemuanya adalah tenaga ahli yang kedepan diramalkan akan menjadi profesi paling dibutuhkan dalam dunia kerja.
Keluar masuknya tenaga kerja asing di Indonesia juga turut dipengaruh oleh posisi Indonesia sebagai Negara anggota WTO yang mengharuskan membuka kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Hal ini jika tidak dikelola maka dapat berdampak pada tidak terpakainya pekerja lokal yang tentu saja hanya akan menambah daftar panjang jumlah penggangguran.
Menyeriusi hal tersebut, pemerintah merilis Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2013 (menggantikan Permenakertrans Nomor 2 Tahun 2008) yang memuat tentang rencana penggunaan tenaga kerja asing yang melahirkan mekanisme dan prosedur perekrutan tenaga asing yang ketat. Peraturan ini juga merupakan tindak lanjut daripada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari Menteri.
Akan tetapi, belakangan pemerintah nampaknya mulai kendor dalam mengawasi perputaran tenaga kerja asing di Indonesia. Dibuktikan dengan ditandatanganinya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dinilai mempermudah pekerja asing masuk ke Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam menerbitkan izin mempekerjakan tenaga kerja asing menjadikan arus masuk pekerja asing menjadi tidak terkendali. Dengan dalih untuk meningkatkan investasi dan perbaikan ekonomi nasional, masuknya pekerja asing malah membawa konflik baru yakni melemahnya eksistensi pekerja lokal dalam hal persaingan lapangan kerja. Pekerja lokal pun terancam kehilangan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia, tercatat sejumlah tenaga kerja asing (TKA) hingga saat ini mencapai 126 ribu orang atau meningkat 69,85 persen dibandingkan akhir 2016 sebanyak 74.813 orang yang berarti kita ketambahan 51.187 orang pekerja asing. Mayoritas mereka berasal dari Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura.
Angka ini sangat fantastis jika dibandingkan dengan jumlah pengangguran di Indonesia yang menurut data dari Badan Pusat Statistik telah ketambahan sebanyak 10.000 orang pada tahun 2017 kemarin. Di saat jumlah angkatan kerja dan angka pengangguran di Indonesia meningkat dan harusnya ditekan, di sisi lain pemerintah malah mengeluarkan kebijakan bersifat bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Jika tidak disiasati, hanya tinggal menunggu waktu saja para tenaga kerja lokal akan diinvasi oleh tenaga kerja asing. Terlebih lagi jika kepemilikan perusahaan tersebut dikuasai oleh asing dan diisi oleh pekerja asing.
Terbitnya izin atas pekerja asing (IMTA) memang memuat sejumlah poin yang menjurus ke spesifikasi keahlian TKA, salah satunya adalah kepemilikan sertifikat kompetensi. Namun, ini sama saja dengan membuka keran yang melancarkan masuknya TKA non-keahlian.
Meskipun ada pembatasan waktu dan jabatan yang diberikan kepada tenaga asing, namun belum ada ketegasan dari pemerintah dalam implementasinya. Ditambah dengan indikasi praktik “main mata” pemerintah dengan pihak asing yang menyebabkan terjadinya penyelundupan tenaga kerja asing. Sebuah ketidak mungkinan dari jumlah ribuan TKA yang terdaftar keseluruhannya adalah para ahli.
Faktanya, sebagian mereka dipastikan adalah para pekerja dengan kualifikasi rendah (buruh kasar). Contoh kasus yang terjadi pada pabrik semen di Papua di mana sebanyak 359 pekerja asing 40 di antaranya teridentifikasi sebagai buruh kasar tanpa kepemilikan surat izin. Ini menandakan bahwa pemerintah kecolongan dalam melakukan pegawasan terhadap arus TKA. Harus diakui bahwasannya pemanfaatan TKA memiliki efek positif bagi devisa Negara sekaligus memacu perkembangan kualitas sumber daya manusia untuk dapat bersaing secara global. Tapi ini hanya berlaku untuk TKA yang termasuk dalam delapan profesi ahli yang telah dijabarkan sebelumnya.
Jika hanya sekedar buruh, pekerja lokal banyak yang dapat diberdayakan. Pun begitu, Indonesia juga memiliki banyak tenaga ahli siap pakai. Apalagi mengingat Indonesia tercatat sebagai Negara dengan jumlah sarjana muda terbanyak dalam lima tahun terakhir. Sehingga pemanfaatan tenaga kerja asing sebagai tuas dalam mendongkrak kapasitas organisasi menjadi tidak terlalu urgent.
Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah lulusan yang dihasilkan sudah memenuhi kebutuhan permintaan pasar tenaga kerja?
Fatal kiranya jika kita membiarkan tenaga kerja asing dengan kualifikasi rendah (buruh) masuk menginvasi sementara di internal kita sumber daya manusia melimpah ruah. Konflik sosial pun dikhawatirkan akan semakin meluas. Perlu lebih dari sekedar pengkajian kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Tidak hanya melakukan pengawasan dan pembatasan jumlah TKA tapi juga pemerintah perlu mengintervensi rentang waktu yang diberikan pada TKA agar dipatok ukuran berapa lama mereka diperkenankan untuk mengisi kekosongan tenaga ahli sampai tenaga lokal siap untuk mengambil posisi.
Sementara dari sisi lain perlu perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan agar penerapan kurikulum dalam diklat disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Di sinilah implementasi dari konsep triple helix antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri perlu digalakkan. Triple helix sendiri merupakan sebuah kerangka konseptual yang diperkenalkan pertama kali oleh Etzkowitz dan Leydesdorff (1995) yang di dalamnya melibatkan akademisi, lembaga pemerintah, dan perusahaan yang saling kooperatif dalam menciptakan suatu inovasi dan diaplikasikan dalam rangka menjawab tantangan perkembangan zaman (Carayannis dan Campbell, 2010).
Dengan berporos pada universitas sebagai center of excellent dalam menciptakan sumber daya manusia berdaya saing unggul menuntut para aktor (dosen) di dalamnya untuk dapat meningkatkan kapasitas anak didiknya agar berorientasi pada market demands. Hal itu juga harus didukung dengan interaksi antara universitas dengan dunia industrial agar terbangun hubungan kemitraan antara kedua pihak. Dan pemerintah mengambil peran sebagai mediator yang mengatur regulasi yang memungkinkan akses antara universitas dengan industri menjadi lebih mudah.
Berkaca pada Negara-negara maju, sinergitas antara ketiga pihak melalui konsep triple helix telah menjadikan universitas sebagai pusat penghasil sumber daya manusia yang dapat langsung dimanfaatkan dalam dunia perindustrialan guna untuk menghadapi era pasar bebas seperti sekarang ini.
Adalah tanggung jawab kita selaku akademisi dalam mempertahankan eksistensi tenaga lokal melalui perbaikan kualitas lulusan agar mampu bersaing secara global. Dengan begitu, maka angka pertumbuhan tenaga kerja asing dapat ditekan bahkan diminimalisir sehingga dari yang tadinya menginvasi menjadi sekedar “berbulan madu”.*****