READ.ID,- Ketika riak-riak politik lokal menjalar ke linimasa media sosial dan berbagai asumsi mulai mengkristal menjadi opini publik, Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail memilih jalan sunyi: tetap tenang dan fokus kerja. Di tengah derasnya narasi yang menyeret nama dirinya dan Pemerintah Provinsi Gorontalo, Gusnar justru hadir membuka Kuliah Subuh dan bersilaturahmi dengan warga Muhammadiyah di halaman Rumah Jabatan Gubernur, Sabtu (20/4/2025).
“Beberapa hari ini, di tengah hiruk pikuk dinamika media sosial di Gorontalo, banyak informasi dan pernyataan yang berkaitan dengan pemprov maupun pribadi saya. Tapi saya sudah memasang niat dari awal untuk menghadapi hal-hal seperti ini dengan sabar,” ujar Gusnar dengan nada yang lebih meneduhkan ketimbang membakar.
Alih-alih ikut meladeni komentar yang berhamburan dan narasi-narasi liar yang kerap lebih cepat dari klarifikasi resmi, Gusnar memilih diam yang bekerja. Tidak emosional, tidak reaktif, tidak pula sibuk ‘bantah sana bantah sini’. Baginya, polemik boleh ramai, asal tidak mengganggu prioritas utama: melayani rakyat.
“Saya hadir di Gorontalo membawa solusi, bukan pertengkaran. Itu yang paling penting. Di level kita sekarang, masyarakat menunggu solusi, bukan drama,” tegasnya.
Pernyataan ini, meski terdengar normatif, sejatinya menyimpan pesan politis yang dalam. Di saat sebagian elite lokal lebih menikmati panggung konflik, Gusnar justru mencoba menarik garis batas: cukup sudah sandiwara politik, mari kembali ke naskah utama—kerja dan pengabdian.
Tak lupa, ia mengingatkan pentingnya menjaga harmoni sosial di tengah atmosfer digital yang kerap panas-dingin. Menurutnya, setiap kegaduhan bisa menjadi momentum untuk merapatkan barisan, bukan justru menjauhkan satu sama lain.
Gusnar memang tidak menyebut siapa yang ia maksud, tapi publik Gorontalo tentu bisa membaca konteksnya. Di balik ketenangan pernyataannya, terselip sinyal bahwa gubernur tak tinggal diam. Ia melihat, mencatat, dan, mungkin, bersiap mengambil langkah.
Satu hal yang pasti: Gusnar sedang memainkan peran gubernur bukan hanya di kantor, tapi juga di ruang publik digital yang kini menjadi ajang pertarungan legitimasi.*******