Eutanasia dalam Perspektif Bioetika, Hak Asasi Manusia, dan Hukum Positif

Siska Dewi Potabuga

Oleh: Siska Dewi Indriani Potabuga

Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


banner 468x60

Apa itu Eutanasia?
Istilah eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu euthanatos ,‘eu’ berarti baik dan ‘thanatos’ berarti mati. Secara etimologis, eutanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Dalam perkembangannya eutanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati atau kehilangan nyawa (mercy death).
Pasal 117 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Definisi mati yaitu berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life) dan hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Meskipun eutanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata.
Saat ini dokter dan tenaga kesehatan sering dihadapkan pada masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis, salah satunya adalah eutanasia yang jenisnya meliputi eutanasia aktif, pasif, sukarela dan terpaksa. Dokter seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut atau pasien koma yang bertahan hidup dengan bantuan alat medis. Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari eutanasia.
Situasi ini tentu menimbulkan dilema bagi para dokter dan tenaga kesehatan, apakah ia mempunyai hak hukum dengan konsekuensi hukum pula dalam menyikapi permintaan eutanasia, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan dengan bertujuan untuk mempercepat atau mempermudah kematian orang yang menderita penyakit yang sulit disembuhkan. Namun tindakan ini bertentangan dengan norma agama, hukum negara dan kode etik.
Eutanasia merupakan salah satu objek kajian hukum kesehatan, dengan mengombinasikan antara studi hukum pidana dengan aspek kesehatan yang merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan.

Eutanasia Perspektif Bioetika
Ditinjau dari perspektif bioetika dalam menyikapi permintaan untuk eutanasia dapat mengacu pada 4 prinsip moral dasar atau kaidah dasar bioetika, yaitu otonomi (self determination), tindakan berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice). Keempat prinsip moral dasar ini secara gamblang memberikan pandangan dan pemahaman yang memuat nilai-nilai dasar etika dan dijadikan landasan dalam etika profesi luhur kedokteran. Prinsip otonomi memuat prinsip moral untuk menghormati hak-hak pasien, prinsip beneficience terkait prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien, non maleficience yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien, hingga prinsip moral untuk mementingkan keadilan dalam distribusi sumberdaya yang ada. Dari gambaran ini, maka dalam pandangan etika atau moral kemanusiaan teramat jelas bahwa tindakan eutanasia tidak dapat dibenarkan. Selain itu, dokter juga dapat mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yang menegaskan bahwa melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau keluarganya termasuk pelanggaran disiplin. Bagaimanapun keadaan hidupnya tindakan eutanasia tidak dibenarkan karena termasuk pembunuhan.

Pada setiap situasi yang dihadapi, seseorang akan diperhadapkan dengan dilema etik untuk mengambil keputusan mengenai perilaku yang layak dan yang harus diambil. Ditinjau dari sudut pandang Bioetika eutanasia merupakan suatu hal yang tidak etik, perbuatan mengakhiri hidup manusia tetap tidak bermoral dan juga melanggar hukum Tuhan.

Eutanasia Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum positif Hak asasi manusia (HAM) yang utama dikaitkan dengan hak hidup merupakan hak dasar namun tidak tercantum jelas adanya hak untuk mati. Terdapat beberapa negara yang melegalkan eutanasia di antaranya Belanda, Belgia, Kanada, Selandia Baru. Berbeda dengan Indonesia yang pandangan hidupnya berlandaskan Pancasila dan UUD Tahun1945, nilai-nilainya tidak bersesuaian dengan eutanasia.

Eutanasia dalam perspektif HAM sangat bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan bentuk ratifikasi dari Universal Declaration of Human Rights. Eutanasia sangatlah tidak bersesuaian dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yang sangat prinsipil yakni Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang menganggap eutanasia bukan sebagai bagian hak asasi manusia, sebab menghilangkan nyawa dalam konsep HAM justru melanggar hak asasi itu sendiri dan hal ini telah ditransformasi ke dalam sistem hukum Indonesia.

Perkembangan eutanasia hingga saat ini bila ditinjau dari sisi juridis formal, maka belum ada regulasi yang secara eksplisit mengatur eutanasia secara lengkap. Pelaku tindakan eutanasia di Indonesia masih diancam dengan pasal 338 KUHP, 340 KUHP, 344 KUHP dan 345 KUHP. Beberapa pasal lain yang dapat dikaitkan dengan pelaku eutanasia, antara lain pasal 304 KUHP, pasal 306 KUHP, dan pasal 531 KUHP. Pihak-pihak lain (dokter, perawat, tenaga kesehatan, keluarga pasien) yang membantu tindakan eutanasia dapat dikenakan pasal tambahan, yaitu pasal 55-62 KUHP tentang penyertaan. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa eutanasia baik aktif maupun pasif dilarang. Maka dalam hal permintaan eutanasia yang berasal dari pasien atau keluarga pasien, dokter sebaiknya menolak permintaan tersebut sebab seorang dokter harus berpedoman pada norma tertulis dan tidak tertulis dalam bekerja. Pun jika ada keinginan yang kuat dari pasien/keluarga pasien untuk melakukan tindakan eutanasia, sebaiknya disampaikan ke Komite Medik dan putusan pelaksanaan eutanasia harus menunggu putusan pengadilan. Ketiadaan norma hukum yang mengatur eutanasia menjadi celah tersendiri sekaligus menjadi pintu masuk terutama bagi pasien atau keluarga pasien dalam melakukan permohonan eutanasia. Ke depan diharapkan payung hukum untuk mengontrol tindakan eutanasia bisa terealisasi untuk menjadi rujukan semua pihak, agar profesi dokter dan tenaga kesehatan mendapat kepastian perlindungan hukum.

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa kasus eutanasia yang menjadi jejak perdebatan kontemporer, yaitu
Hasan Kusuma pada 22 Oktober 2004 mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, agar isterinya Again Isna Nauli, pasien koma selama 2 bulan dan kesulitan membayar biaya perawatan medis untuk dilakukan tindakan eutanasia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan eutanasia tersebut.
Ignatius Ryan Tumiwa lulusan pascasarjana dari salah satu universitas ingin mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati, dengan alasan tidak tahan lagi dengan beban hidup yang membuatnya depresi namun terhalang dengan Pasal 344 KUHP. Melalui pengacaranya Ryan mengajukan permohonan uji materi Pasal 344 KUH Pidana ke Mahkamah Konstitusi yang inti dari pasal tersebut mengancam dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang pasien mengakhiri hidup. Pada Agustus 2014, permohonannya dicabut. Alasannya, Ryan sudah punya semangat untuk menjalani kehidupan lagi yang disambut positif hakim konstitusi yang memeriksa permohonan ini.

Berlin Silalahi pada Mei 2017 mengajukan permohonan eutanasia ke Pengadilan Negeri Banda Aceh atas dasar pemohon mengalami lumpuh dan menderita penyakit kronis serta himpitan ekonomi. Pemohon adalah korban tsunami Aceh yang ditempatkan di barak bersama isteri dan anak, yang menunggu bantuan perumahan. Namun kepala daerah memerintahkan bongkar paksa barak yang ditinggali pemohon. Surat pernyataan dari Berlin Silalahi, surat persetujuan isteri, dan surat konsultasi dari dokter spesialis sudah dilampirkan sebagai bukti. Permohonannya ditolak, hakim merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kode Etik Kedokteran, dan Pasal 344 KUH Pidana. Hakim menyimpulkan eutanasia dengan cara disuntik dapat dianggap sebagai bunuh diri. Bunuh diri adalah perbuatan yang dilarang baik dalam adat maupun agama. Dari sisi hukum positif pun, ada larangan melakukan eutanasia, meskipun hakim mengakui belum ada aturan yang secara khusus mengatur eutanasia namun merupakan tindakan yang keliru untuk dilakukan seseorang meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan. Sebab, penderitaan masih dapat diatasi dengan upaya lain tanpa harus melakukan suntik mati atau cara eutanasia lainnya. UU Hak Asasi Manusia tak mengatur hak untuk mati. Jadi, eutanasia merupakan suatu tindakan yang bertentangan dan melanggar UU HAM.
Nazarudin Razali seorang nelayan pada Januari 2022 mengajukan permohonan eutanasia ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe dengan disaksikan Walikota Lhokseumawe. Alasan Nazarudin, ia tertekan dengan kebijakan pemerintah setempat yang berdampak pada ekonomi pemohon. Namun permohonan tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Lhokseumawe dengan alasan tidak adanya dasar hukum yang mengatur tentang eutanasia dan melanggar HAM.

Dari beberapa kasus permohonan eutanasia di atas, yang paling menarik perhatian adalah permohonan Berlin dan Nazarudin, yaitu menunjukkan sarkasme terhadap pemerintah dalam hal ini negara yang dianggap tidak mampu mencarikan solusi terhadap permasalahan masyarakat. Justru kebijakan pemerintah (negara) yang memicu masyarakan melakukan pengajuan untuk melegitimasi pelaksanaan eutanasia. Namun hukum negara melalui hukum positifnya melarang pelaksanaan eutanasia dan memandang eutanasia merupakan kejahatan (pembunuhan) merujuk pasal 344 KUHP, namun regulasi khusus yang mengatur tentang eutanasia secara lengkap belum ada.
Eutanasia meski tujuannya menghilangkan penderitaan seseorang, namun tindakan ini bertentangan dengan norma agama, kode etik dan hukum positif. Semua jenis eutanasia merupakan tindakan kejahatan yang dilarang dan bertentangan dengan hak asasi manusia, sehingga legalisasi eutanasia sangat tidak mungkin diterapkan di Indonesia, sebab Indonesia menganut sistem hukum yang berorientasi pada kepastian, keadilan, kemanfaatan juga mengedepankan aspek moralitas dan kemanusiaan.(*)

 

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90
banner 728x90
banner 728x90