READ.ID – Pembina Forum Penambang Rakyat Bone Bolango Supriadi Alaina mengatakan jika pemerintah daerah baik Pemerintah Daerah Kabupaten Bone Bolango maupun Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk jangan mengabaikan nasib dari sekitar 7 ribu Kepala Keluarga (KK).
Pasalnya kawasan pertambangan yang sudah dihuni oleh masyarakat sudah lebih dari 30 tahun hingga hari ini belum ada kejelasan terkait pengusulan Wilayah Pertambangan Rakyat.
“Kami ini sudah melakukan aktivitas pertambangan sejak tahun 1991, ada sekitar 7 ribu KK dari berbagai profesi menggantungkan hidup disektor pertambangan,” kata Supriadi Alaina.
Ia menambahkan, sebelum kawasan tersebut dikelola oleh perusahaan PT Gorontalo Minerals (GM), masyarakat disekitar sudah beraktivitas sejak tahun 1991.
Untuk melegalkan kawasan tersebut, masyarakat penambang melalui FPR Bone Bolango sudah sejak lama berupaya mendorong ke pemerintah baik Pemerintah Kabupaten Bone Bolango maupun Pemerintah Provinsi Gorontalo.
“Saat itu Provinsi Gorontalo dipimpin oleh Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, yang kemudian dibuatkan satu usulan yaitu alih fungsi hutan, karena kawasan tersebut berada di wilayah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW),” ungkapnya.
Baca juga : Lebih dari 30 Tahun WPR Bone Bolango tak kunjung ditetapkan
Menurutnya dalam ketentuan undang-undang sudah dibagi mana yang menjadi hak dari pada masyarakat dan mana yang bisa dikelola oleh perusahaan.
“Usulan kontrak karya yang diajukan oleh PT GM saat itu, pemerintah diduga tidak menempatkan yang menjadi titik koordinat dari pada WPR,” urainya.
Hingga kemudian pada tahun 2012 terjadi perubahan tata ruang, dimana 24 ribu hektare hanya dialokasikan untuk wilayah PT GM, sementara WPR tidak jelas dimana titiknya.
“Sayangnya tahun 2014 usulan WPR dicabut, dan pada tahun 2019 keluarlah izin explorasi dari PT GM. Dimana keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya? Ini bukan persoalan Batu Hitam tapi ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” tutupnya.