READ.ID – Untuk menghindari visi misi Presiden yang disampaikan dalam kampanye tidak berubah di tengah jalan, Indonesia perlu kembali untuk menghadirkan semacam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada masa Orde Baru.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Fokus MPR Lima Tahun Kedepan’ di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (2/3).
Selain Pangi, juga tampil sebagai pembicara Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarif Hasan serta Ketua Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) MPR RI, Ahmad Riza Patria.
Bila tidak ada panduan semacam GBHN, ungkap pengajar ilmu politik pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, bisa saja di tengah jalan presiden terpilih tidak menjalankan visi misi seperti yang dia sampaikan dalam kampanye untuk menarik suara pemilih.
Laki-laki kelahiran Buluh Rotan, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, 20 Januari 1986 tersebut mencontohkan visi misi yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika kampanye pilpres 2014. Pada masa itu, visi misi Jokowi adalah membuat tol laut.
“Namun, setelah menjadi presiden, saya tidak melihat tol laut seperti yang disampaikan Jokowi dalam visi misinya saat kampanye. Yang ada membangun infrastruktur jalan dan kereta api cepat Jakarta-Bandung. Tol laut yang menjadi visi misi Jokowi tidak kelihatan,” kata Pangi.
Demikian pula halnya visi misi Jokowi menjelang Pilpres 2019, tidak ada bicara pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur, tepatnya Kabupaten Passer Utara dan Kutai Kartanegara. Ditengah jalan, Jokowi mengatakan pemindahan Ibu Kota.
“Jadi, agar Presiden terpilih tak melenceng dari visi misi yang disampaikan ketika kampanye, perlu kembali dihadirkan semacam GBHN. Tidak semua produk Orde Baru itu jelek. Dan, kita juga tak perlu anti Orde Baru. Artinya, yang baik diambil. Jadi, pembangunan itu tidak bisa sesuai dengan selera presiden,” kata Pangi.
Dengan adanya semacam GBHN, lanjut jebolan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) tersebut, ke depan juga presiden dan Kepala Daerah baik itu Gubernur maupun Bupati/Wali Kota satu visi dan misi. Tidak ada istilah Gubernur maunya A tetapi karena Bupati/Wali Kota tidak satu partai politik yang di atasnya inginnya malah B sehingga tujuan untuk mensejahterakan rakyat tersebut tidak sinkron.
Pangi juga mempertanyakan tanpa ada semacam GBHN, bagaimana dengan presiden berikutnya, apakah seleranya. “Dengan begitu, perlu ada pemandu negara kita mungkin 25, 50 atau 100 tahun ke depan. Dengan adanya semacam GBHN, jelas arah trayek kebangsaan kita. Jadi, tidak ada lagi istilah asal beda.”
Singapura dalam membangun negaranya, kata Pangi, justru belajar dari Indonesia. Negara pulau itu memiliki semacam GBHN sebagai panduan sehingga siapapun Perdana Menteri negara itu, yang bersangkutan sudah mempunyai arah pembangunan. Jadi, Perdana Menteri Singapura tidak bisa ke kanan atau ke kiri.
Kalau ke luar dari trayek sehingga harus memulainya dari nol lagi. Arahnya tidak jelas. Dikatakan negara agraris tidak, negara industri juga tidak. Semuanya setengah-setengah. Jadi, mungkin pokok-pokok haluan negara semacam GBHN itu adalah, memotret perjalanan bangsa secara terencana, terstruktur, terukur termasuk memandu trayek agar tidak keluar dari Mandat cita-cita konstitusi.
Cita-cita konstitusi adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, “Namun, faktanya demi imvestasi, virus Corona dianggap remeh bahkan statmennya tidak meneduhkan dan justru membuat aneh-aneh.
Padahal melindungi segenap tumpah darah Indonesia itu dilakukan Arab Saudi, ga penting umroh, bisnis atau investasi.
Demi Investasi, kita mau mengorbankan rakyat. Ini kan tidak melindungi segenap tumpah darah Indonesia sesuai dengan cita-cita kebangsaan kita, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, keadilan.
Kalau Soekarno bilang harmoni, keadilan dan kesejahteraan. Soekarno dalam konsensus GBHN biasanya manivesto politik yang dirumuskan itu pasti terkait dengan kesetaraan, demokrasi Pancasila, Harmoni dan kesejahteraan.
“Sekarang kita berbicara demokrasi Panca Sila, banyak orang mengatakan tidak sesuai dengan trah demokrasi asli Indonesia , karena sudah liberal, berdasarkan voting. Bahkan MPR meninggalkan tradisi Demokrasi Panca Sila yaitu musyawarah mufakat,” demikian Pangi Syarwi Chaniago.
(Akhir Tanjung/Read.Id)