Indonesia Merdeka Tahun 1942, Bukan Tahun 1945

Idul Fitri

Oleh: Funco Tanipu

(Dosen Universitas Negeri Gorontalo, Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Gorontalo)

 

“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh pemerintahan nasional”

Begitu potongan pidato Nani Wartabone pada tanggal 23 Januari 1942 pukul 09.00 WITA di halaman Kantor Pos Gorontalo.

Nani Wartabone mendahului Soekarno dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam bait pidatonya, Nani sudah menyebut kata “merdeka, “bebas”, lepas dari penjajahan”. Dia juga menyebut “Merah Putih”, Indonesia Raya.

Dalam kalimat berikut pada pidatonya, Nani menyebut bahwa telah dilaksanakan pengambil alihan pemerintahn Belanda oleh Pemerintah Nasional.

Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Perjuangan Nani, lalu Koesnodanupoyo dan Pendang Kalengkongan bukan tidak mengundang resiko. Ketiganya dijatuhi hukuman penjara pada 11 September oleh Dewan Militer Sementara yang berkantor di Manado. Nani dihukum 15 tahun penjara, Koesno 7 tahun dan Pendang Kalengkongan 9 tahun penjara.

Nani mendekam di penjara pada kurun waktu 30 Desember 1943 hingga 23 Desember 1949, Nani sempat berpindah pindah penjara Manado, Cipinang Jakarta hingga di Morotai.

Tentu upaya Nani ini mendapat restu dari pimpinan Partai Nasional Indonesia. Nani sendiri adalah pendiri PNI di Gorontalo pada tahun 1928, sebelumnya ia adalah pendiri Jong Gorontalo pada 1923.

Besar kemungkinan bahwa keterkaitan Nani dengan PNI serta Soekarno berkat hubungan mereka semasa di Surabaya pada kurun waktu tahun 1920 an. Di kurun waktu itu, salah satu pusat gerakan kebangsaan Indonesia ada di Surabaya, dimana H.O.S Tjokroaminoto sebagai mentor gerakan dan perkaderan pemuda Indonesia, hingga dari Gang Peneleh (rumah Tjokro) lahirlah Soekarno, Alimin, Musso, Semaun, Darsono, Tan Malaka, hingga Kartosoewirjo.

Kala itu, Nani Wartabone sedang studi di Surabaya mengikuti pamannya Rasjid Tangahu Wartabone, yang bekerja di Institut Buys Surabaya. Institut Buys Surabaya adalah juga lokasi sekolah Hoogere Burgerschool (HBS) tempat Nani mengenyam pendidikan menengah. Di HBS Surabaya pada waktu yang sama, Soekarno bersekolah di tempat itu.

Sebagai sesama pelajar HBS Surabaya, Nani dan Soekarno menikmati pendidikan elit di sekolah itu. HBS pada masa itu adalah sekolah yang memiliki pengajar yang bergelar doktor. Banyak tokoh bangsa pernah mengeyam pendidikan di tempat ini. Jadi, persaudaraan Nani dan Soekarno sudah terjalin sejak mereka sekolah di HBS Surabaya dan menimba ilmu dari H.O.S. Tjokroaminoto.

Tjokro sendiri mendatangi Gorontalo selama dua kali, pertama pada tahun 1916 dan kedua pada tahun 1923. Pada kunjungan kedua tahun 1923, Tjokro tinggal di Ipilo di kediaman Qadhi Husin Pou. Di tempat itu, rapat pembentukan dan penggalangan semangat nasionalisme mulai dikuatkan di Gorontalo hingga terbentuklah pengurus Syarikat Islam Gorontalo dengan Ketua Bouti Pakaya dengan dua pembantu Bahu Panigoro (kepala kampung Molosipat) dan Zakaria Saleh Lama (kepala Kampung Kayubulan). Kunjungan inilah yang mulai membakar semangat nasionalisme warga Gorontalo untuk melawan penjajahan.

Sebagai murid Tjokro, Nani berperan penting dalam pengembangan Syarikat Islam, salah satu perannya adalah mendukung pendirian Gerakan Indonesia Berparlemen (Gapi) di Manado. GAPI dibentuk melalui rapat nasional di Jakarta pada 21 Mei 1939 oleh Abikusno Tjokrosujoso, salah satu mantan Ketua Syarikat Islam setelah Tjokro.

Lalu dilaksanakanlah Kongres GAPI pada 10 Desember 1941, ketua panitianya adalah Koesno Danupoyo, yang kemudian menjadi kawan karib Nani pada peristiwa 23 Januari 1942.

Sebagai penutup, jalinan perkawanan dan persaudaran adalah mata rantai penguatan semangat kebangsaan pada kala itu. Hubungan Soekarno, Nani, Kusno Danupoyo hingga pengaruh Tjokroaminoto di Gorontalo menjadi pembentuk sejarah dari hari patriotik 23 Januari 1942 di Gorontalo, yang proklamasinya tiga tahun sebelum Indonesia diproklamasikan merdeka.****

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version