Penulis: Bagas Dwi Nugrahanto
“UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78 ayat (3) menyebut, pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp5 milyar”
Kedua, “Undang-Undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 8 ayat (1) menyebutkan, seseorang yang dengan sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp10 milyar”
Ketiga, “Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 108 menyebutkan, seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp10 miliar”.
Beberapa tahun silam, Indonesia disibukkan dengan beberapa kejadian kebakaran hutan yang menyebabkan polusi dan kabut asap terjadi, khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Beberapa orang terdampak, dari anak-anak kecil atau orang tua.
Korban banyak berjatuhan karena tidak kuat bertahan pada penyakit ISPA. Relawan peduli api berbulan-bulan memadamkan api di dalam hutan, dimana artinya mereka harus merelakan waktunya untuk meninggalkan keluarganya demi memadamkan kobaran api.
Lalu sempat timbul pernyataan bahwa kebakaran ini salah satunya disebabkan oleh masyarakat Dayak yang masih melanggengkan tradisinya dalam pembukaan lahan menggunakan metodebakar.
Pemerintah dengan sigap mengeluarkan aturan-aturan larangan bagi siapa saja para pelaku pembakaran hutan dan ladang.
Tentunya bagi masyarakat peduli lingkungan, Undang-undang tersebut di atas adalah sebuah aturan yang melegakan pada awalnya, tapi seiring berjalannya waktu banyak dampak yang timbul dari Undang-undang tersebut, selain pada kenyataannya vonis untuk pelaku pembakar hutan dan lahan yang selalu ringan.
Selain itu, undang-undang ini berdampak sosial bagi masyarakat Dayak yang memanfaatkan pembakaran hutan sebagai sarana mereka untuk berkebun, untuk menyambung kehidupan, dan bahkan untuk merawat hutan.
Jika dilarang, artinya mereka kehilangantradisi dan akan menghadapi bencana kelaparan. Selain kelaparan, larangan berladang ini juga akan menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Ladang berpindah adalah sebuaht radisi masyarakat Dayak beberapa ribu tahun silam untuk melakukan aktifitas pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan. Dalam pembukaan lahan tersebut, masyarakat adat Dayak memang menggunakan metode bakar.
Namun yang perlu diketahui adalah, budaya atau tradisi ini sudah mempunyai metode matang untuk menghindari terjadinya kebakaran atau kerusakan hutan, dan justru mereka mementingkan kesuburan hutan.
Pada umumnya, masyarakat Dayak melakukan system ladang berpindah untukmengelola hutan karena tanah di Kalimantan miskin mineral, dimana fosfor menjadi factor pembatas budidaya tanaman pangan. Di hutan tropis, fosfor tersimpan dalam pohon sehingga perlu proses pembakaran untuk melepaskannya.
Hara yang terlepas dimanfaatkan untuk penanaman padigogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan cara yang sama, sedangkan ladang lama ditinggalkan namun sebelumnya ditanami berbagai pohon yang dapat terintegrasi pada ekosistem hutan. Pembukaan lahan yang teratur ini mendorong terbentuknya mozaik lahan berdasarkan umur suksesi dan keanekaragaman hayati yang beragam.
Tata cara dan aturan pembukaan ladang dengan cara membakar pada masyarakat adat Dayak pun sudah sangat terstruktur, ada aturan ketat dan tidak sembarangan. Ada ritualnya, ada batasnya, dan ada hitung-hitungan adatnya.
Mereka mempunyai tekhnik khusus agar api tidak keluar dari batas ladang. Bagi saya, kegiatan ini justru sangat mencerminkan solidaritas tinggi ketika mereka melakukan kegiatan ladang berpindah ini,dimana semua masyarakat terlibat, semua masyarakat saling bahu-membahu, dan semua masyarakat saling menjaga. Dalam Bahasa singkatnya adalah“Gotong Royong”, sangat Indonesia bukan?
Larangan berladang dengan membakar dipaksakan Pemerintah tanpa ada pengecualian dan tanpa disertais olusi. Plang larangan membakar disertai ancaman penjara dipasang di sudut-sudut jalan desa, Tentara dan Polisi dikerahkan untuk mengawasi dan mengulangi informasi ancaman membakar, masyarakat adat yang nekat membakar diteror dengan bom air yang dijatuhkan dari Helikopter yang airnya diambil dari kolam-kolam warga.
Sudah tidak bias berladang, ikan-ikan mereka pun terbunuh ketika airnya diambil oleh robot bernama Helikopter tersebut. Padahal, berladang dengan kearifan lokal dilindungi oleh Pasal 62 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengijinkan masyarakat adat untuk tetap berladang dengan membakar sesuai kearifan lokal.
Pemerintah harus melihat fakta di lapangan dan dengan gentle mengakui bahwa sebenarnya penyumbang emisi terbesar adalah justrud ariperusahaan-perusahaan nakalyang merambah hutan, dan mengalihfungsikan hutan sebagai kebun-kebun monoculture perusahaan; sebagian besar sawit.
Praktik pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan nakal dengan membakar hutan juga berbeda 180 derajat dari tradisi masyarakat adat Dayak. Mereka membakar lahan, lalu meninggalkannya begitu saja sehingga api merambat kesegala arah. Hal itu membuat kobaran api tak terkontrol. Dan lalu mereka berlindung di balik budaya masyarakat adat Dayak. Hutan terdegradasi, budaya terdegradasi. Dan kalau hutan habis, kita mau apa?