Penulis: Makmun Rasyid
READ.ID – Aksi prank yang diperankan seorang Youtuber, saat memberikan jebakan berupa ‘sembako’ yang berisi sampah dan batu, diberikan kepada transgender adalah tindakan tak dibenarkan agama. Dalam Islam, ada tiga istilah yang sering diperdebatkan keberadaannya, yaitu: “khunsta” (seseorang yang mempunyai dua alat kelamin); “mukhannats” (laki-laki yang memiliki karakter dan sifat menyerupai perempuan)—bahasa populernya waria; dan juga “mutarajjilat” (perempuan yang memiliki karakter dan sifat menyerupai laki-laki).
Ketiganya terus mengalami evolusi penafsiran, dalam hal: apakah mereka dilaknat ataukah tidak. Penafsiran yang berkembang itu terfokus pada dua hal, apakah kodrati (khilqah) atau dibuat-buat (tashannu’). Rujukan utamanya adalah hadis tentang terlaknatnya bagi mereka yang menyerupai perempuan atau laki-laki.
Tulisan ini tidak sedang mengajak untuk menyoal tafsiran atas eksistensi ketiganya. Tapi perlakuan orang terhadap mereka, yang itu merupakan ciptaan-Nya. Sebab itu, terlepas dari motif yang menyertai Youtuber itu, dia telah melecehkan ciptaan-Nya. Lebih-lebih dalam puasa Ramadan ini. Dimana salah satu pelajarannya adalah kesamaan status adalah keniscayaan.
Kesamaan itu bisa dilihat dari tiga realitas mendasar: Tuhan, alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Tuhan menciptakan makrokosmos dan mikrokosmos untuk menjadi manifestasi diri-Nya, sehingga manusia melihat keduanya sebagai tanda-tanda (âyât)-Nya dan memahami-Nya. Dari aspek ini, jati diri manusia yang terbentuk secara material (material self) ini kelak tanpa perbedaan untuk bertanggung jawab di hadapan-Nya (Qs. Al-An’âm [6]: 164, Qs. al-Mu’min [40]: 17 dan Qs. Thâhâ [20]: 15).
Perlakuan buruk kepada perbedaan jenis kelamin dan orientasi seksual disebabkan pembacaan terhadap agama secara tidak tuntas dan pembentukan secara sistematis dalam konstruksi sosial-kultural dalam komunitas beragama. idealnya, manusia—secara umum—memiliki “kebergantungan eksistensial” dan “kebergantungan timbal-balik”. Apapun jenisnya, sebuah keseimbangan hak dan tanggung jawab tidak berjalan normal manakala asas beragamanya salah. Sebab-sebab yang membentuk adanya jiwa superior dalam diri, misalnya “saya (laki-laki) lebih benar dari transgender” disebabkan dogma yang menggema di sekeliling telingannya adalah ayat-ayat yang dipersepsikan dengan bias gender.
Bias-bias itu seharusnya, ketika seorang Muslim yang hendak dan sudah masuk ke dalam bulan Ramadan sudah melepaskannya. Dan pelajaran ini dibawa pada bulan-bulan berikutnya. Di bulan ini, Allah secara tersurat telah berfirman: semua ciptaan-Ku sama. Taruhlah ada perbuatan buruk yang dikerjakan seseorang, Allah tetap memerintahkan untuk memperbaikinya dengan cara-cara yang baik. Dalam proses menyerukan kebaikan pun, Islam menuntun agar seruan dalam tatanan aplikasinya melihat sisi kebenaran dan keindahan, juga “maslahat-mafsadat”-nya.
Dunia ini memang tempat diselenggarakannya ujian—dalam Islam disebut “dârul ibtilâ’—dan ini ujian yang setiap manusia harus lolos darinya; baik ujian keburukan maupun kebaikan. Kejahatan yang ada di dunia, yang merupakan “irâdah”-Nya dan rencana-Nya dalam rangka menguji manusia, membuat manusia agar mawas diri dan tidak terjebur di dalamnya. Manusia yang hidup di antara dua tarikan (kebaikan dan keburukan) ini harus sadar bahwa hidup yang selamanya berbuat baik pun, tidak menjamin dirinya masuk surga dan bertemu dengan-Nya. Apalagi kalau keburukan menumpuk dalam diri. Memang, “ma’ûnah” (pertolongan)-Nya tidak diketahui diberikan kepada siapa dan bisa jadi kepada mereka yang selama hidupnya berbuat hal-hal buruk. Wallâhu a’lam!
Namun ada satu hal yang harus disadari setiap Muslim, Allah telah menetapkan sebuah hukum yang disebut oleh para ulama dengan “sunnatul tadafu”; hukum aksi dan reaksi. Dalam hal inilah, Nabi mewasiatkan, “balasan amal sesuai dengan perbuatannya”. Maka Yahya bin Mu’adz al-Razi memberikan nasihat indah kepada kita semua. “Jika Anda tidak bisa memberi manfaat kepada seseorang, janganlah memberinya mudharat; jika Anda tidak mampu membuatnya gembira, janganlah membuatnya sedih; dan jika Anda tidak memberi pujian kepadanya, janganlah mencelanya.”
Pertanyaannya, mengapa orang berpuasa tidak melahirkan tindakan sosial yang baik? Atau mengapa salat yang dilakukan membuatnya jauh dari-Nya? Ini disebabkan melamunnya seseorang dalam melakukan aktivitas ibadahnya. “Siapa yang salatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka tiada bertambah baginya kecuali semakin jauh dari Allah”. Demikian sabda Nabi Muhammad.
Baik salat maupun puasa, semuanya adalah aktivitas yang memiliki orientasi gerakan yang mengarah pada kebaikan. Dalam keduanya, pendidikan kesetaraan menjadi aspek terpenting. Semua rukun Islam, dari pertama sampai lima, semuanya berlandaskan pada asas kesetaraan. Perbedaan disisi-Nya hanya dalam soal ketakwaan semata. Kata bijak bestari, “manusia bagaikan gigi sisir, seseorang memiliki kelebihan atas yang lainya dalam amal baiknya”. Sebuah pembeda yang cukup berat digapai, kecuali mereka yang melebur dalam segala aktivitas spiritualnya. Mereka yang fokus akan tujuan dan asal-muasal dirinya. Kesadaran ini akan melahirkan bahwa dirinya tidak merasa lebih baik dari yang lain.
Semua manusia berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya. Hal ini menghanguskan kemuliaan semu berdasarkan ras, jenis kelamin, keturunan, pangkat, jabatan dan lain sebaginya. “Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa” (Qs. al-Hujurât [49]: 13). Berdasarkan firman-Nya, manusia laksana bangunan, saling memperkuat dan melengkapi, bukan saling menjatuhkan satu sama lain.
Semua wujud yang ada di muka bumi selain Allah adalah wujud fiktif (wujud khayali). Jangan sampai, keasyikan kita dalam beragama dan beribadah membuat diri kita menihilkan eksistensi dan perbuatan orang lain. Semuanya adalah entitas yang sama: menyembah yang sama dan sama-sama menuju pada-Nya. Walau saat musafir—sebuah pengembaraan di muka bumi, di tengah sebuah perjalanan, terkadang muncul sebuah perubahan dan keadaan tidak menentu—baik karena keterpaksaan maupun kodrati, namun semuanya menuju tempat pemberhentian yang sama. Sebab itu, puasa mengajak kita membangun sesuatu di atas keserasian bukan dibangun atas perbedaan fisik dan biologis.**