Ketimpangan Sosial di Indonesia Salah Satu Faktor Kemiskinan

Ketimpangan Sosial

READ.ID – Kepala Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nawawi M.A mengatakan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat menjadi bagian isu politik.

Hal ini dikatakan Nawawi pada Diskusi Publik yang digelar secara daring, Senin (07/08). Diskusi publik ini digelar oleh Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan dan Perlindungan Sosial pada Pusat Riset (PR) Kependudukan, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH).


banner 468x60

“Ketimpangan sosial adalah bagian dari isu politik dan bukan persoalan kapasitas manusia. Ini hal yang sangat menarik untuk didiskusikan, bagaimana kita mengetahui tentang ketimpangan sosial dan kita peduli terhadap data-data tersebut sehingga mencari solusi khususnya di Indonesia,” kata Nawawi.

“Diskusi ini sangat penting karena terkait dengan pembicaraan tentang ketimpangan global. Sebab itu, BRIN menghadirkan para pembicara asing yang akan menyampaikan data atau informasi penting terkait problematika ketimpangan sosial dan kemiskinan ekstrem di Indonesia,” jelasnya.

Nawawi mengaku sangat mendukung acara tersebut dengan harapan bisa memperoleh masukan baru dari para narasumber terkait laporan ketimpangan global dan bagaimana merespon persoalan yang terjadi khususnya di Indonesia.

Koordinator dari Post Doctoral Fellow in Economics at NYU Abu Dhabi – The World Inequality Lab South & South East Asia Region Nitin Bharti, paparan tentang dinamika ketimpangan global dan ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Tema tersebut diambil dari Laporan Ketimpangan Dunia Tahun 2022.

Nitin menyampaikan sebuah angka ketimpangan global berdasarkan grafik pendapatan rata-rata di seluruh wilayah dunia tahun 2021. Dalam laporan tersebut kawasan Amerika Utara menempati peringkat tertinggi sebesar 315% dari rata-rata pendapatan masyarakat dunia, lalu kawasan Afrika menempati urutan terbawah, yaitu sebesar 31%.

Sedangkan Kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menempati urutan kedua bawah, dari pembagian delapan kawasan dunia atau sedikit di atas Afrika, yaitu sebesar 50%. Di bawah Amerika Utara ada Eropa sebesar 215%, lalu disusul Asia Timur sebesar 117%. Dari besarnya prosentase tersebut, betapa besar terjadinya ketimpangan sosial ekonomi diantara negara-negara yang terbagi dalam kawasan tersebut.

Lebih lanjut Ritin mengatakan, ketimpangan pendapatan dan kekayaan saat ini sangat besar, 10% orang terkaya yang merupakan populasi global saat ini mengambil 52% dari pendapatan global. Sedangkan yang termiskin, di mana dengan jumlah populasi setengah dari populasi dunia, hanya menghasilkan 8,5% dari pendapatan global.

Menurutnya, tingkat ketimpangan dalam suatu masyarakat pada dasarnya adalah hasil dari pilihan politik. Karena hal tersebut akan menentukan  bagaimana masyarakat memutuskan untuk mengatur ekonominya. Menurut pendapatnya juga, negara-negara berada pada tingkat pendapatan rata-rata dan ketimpangan yang berbeda. Karena masing-masing negara punya jalan berbeda di dalam mengatur perekonomian, maka studi jangka panjang berdasarkan negara adalah sangat penting.

Sementara pembicara dari Fakultas Ekonomi Thammasat University Bangkok, Thailand, Thanasak Jenmana menjelaskan ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia. Thanasak menjelaskan dari cuplikan data yang diambil pada tahun 2021, di mana pendapatan nasional rata-rata penduduk dewasa adalah $11.700, dengan 10% teratas memiliki penghasilan 19 kali lipat daripada yang 50% terbawah. Bagian 1% teratas sebanyak 18,3%, dengan 10% teratas sebesar 48% dan bagian tengah 50% sebesar 12,4%. Dengan demikian masih terjadi ketimpangan yang sangat besar dari segi penghasilan masyarakat.

Dari presentasi tersebut, dia memperkirakan sebuah tantangan berupa ketimpangan ada di mana-mana tetapi masih belum tercantum pada statistik publik, terutama terkait distribusi pendapatan dan pertumbuhan kekayaan, heterogenitas data, dan kurangnya standar umum.

“Kita harus mengembangkan sistem data publik yang sesuai dengan tantangan abad ke-21. Untuk itu perlu melakukan kemitraan dengan lembaga akademik. Dengan demikian, agen memainkan peran penting dalam pengumpulan/akses data,” tuturnya.

Sehingga, para akademisi harus dapat berkontribusi lebih banyak untuk pengukuran ketimpangan. Ini perlu dialog untuk terus meningkatkan estimasi ketimpangan.

Sementara itu Nurma Midayanti, Direktur Statistik Ketahanan Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan ketimpangan dan hubungannya dengan kemiskinan di Indonesia. Dia menjelaskan mulai dari distribusi penduduk Indonesia yang berjumlah 276 juta dengan GDP 5.000 trilyun rupiah. Di mana 55,98 % tersebar di pulau Jawa dengan share of GDP 57,17 %. Sedangkan sebaran penduduk terkecil berada di pulau Maluku dan Papua sebesar 2,78 % dengan share GDP 2,45 %.

Dengan sebaran penduduk dan juga GDP yang tidak merata tersebut berakibat terjadinya ketimpangan kondisi sosial ekonomi. Nurma juga menyampaikan data, di mana kemiskinan di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 9,36%. Memang terjadi perbedaan metodologi pengukuran kemiskinan antara BPS dengan Bank Dunia. Namun BPS tetap menggunakan angka tersebut. Karena di Indonesia ada ukuran kemiskinan lain yang tidak hanya mempertimbangkan kemiskinan ekstrem, tetapi juga kemiskinan secara keseluruhan.

Diskusi publik ini juga membahas masalah ketimpangan iklim sebagaimana disampaikan Marlis Afridah, selaku pendiri dan peneliti Green Network Asia. Ia memaparkan makalah berjudul Ketimpangan Iklim, diambil dari sumber terkini, yaitu Laporan Ketimpangan Iklim 2023. Dia menyampaikan informasi yang bersumber dari World Bank Photo Statista, di mana berdasarkan data tersebut lima belas besar negara penyumbang emisi didominasi oleh negara-negara kaya seperti Arab Saudi dan USA. Masing-masing 17,6 metric ton CO2, lalu Canada sebesar 15,7, Australia sebesar 14,9, dan ke-15 adalah China 6,4.

Marlis, dalam paparannya menyampaikan data, bahwa hanya 100 perusahaan yang bertanggung jawab lebih dari 70% dari greenhouse gas emissions sejak 1988. Juga terungkap bahwa sepuluh persen orang terkaya bertanggung jawab atas 49% gas emisi. Secara lebih rinci, dia menjelaskan dampak dari perubahan iklim dan bagaimana kesiapan kota-kota di dunia untuk menghadapi terjangan gelombang panas.

Seperti yang terjadi di desa pesisir Pantai Thailand yang tenggelam akibat naiknya permukaan laut. Demikian juga banjir yang terjadi di Pakistan akibat mencairnya gletser. Peningkatan frekuensi kekeringan yang sering terjadi di berbagai belahan dunia juga akibat dari perubahan iklim. Hujan ekstrim di China jugas membuat Goa Mogao banjir besar, sehingga menurunnya keanekaragaman hayati di Australia.

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60