READ.ID – Dalam beberapa tahun terakhir, event seperti Gorontalo Half Marathon, UNG Marathon, Pohuwato Marathon, hingga event lari di berbagai daerah maupun yang dilaksanakan oleh komunitas lari di Gorontalo, telah berhasil menyedot ribuan peserta dari berbagai penjuru daerah dan dalam negeri. Sebuah lanskap sosial baru terbentuk, diwarnai jersey warna-warni, sepatu Adizero yang lagi tren, semangat pagi, dan poster sponsor di berbagai sudut kota.
Namun ketika euforia itu reda, kita dihadapkan pada pertanyaan yang lebih esensial. Untuk siapa dan untuk apa kita berlari? Apakah langkah kaki yang riang itu membawa perubahan berarti, ataukah ia hanya menjadi perayaan sesaat di tengah struktur sosial yang tak berubah? (Funco Tanipu, Fun Run di Tengah Kemiskinan Struktural Gorontalo, Simbolisme yang Terlepas dari Realitas, Utinews,id, Juli 2025)
Fenomena ini seakan menegaskan: Gorontalo sedang berlari, secara harfiah. Namun pertanyaannya: kita sedang berlari ke mana?
Event-event ini memang semarak. Fotoyu viral. Seremonialnya meriah. Tetapi ketika dilihat dari ketinggian sosial-ekonomi, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Provinsi ini masih berada dalam sepuluh besar provinsi termiskin di Indonesia. Tingkat pengangguran terbuka 3,12% (Februari 2025), dan lebih dari 62% warga bekerja di sektor informal, dengan mayoritas pendidikannya hanya sampai SMP. Dalam kondisi seperti ini, event lari berisiko menjadi pelarian simbolik dari kemiskinan struktural—sebuah ruang yang indah namun melayang, tanpa kaki di bumi realitas. (Funco Tanipu, Lari Yang Tidak Sekedar Berlari, Definitf,id, Juni 2025)
Namun bukan berarti panggung maraton harus dimatikan. Sebaliknya, justru di sanalah letak tantangannya: bagaimana menjadikan semangat lari itu sebagai jembatan menuju transformasi ekonomi yang nyata. Bagaimana menjahit euforia dengan struktur, dan mengubah perayaan menjadi perputaran nilai. Lari tidak boleh hanya menjadi simbol, tapi juga alat. Aktifitas harus bisa mengalirkan manfaat, menurunkan angka kemiskinan, dan menciptakan kerja-kerja baru bagi warga di pinggiran kota dan desa.
Tetapi kita tidak perlu terpaku pada dikotomi “event atau tidak event”. Justru pertanyaannya adalah: bisakah event seperti maraton ini menjadi alat intervensi sosial dan ekonomi yang konkret?
Jawabannya: bisa. Tapi dengan catatan besar, jika dikelola secara holistik dan berbasis partisipasi masyarakat.
Event Lari Sebagai Soft Tourism
Gambaran diatas bukan sebuah utopia. Banyak kota di daerah lain seperti Bali, Yogyakarta, dan juga di berbagai belahan dunia lain berhasil menjadikan event lari sebagai pemantik ekonomi lokal. Kuncinya bukan pada skala, tetapi pada desain. Bayangkan jika rute maraton tidak hanya melintasi jalan utama kota, tapi melebar hingga ke pasar tradisional, perkampungan nelayan, atau jalur sejarah yang menyimpan cerita Gorontalo lama. Setiap kilometer menjadi panggung yang memperkenalkan budaya, kuliner, dan kehidupan lokal. Pelari tidak hanya mengejar waktu, tapi juga pengalaman.
Bayangkan jika rute lari tidak lagi melulu melewati jalan utama kota, tapi diarahkan ke kawasan pesisir, desa-desa yang punya keunikan arsitektur, pasar tradisional, dan situs sejarah. Sepanjang lintasan, pelari disuguhi bukan hanya minuman isotonik, tapi juga narasi budaya, mural-mural warga, musik lokal, bahkan suguhan kuliner di water station. Peserta tidak sekedar mengejar waktu tempuh, peserta justru “mencicipi” Gorontalo dari dekat.
Gorontalo memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan ikon budaya yang berderetan bisa dijadikan rute berlari, misalnya rute mengelilingi lingkaran danau bisa melewati benteng Otanaha, Makam Bapu Ju Panggola, pendaratan Presiden Soekarno, di seberang danau ada Air Panas Pentadio hingga jalan pedesaan asri di sekitar danau.
Bisa juga ada rute dari Kota Gorontalo menyusuri pesisir melalui Hiu Paus Botubarani, pantai Botutonuo hingga Olele. Termasuk desain rute lain yang lebih luas ke daerah perbukitan di Dulamayo dan sekitarnya.
Potensi yang dimiliki event lari seperti ini sesungguhnya luar biasa. Di era pariwisata berbasis pengalaman (experience economy), lari bukan hanya soal olahraga, tapi sebuah bentuk “soft tourism”: aktifitas berlari yang berbasis keterlibatan emosional dan fisik di ruang lokal.
Tentu saja hal ini bukan hal baru. Beberapa kota kecil di Eropa dan Jepang telah menjadikan maraton sebagai jalan revitalisasi wilayah desa dan ruang pinggiran. Dengan pendekatan “larian berjiwa lokal”, event menjadi pintu masuk wisata berkelanjutan yang tidak mengeksploitasi, tetapi menghidupkan.
Dalam kerangka itu, event lari harus dimaknai sebagai bagian dari strategi soft tourism. Sebuah pendekatan wisata yang tidak bertumpu pada pembangunan besar-besaran, tapi pada pertemuan yang lembut antara ruang lokal dan pengunjung. Setiap pelari dari luar daerah adalah peluang ekonomi. Ia butuh tempat menginap, makanan khas, oleh-oleh, dan kenangan. Di sinilah pelaku UMKM lokal seharusnya hadir, bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai aktor utama. Stand makanan khas, kerajinan tangan, dan produk-produk lokal harus dikurasi dan difasilitasi untuk tampil dalam orbit event. Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya menyambut sponsor besar, tapi juga menyusun peta keterlibatan pelaku ekonomi kecil.
Kehadiran event lari juga bisa menjadi jalan baru bagi transformasi ruang pinggiran. Dengan rute yang menyebar dan bergilir di setiap wilayah, desa-desa yang selama ini terpinggirkan dalam peta pembangunan bisa mendapat giliran menjadi pusat perhatian. Anak-anak muda desa dilibatkan sebagai panitia, dokumentator, atau pemandu lokal. Warung-warung kecil hidup kembali, rumah warga disulap menjadi penginapan sementara. Bahkan sekolah-sekolah bisa menjadi titik kumpul dan pameran kecil.
Ekonomi Mikro dalam Arena Lari
Sayangnya, banyak dari event lari hari ini lebih banyak menguntungkan dua aktor besar: event organizer (EO) dan jaringan sponsor besar. UMKM lokal lebih banyak ditempatkan sebagai pelengkap, bahkan kadang tersisih oleh vendor luar yang lebih terorganisir. Ini yang harus diubah, yakni bagaimana sekitar 62 % pekerja di sektor informal di Gorontalo lambat laun bisa beralih menjadi pekerja sektor formal yang hal tersebut dikarenakan oleh event lari yang didesaian secara holistik.
Jika kita simulasikan dalam satu event maraton, dengan perkiraan tiga ribu peserta, potensi transaksi langsung bisa mencapai hampir satu miliar rupiah. Itu belum termasuk dampak lain yang muncul dari penginapan, transportasi, dan belanja lanjutan. Dengan pendekatan yang menyeluruh, multiplier effect dari satu akhir pekan saja bisa menembus angka satu setengah miliar. Bagi daerah kecil seperti Gorontalo, angka itu bukan sekadar statistik, tapi denyut ekonomi baru.
Namun semua ini hanya akan menjadi mimpi jika tidak diletakkan dalam kerangka kebijakan yang utuh. Pemerintah daerah perlu bergerak melampaui seremonial. Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Koperasi dan UMKM, hingga Bappeda harus duduk bersama menyusun kerangka kerja lintas sektor dalam satu roadmap lari agar lahir kebijakan komprehensif dan holistik, bukan sekedar kebijakan parsial, asal jadi dan hanya menjadikan “aji mumpung” jika aktifitas lari adalah semacam FOMO.
Event tidak bisa lagi sekadar agenda tahunan, tapi bagian dari strategi pembangunan daerah yang menyentuh ekonomi mikro. Setiap kegiatan harus memiliki pra-event dan pasca-event yang jelas. Ada pelatihan untuk UMKM, pameran bagi produk lokal, hingga laporan dampak yang dipublikasikan secara transparan.
Kuncinya adalah melibatkan masyarakat sejak awal. Tidak cukup hanya menjadikan warga sebagai penonton atau penggembira. Mereka harus dilibatkan dalam perencanaan, penyusunan rute, logistik, hingga pengelolaan ruang usaha. Pemerintah perlu mengatur agar vendor dari luar tidak mendominasi, dan memberi ruang afirmatif bagi pelaku ekonomi lokal. Dengan begitu, event menjadi milik bersama, bukan hanya panggung elite atau EO ternama.
Lari memang tak akan serta merta menyelesaikan kemiskinan struktural. Tapi jika dikelola dengan arah dan keberpihakan, ia bisa menjadi percikan kecil yang menyulut api perubahan. Dalam lari, ada semangat, daya juang, dan keberanian untuk melampaui batas. Maka tugas kita adalah memastikan bahwa semangat itu tidak hanya berputar di arena, tapi mengalir ke warung-warung kecil, dapur UMKM, dan harapan para pekerja sektor informal.
Dalam rangka menjadikan event lari sebagai pemantik ekonomi rakyat, pemerintah daerah perlu melangkah lebih jauh dari sekadar penyelenggaraan acara. Dibutuhkan sebuah pendekatan ekonomi yang inklusif, menyeluruh, dan berpihak pada pelaku usaha lokal. Pendekatan itu tidak bisa bersandar hanya pada mobilisasi massa atau branding semata, melainkan harus hadir dalam bentuk kebijakan yang mengakar—yang memberi ruang, keterampilan, dan peluang nyata bagi warga untuk terlibat dan tumbuh bersama momentum tersebut.
Pertama, hal yang sangat krusial adalah kurasi terhadap UMKM lokal. Mereka tidak cukup hanya diundang sebagai pelengkap di pinggir arena. Justru sebaliknya, stand UMKM harus ditempatkan di pusat keramaian event, menjadi bagian dari pengalaman utama yang ditawarkan kepada peserta dan penonton. Produk-produk lokal, dari makanan khas, kerajinan tangan, hingga merchandise olahraga berbasis komunitas, perlu dikemas sebagai narasi ekonomi yang otentik—yang menjadikan lari sebagai gerbang untuk mengenal dan membeli Gorontalo.
Kedua, keterlibatan UMKM tidak cukup hadir hanya di hari-H. Pemerintah perlu menginisiasi kegiatan pra-event yang konkret, salah satunya dengan menyelenggarakan pasar rakyat tematik beberapa waktu sebelum hari pelaksanaan. Dalam ruang ini, pelajar, mahasiswa, komunitas, koperasi merah putih, serta pelaku ekonomi kreatif bisa saling berinteraksi dan memperkenalkan produknya lebih awal kepada publik. Market day ini menjadi titik temu antara semangat lokal dan antusiasme event, sekaligus ajang uji coba produk dan strategi promosi yang bisa digunakan di hari puncak. Kegiatan Pasar Ambuwa yang konsisten dilaksanakan oleh Hardistk (komunitas kreatif Gorontalo) pada setiap bulan di daerah Tapa dengan menggandeng warga secara partisipatif adalah best practices “market day” yang bisa direplikasi dalam skema kebijakan pemerintahan.
Ketiga, di sisi lain, agar UMKM benar-benar siap memanfaatkan momentum, pelatihan teknis yang singkat dan terarah menjadi kunci. Dinas Koperasi dan Dinas Perdagangan harus proaktif menyelenggarakan pelatihan yang menyentuh aspek-aspek praktis seperti kemasan produk, penggunaan e-money, dan cara bercerita atau storytelling yang memikat konsumen modern. Ini bukan sekadar penguatan kapasitas teknis, tetapi juga penanaman mental usaha yang adaptif terhadap tren event ekonomi masa kini.
Dengan merajut ketiga elemen tersebut—kurasi produk, pra-event yang partisipatif, dan pelatihan yang terstruktur—event lari tidak lagi berdiri sebagai perayaan eksklusif. Ia menjelma menjadi ruang kolaborasi yang mempertemukan antara langkah kaki dan denyut ekonomi rakyat. Dalam irama lari, masyarakat bukan hanya berlari mengejar garis akhir, tapi juga masa depan yang lebih mandiri dan berdaya.
Menghitung Dampak Ekonomi, Air Fun Run Sebagai Contoh Simulasi
Karena itu, mari kita coba simulasikan optimisme menjadi sesuatu yang tidak berhenti pada optimisme kosong. Kita bisa mengukur secara kasar dampak ekonomi dari satu event lari jika dikelola dengan serius dan lokal-sentris. Sebagai contoh adalah event Air Fun Run yang akan dilaksanakan pada bulan Juli ini.
Dalam gelaran Air Fun Run yang jika dilaksanakan dengan semangat kolaboratif, maka sesungguhnya event ini sedang memperlihatkan potensi baru dalam menciptakan denyut ekonomi rakyat dari sebuah peristiwa olahraga yang tampaknya sederhana. Di balik ribuan peserta yang memadati ruas-ruas jalan, ada pergerakan uang, kerja, dan harapan yang tak bisa dilihat hanya dari garis start dan finish.
Simulasi ini bisa dimulai dari menghitung total peserta yang terlibat dalam kegiatan ini mencapai 3.459 orang. Di antara mereka, tercatat 434 orang berasal dari kalangan aparatur sipil negara Pemkot Gorontalo, 350 orang dari komunitas lari, dan 2.175 orang dari peserta umum. Dari jumlah tersebut, bisa kita asumsikan sekitar 500 orang berasal dari luar daerah, membawa serta potensi ekonomi yang lebih luas, mulai dari kebutuhan penginapan, konsumsi, hingga belanja oleh-oleh.
Dengan asumsi rata-rata pengeluaran peserta lokal mencapai Rp. 150.000, maka total belanja yang berputar dari kalangan ini menembus angka lebih dari Rp. 443 juta. Sementara peserta dari luar daerah, yang umumnya tinggal selama satu setengah hari, menciptakan sirkulasi ekonomi tambahan sekitar Rp.150 juta hanya dari kebutuhan dasar selama mereka tinggal di kota ini.
Di sisi lain, geliat ekonomi rakyat tampak nyata misalnya keterlibatan sekitar 150 UMKM lokal yang diberikan ruang di arena event. Selama dua hari pelaksanaan, setiap pelaku usaha diperkirakan mampu mengantongi pendapatan rata-rata Rp. 2 juta, menjadikan total transaksi UMKM menembus angka Rp. 300 juta. Angka-angka ini, meskipun bersifat estimatif, memberikan gambaran jelas bahwa event semacam ini bukan hanya soal kebugaran tubuh, tetapi juga soal bagaimana ekonomi kecil bisa bernafas dan bergerak.
Jika seluruh sirkulasi belanja dari peserta lokal, tamu luar daerah, dan UMKM dihimpun, total dampak ekonomi langsung dari kegiatan ini mencapai sekitar Rp. 894 juta. Namun di balik itu, terdapat pula dampak berantai yang lebih luas. Ini bukan lagi semata-mata angka statistik, tetapi bukti bahwa event publik mampu menjadi ruang pertemuan antara olahraga dan keadilan ekonomi.
Di balik layar, ratusan tenaga kerja terlibat dalam bentuk kerja temporer yang mendadak terbuka. Ada petugas teknis yang mengatur rute dan keamanan, kru kreatif fotografi yang mendokumentasikan peristiwa, pemilik warung dan penginapan yang mendapat tamu tambahan, hingga relawan lokal yang menjaga pos-pos air dan logistik. Setidaknya lima ratus orang ikut terlibat secara langsung, dengan sebagian besar berasal dari kalangan non-formal dan komunitas warga. Keterlibatan ini tidak hanya menambah pemasukan rumah tangga mereka, tetapi juga memperkuat jejaring sosial dan rasa kepemilikan terhadap ruang kota.
Dari semua ini, jelas terlihat bahwa simulasi dampak ekonomi Air Fun Run telah membuka ruang bagi model pembangunan yang tidak hanya ditopang oleh proyek fisik besar, tetapi oleh ritme sederhana yang datang dari tubuh-tubuh yang bergerak dan semangat kolektif yang hidup. Ketika event dikelola dengan visi kerakyatan dan skema partisipatif, maka ia tidak berhenti sebagai selebrasi semata, tetapi menjelma sebagai jalan baru menuju ekonomi yang lebih adil dan berpihak. Kota ini sedang berlari bukan hanya untuk sehat, tapi juga untuk hidup yang lebih seimbang. Angka ini bisa meningkat signifikan jika promosi wisata dikombinasikan dengan paket tur budaya dan kolaborasi digital.
Merumuskan Skema Kebijakan Komprehensif
Dalam membayangkan masa depan pembangunan daerah yang lebih adil dan partisipatif, event lari seperti fun run atau maraton tidak bisa lagi ditempatkan sekadar sebagai agenda hiburan tahunan. Ia harus tumbuh menjadi alat kebijakan yang strategis, sebuah instumen baru yang menyatukan dimensi olahraga, ekonomi, pariwisata, kebudayaan, dan pembangunan kawasan dalam satu lintasan yang terarah.
Dalam perumusan kebijakan yang komprehensif, langkah pertama yang harus dibangun adalah kesadaran bahwa event bukan domain eksklusif Dinas Pariwisata atau Pemuda dan Olahraga saja. Penyusunan dan pelaksanaan kegiatan ini mesti dimulai dari sebuah meja koordinasi terpadu lintas institusi. Dinas Pariwisata, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perdagangan, serta Bappeda harus duduk bersama sejak tahap paling awal: menyusun blueprint event ekonomi-partisipatif berbasis ruang dan komunitas. Bukan hanya soal jadwal, tetapi menyusun sistem, mekanisme, indikator dampak, serta distribusi peran secara presisi dan terukur. Tanpa hal ini, event hanya akan menjadi repetisi seremonial yang lepas dari agenda strategis pembangunan jangka menengah daerah.
Namun sistem tidak akan hidup tanpa desain yang inklusif. Karena itu, pendekatan yang partisipatif menjadi fondasi utama. Komunitas pelari, pemuda, mahasiswa, karang taruna, kelompok kreatif, hingga tokoh-tokoh masyarkat dan pegiat UMKM harus menjadi bagian dari tim perancang, bukan sekadar penonton atau eksekutor teknis di lapangan. Forum perencanaan bersama ini memberi ruang agar setiap elemen sosial turut menyumbang ide, narasi, dan model pelibatan yang relevan dengan konteks lokal masing-masing. Dengan demikian, event lari bukan hanya soal tubuh yang bergerak, tapi juga soal suara warga yang mendapat tempat.
Agar manfaatnya tidak terkonsentrasi di satu wilayah atau kelompok tertentu, penyelenggaraan event perlu dirancang sebagai bagian dari ekosistem berbasis kawasan. Rute dan lokasi event harus digilir dan dipetakan secara adil: dari pusat kota, ke kawasan pesisir, ke daerah pegunungan dan desa-desa hinterland. Setiap kawasan akan memiliki giliran untuk menjadi pusat perputaran ekonomi, ruang promosi budaya, serta lokus interaksi sosial. Di sinilah pemerintah harus berani memindahkan pusat-pusat keramaian dari ruang yang selalu itu-itu saja menuju daerah-daerah yang selama ini jauh dari sorotan pembangunan.
Namun partisipasi dan desentralisasi saja tidak cukup. Setelah event berlangsung, harus ada mekanisme evaluasi publik yang terbuka dan sistematis. Pemerintah daerah perlu menyusun laporan dampak yang memuat data konkret: jumlah UMKM yang berpartisipasi, total transaksi ekonomi, perputaran wisatawan, dampak lingkungan, hingga masukan dari komunitas lokal. Laporan ini harus diumumkan secara terbuka melalui platform digital pemerintah atau media daerah, agar masyarakat bisa menilai, mengkritisi, sekaligus ikut menyumbang ide perbaikan. Transparansi ini menjadi elemen penting dalam memastikan bahwa event tidak hanya glamor di media, tapi juga bermakna secara substantif bagi warga.
Agar kebijakan ini benar-benar menyentuh akar, perlu ditambahkan satu pilar lagi yang seringkali terlupakan: pembiayaan yang berkeadilan. Pemerintah daerah perlu menyusun skema insentif untuk mendorong partisipasi pelaku ekonomi kecil dan komunitas marjinal. Ini bisa berupa subsidi stand bagi UMKM pemula, fasilitasi logistik bagi desa yang menjadi tuan rumah, hingga dukungan promosi digital bagi produk lokal. Tanpa intervensi semacam ini, event hanya akan dinikmati oleh mereka yang sudah siap dan kuat secara modal, sementara yang kecil tetap tertinggal di pinggir panggung.
Selain itu, dimensi keberlanjutan juga tidak boleh luput. Pemerintah perlu menyusun roadmap dampak jangka panjang dari setiap event, seperti penciptaan rute lari permanen yang bisa dimanfaatkan warga sepanjang tahun, pendampingan UMKM pasca-event, hingga integrasi kegiatan dengan kalender edukasi dan pelatihan masyarakat. Dengan demikian, setiap event tidak berhenti sebagai kegiatan satu-dua hari, tetapi memiliki ekor panjang yang terus memberi manfaat, bahkan saat banner dan panggung telah dibongkar.
Rangkaian kebijakan ini akan menempatkan event sebagai wahana rekayasa sosial dan pembangunan ekonomi rakyat yang utuh. Kegiatan lari bukan lagi hanya selebrasi, tetapi sistem yang hidup dan berakar. Sebuah sistem yang membuat kota dan desa berlari bersama—bukan untuk menghindari masalah, tetapi untuk meraih masa depan yang lebih adil, lestari, dan manusiawi.
Penutup: Jangan Sekadar Berlari, Tapi Berlari Bersama
Kita tentu saja tidak sedang menolak event lari. Justru kita mengusulkan agar lari dijadikan strategi pembangunan baru berbasis ruang sosial. Lari bisa menjadi cara untuk menyatukan kota dan desa, menghubungkan ekonomi dengan budaya, dan membuka ruang kerja baru yang tak mengandalkan proyek.
Namun itu hanya mungkin jika pemerintah tidak hanya berlari cepat mengejar pencitraan, tapi berlari bersama masyarakat, sejajar dan sepijak. Karena pada akhirnya, maraton yang sejati bukan tentang siapa tercepat mencapai garis akhir, tapi siapa yang memastikan semua bisa sampai bersama dengan sejahtera.
Gorontalo memang sedang berlari. Pertanyaannya bukan lagi seberapa cepat kita melangkah, tapi ke mana arah yang kita tuju. Karena lari sejati bukan soal garis akhir, tapi tentang siapa yang bisa diajak bersama dalam langkah yang adil dan seimbang. Di sanalah maraton pembangunan seharusnya dimulai.
Oleh: Funco Tanipu (Akademisi Universitas Negeri Gorontalo,
Aktif Mengamati Event Running)