Oleh: Funco Tanipu
(Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo)
MUI dalam fatwanya meminta masjid-masjid untuk belum melaksanakan Sholat Jum’at dan kegiatan ibadah lainnya. Di beberapa daerah, banyak pertanyaan hingga perdebatan terkait fatwa ini.
Saya tidak ingin mengomentari terlalu jauh terkait fatwa tersebut. Namun, di tengah kemelut yang terjadi sekarang ini, banyak pelajaran yang bisa kita petik.
Dulu, di zaman Nabi, masjid adalah pusat kegiatan sosial, ekonomi dan pemerintahan, selain sebagai tempat ibadah. Lambat laun, masjid lebih banyak berfungsi sebagai tempat ibadah (sholat, buka puasa, sahur, zikir dsb). Fungsi lain sudah beralih ke lembaga lainnya.
Apa yang saat ini terjadi adalah bagian dari kealpaan kita bersama dalam menata masjid. Kekhawatiran mengenai penyebaran penyakit karena interaksi antar jamaah di dalam masjid menjadi sebab keluarnya fatwa tersebut, sehingga keputusan untuk meniadakan pelaksanaan ibadah selama beberapa waktu dianggap bisa memutus rantai penyebaran virus.
Karena itu, keadaan ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus di masa akan datang. Tulisan ini saya ketengahkan sebagai ikhtiar untuk membangun kelembagaan masjid menjadi lebih kuat.
Beberapa hal yang perlu kita fokuskan yakni mengenai database jamaah masjid. Hingga saat ini, belum banyak masjid yang memiliki database jamaah. Bagi masjid yang memiliki database baru bersifat umum (nama, usia, alamat, pekerjaan). Belum sampai pada hal-hal yang spesifik.
Kedepan, sudah harus dimulai untuk membangun database jamaah masjid secara lebih spesifik, nama, usia, alamat, nomor kontak, akun media sosial, pekerjaan (penghasilan/pengeluaran), rekam medis, tingkat kemampuan bahasa arab, penguasaan fikih, hingga kemampuan dan skill lainnya.
Rincian data ini penting sebab masjid adalah unit terkecil dalam sebuah negara namun karena tidak memiliki badan hukum yang jelas maka tidak memiliki otoritas dalam mengatur dan mengendalikan jamaah (masyarakat), hanya pada taraf anjuran dan imbauan. Pemberian sanksi pun baru sebatas moral dan etik.
Padahal, kelurahan/desa sebagai unit negara memiliki keterbatasan untuk mengelola lingkungan. Sisanya diberikan pada RT/RW itupun dengan skala terbatas.
Kekuatan database masjid penting untuk beberapa hal :
Pertama, database jamaah bisa menjadi bahan analisis untuk membangun kekuatan ekonomi umat yang berbasis masjid. Bagi jamaah yang ekonominya lemah, bisa mendapat subsidi dari yang lebih. Bisa pula dicarikan pekerjaan yang layak atau usaha halal yang bisa ia kerjakan. Fungsi ekonomi juga bisa menggerakan produk-produk jamaah masjid tersebut untuk bisa dijual dan dikonsumsi.
Kedua, database jamaah juga bisa menjadi bahan analisis untuk merumuskan model pendidikan Islam berbasis masjid bagi jamaah, tentu dengan klasifikasi sesuai kemampuan dan tingkat pendidikan. Bagi anak-anak jamaah, bisa ada kegiatan ekskul berbasis masjid. Dibandingkan sebagian pendidikan Islam saat ini terkesan eksklusif hanya untuk golongan tertentu, maka lembaga pendidikan berbasis masjid bisa dibangun dan dikelola secara gotong royong.
Ketiga, database usia dan rekam medis (data ini bersifat rahasia, hanya orang di level tertentu yang tahu) bisa jadi rujukan dan bahan analisis untuk mengklasifikasikan jamaah. Sebagai contoh, pada pandemi Covid-19 yang memiliki kerentanan adalah usia tua dan memiliki penyakit bawaan. Maka, klasifikasi tersebut tidak bisa lagi hadir dalam kegiatan ibadah, karena rentan terinfeksi. Data rekam medis penting agar masjid bisa membangun fasilitas kesehatan yang bisa digunakan oleh jamaah dan warga lainnya. Pengelolaan dan pembangunan pun dilakukan secara gotong royong.
Keempat, database juga memuat riwayat media sosial jamaah untuk bisa menjadi sarana sosialiasi secara digital. Sekaligus wahana dakwah kegiatan masjid bagi netizen media sosial.
Kelima, database juga memuat riwayat alamat (termasuk media sosial) agar bisa mengetahui latar belakang jamaah, dari data itu bisa ditelusuri pula mengenai interaksi ideologis jamaah tersebut apakah pernah terpapar ideologi radikal atau tidak. Jika misalnya pernah terpapar, perlu untuk dilakukan pembinaan secara persuasif.
Database ini tidak sekedar data saja, tapi sebuah big data yang bisa dianalisis oleh sistem kecerdasan buatan (artificial intelegence) yang bisa dintegrasikan dengan basis data pemerintah agar setiap pengambilan keputusan bisa berbasis data.
Sebagai contoh, jika kondisi pandemi terjadi, semua jamaah bisa di tracking interaksinya selama pandemi terjadi. Bagi yang termasuk ODP, PDP, Suspect atau mungkin sebagai Carrier bisa dikarantina dan dilarang berinteraksi di masjid termasuk dilarang melakukan kegiatan ibadah di masjid.
Kemampuan Wuhan bisa membuat landai grafik penyebaran dalam tempo satu bulan karena big data yang kuat dan integratif. Data setiap warga terhubung dengan semua sistem yang ada di Provinsi tersebut sehingga bisa mengisolasi yang terdampak.
Tentu masjid-masjid di masa akan datang mesti disiapkan infrastruktur deteksi virus yang bisa cepat diketahui hasilnya. Sehingga tidak berefek pada kepanikan seperti saat sekarang.
Masjid-masjid di masa akan datang jika mempersiapkan dari sekarang ketahanannya tentu tidak akan sampai menutup dan menghentikan semua kegiatan. Jika misalnya ada yang ditutup sementara itu hanya berlaku pada lingkungan yang levelnya sudah kategori rentan-tinggi. Untuk menentukan level tersebut, tidak bisa diputuskan dengan logika umum, tapi melalui big data analysis yang kuat dan integratif.
Jika hari-hari belakangan ini banyak masjid yang ditutup dan ditunda kegiatan ibadah, hal itu karena kebijakan yang dikeluarkan tidak berbasis pada analisis data yang akurat serta rigid dalam menentukan keputusan.
Tentu jika masjid “masa depan” bisa diwujudkan seperti diatas, maka masjid bisa jadi jalan keluar persoalan, bukan tempat lari dari persoalan. Masjid masa depan bisa jadi pusat semua kegiatan, seperti masjid di era Nabi silam.
Tulisan ini semata-mata adalah bagian dari ikhtiar untuk membangun kelembagaan masjid yang sustainable dalam situasi apapun.****