banner 468x60

Membuka “Ruang Perjumpaan” Tionghoa dan Etnis Lain

banner 468x60

READ.ID,- Bagi muslimah berjilbab seperti Lisna Siti Ratnasari, pergi ke rumah ibadah Khonghucu Kong Miao Bandung adalah pengalaman menantang. Dia bisa bertemu dengan komunitas Tionghoa dan mengecek anggapan yang dia yakini sejak kecil.

“Mindset aku masih terkekang di ‘kamu muslim dan yang non-Islam itu musuh kita.’ Cuma dari aku kecil sampai aku lulus SMA Aku punya mindset seperti itu,” jelasnya kepada VOA di Kong Miao.

Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung ini mengatakan hanya mendengar soal Tionghoa dari orang lain. Lama-kelamaan dia ingin membuktikan anggapannya secara langsung. Beruntung, dia dapat kesempatan dengan ikut kegiatan lintas-iman.

Sementara bagi remaja Tionghoa, Sianita Devi, dia merasa perbedaan perlakuan masih ada. Namun dia memilih tidak menghiraukannya.

“Kuliah tuh sekelas yang Tionghoa cuma dua. Beberapa dosen malah masih ada yang gimana ya… beda. Ke anak ini mah gini, ke anak ini mah gini, kisah mahasiswi Universitas Komputer Indonesia (Unikom) ini.

Ketika ditanya bagaimana Devi menyikapi situasi tersebut, dia menjawab,”Biasa aja. Bawa santai aja sih.”

Lisna dan Devi adalah sama-sama panitia diskusi “Strategi Pembauran Indonesia” yang digelar di Bandung, Selasa (4/12) malam. Acara yang digelar kelompok lintas-iman ini berupaya menjadi ruang dialog.

Segregasi Tionghoa dan Etnis Lain Sejak Penjajahan

Dalam acara ini, Pegiat Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori mengatakan, pemisahan antara Tionghoa dan etnis lain sebenarnya sudah dimulai sejak zaman penjajahan. Sejarah itu yang berimbas sampai sekarang.

“Kompeni ingin menjajah Indonesia dan melihat realitas bahwa Tionghoa dan Jawa pribumi itu punya relasi yang sangat kuat. Maka satu-satunya cara yang dilakukan oleh kompeni itu memisahkan keduanya dan terus mengadu domba,” jelasnya saat diskusi ‘Strategi Pembauran Indonesia’.

“Ini saya kira warisan yang perlu disadari bersama-sama. Bahwa sesungguhnya kebencian orang di luar Tionghoa, katakanlah dari orang Muslim kepada Tionghoa, itu bentukan dari masa lalu,” tambahnya.

Riset Wahid Foundation pada 2016 menunjukkan etnis Tionghoa menjadi satu kelompok yang dibenci oleh sebagian kelompok muslim Indonesia. Riset di 34 provinsi terhadap 1.520 responden itu menyebutkan sebanyak 59,9 persen responden memiliki kelompok yang dibenci, meliputi agama non-muslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan lainnya. Dari 59,9 persen itu, sebanyak 82,4 persennya tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Menurut Aan, cara untuk menghancurkan sekat sosial ini adalah dengan mempertemukan kelompok Tionghoa dan etnis-etnis lain. Dengan demikian, orang-orang bisa mengonfirmasi stigma yang selama ini dia pegang.

“Kita harus berupaya mendekati orang-orang yang berpikir seperti itu dengan cara menghadirkan orang-orang (yang berbeda) ini. Dengan kehadiran itu, saya kira orang akan berpikir dua kali. ‘Oh ternyata dia tidak seperti yang saya pikirkan, orang Kristen tidak sejahat yang saya pikirkan, orang berkalung salib tidak sejahat yang saya pikirkan’. Itu tidak bisa dikhotbahkan, itu harus dialami secara langsung,” jelas pegiat Jaringan Gusdurian ini.

Kelompok Sipil Bandung Upayakan Pembauran

Sejumlah kelompok masyarakat sipil di kota Bandung telah berupaya meleburkan batas sejak 2013. Hal ini dilakukan lewat tur malam Imlek dan kawasan Pecinan Bandung yang rutin digelar. Selain itu, terdapat sejumlah diskusi dan bedah buku yang sengaja digelar di Pecinan, seperti diskusi malam itu.

Koordinator Jaringan Kerja Antar-umat Beragama (Jakatarub), Risdo Simangunsong, mengatakan acara ini menjadi kesempatan bagi orang untuk bertemu dengan orang yang berbeda latar belakang.

“Ini perjumpaan-perjumpaan yang saya kira bagi kebanyakan orang bahkan tidak pernah dibicarakan dalam keseharian, dalam pertemuan mereka sehari-hari, mungkin juga nggak pernah tahu soal itu, juga jarang membaca soal itu. Itu momen-momen yang kami perkirakan sangat berharga,” jelasnya.

Risdo mengatakan, banyak peserta kegiatan yang baru pertama kali bertemu orang Tionghoa dan akhirnya mengubah anggapannya. Di sisi lain, komunitas Tionghoa juga jadi semakin aktif mengajak masyarakat luas mengunjungi rumah ibadahnya.

“Jadi banyak yang konfirm baru bertemu pertama kali dan akhirnya mengalami perubahan paradigma jauh lebih memahami rekan-rekan tionghoa. Di sisi lain rekan-rekan pemilik rumah ibadah dan juga orang-orang yang kita ajak berdiskusi dan sharing, mereka juga akhirnya punya semangat untuk mengajak teman-teman luar untuk datang,” ujarnya.

“Beberapa rumah ibadah bisa menyediakan tempat yang cukup luas. Ada beberapa yang bahkan menyediakan tempat sholat. Itu sesuatu yang sifatnya personal. Di sisi lain, peminatnya cukup banyak, tiap tahun selalu bertambah, selalu banyak yang meminati,” pungkasnya lagi.

Aan Anshori sendiri telah menginisiasi penerbitan buku “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia” yang terbit pada Maret 2018 ini. Buku ini ditulis 72 orang dari berbagai etnis dan latar belakang yang mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai orang Tionghoa atau bergaul dengan orang Tionghoa. Sementara di Tangerang, orang dari Aceh membangun “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa” pada 2011 yang berisi 300.000 koleksi buku.

Lewat upaya-upaya seperti ini, Lisna berharap, semakin banyak orang yang mau bertemu dengan komunitas lain untuk mengkonfirmasi prasangka.

“Nggak pernah mengalami sendiri, tapi masih denger kunyahan orang. Aku mikir lagi kayaknya nggak enak yah kita makan hasil kunyahan orang,” harapnya.

Sementara bagi Devi, setiap orang perlu membuka pikirannya sebelum bertemu dengan komunitas berbeda. “Kalau misalnya dari orangnya menutup pikirannya buat terbuka sama orang lain, kan percuma juga. Jadi balik ke orangnya masing-masing sih,” pungkasnya.*****

Sumber: VOA Indonesia

 

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60

Leave a Reply