Musik Mengalun Uang Berputar: Ekonomi Gorontalo Bangkit di Tengah Sorotan

READ.ID,- Di tengah gemerlap lampu panggung dan dentuman bass yang menggema dari Lapangan Taruna Remaja, ada denyut lain yang tak kalah menggelegar: perputaran uang. Konser rakyat yang digelar Pemerintah Kota Gorontalo untuk memperingati HUT ke-297 bukan sekadar pesta telinga, tapi juga pesta ekonomi mikro.

Desi, seorang penjual makanan ringan, sibuk menakar es buah ketika kami menghampirinya. Tangan kanannya mengaduk, tangan kirinya menghitung kembalian. Di depannya, antrean pembeli tak kunjung surut.

“Biasanya kalau jualan sore cuma dapat seratus-ratus ribu. Ini belum jam sepuluh malam, sudah lewat satu juta,” katanya dengan mata berbinar.

Ia bukan satu-satunya. Puluhan pedagang kecil dari berbagai sudut Kota Gorontalo dan sekitarnya mengakui lonjakan omzet malam itu. Ada yang jualan habis, ada yang bahkan membuka lapak tambahan di tengah keramaian. Konser rakyat, dalam sudut pandang mereka, bukan soal artis ibu kota atau nostalgia lagu-lagu lawas—tapi soal dapur yang mengepul, dan barang dagangan yang laris.

Antara Hiburan dan Kebijakan Fiskal

Gelaran konser ini sempat menuai kritik. Seorang aktivis muda, Rolan Abdulah, mempertanyakan urgensi konser dalam konteks efisiensi anggaran yang digaungkan Presiden Prabowo. Tapi bagi Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, konser justru merupakan bentuk efisiensi yang berdampak langsung.

“Efisiensi sudah kita lakukan. Tapi, bukan berarti ada efisiensi, kemudian kita tidak bisa memberikan hiburan kepada masyarakat. Minimal setahun sekali,” ujarnya kepada media, usai konser (15/4).

Menurut Adhan, kebijakan fiskal tak melulu soal pemotongan—tapi soal arah dan dampaknya. Dana yang dialihkan dari pos perjalanan dinas, misalnya, digunakan untuk penanganan sampah dan kegiatan yang berdampak luas, seperti konser rakyat ini.

Sirkulasi Ekonomi dan Narasi yang Jarang Diangkat

Ketua Tim Komunikasi Wali Kota, Hadi Sutrisno, menyebut konser ini bagian dari strategi mempercepat sirkulasi ekonomi daerah. Dan memang, fakta lapangan memperlihatkan geliat ekonomi lokal yang masif, walau dalam skala harian.

“Coba lihat pedagang makanan, jasa parkir, penyewa tenda, hingga pemilik kos-kosan yang tamunya datang dari luar kota. Ini bukan acara seremonial. Ini aktivitas ekonomi,” ujar Hadi.

Ia juga mengungkapkan, sektor jasa dan perdagangan memang menjadi tulang punggung ekonomi Kota Gorontalo. Maka, menciptakan momen berkumpul massal yang bisa mendorong belanja masyarakat adalah salah satu langkah untuk menjaga agar roda ekonomi tetap bergerak.

Konser itu menjadi titik temu antara hiburan dan perencanaan ekonomi. Tanpa harus membangun infrastruktur besar, tanpa perlu mengundang investor asing, sirkulasi uang bisa dibentuk dengan cara yang sederhana: menyediakan ruang bagi rakyat untuk bergerak, berkumpul, dan belanja.

Di Balik Euforia, Ada Tantangan Berkelanjutan

Namun pertanyaan penting tetap mengemuka: apakah model ini berkelanjutan? Konser bisa menciptakan perputaran ekonomi dalam satu malam, tapi bagaimana dengan keesokan harinya?

Di sinilah peran pemerintah diuji. Bukan hanya soal mendatangkan keramaian sesaat, tetapi soal bagaimana energi itu dijaga agar tak padam. Salah satunya dengan menciptakan ekosistem pasar yang inklusif, memfasilitasi pelaku UMKM naik kelas, dan memberi panggung lain di luar panggung musik.

Karena jika benar konser rakyat menjadi simbol bahwa ekonomi bisa digerakkan dari bawah, maka konser berikutnya harus tidak hanya meriah, tapi juga lebih sistematis. Agar geliat ekonomi rakyat tak berakhir ketika lagu terakhir diputar.******

Baca berita kami lainnya di