READ.ID – Selama dua tahun lebih, tepatnya sudah 26 bulan berturut-turut, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus. Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia tahun berjalan tercatat surplus sebesar USD24,88 miliar.
Nilai ekspor Indonesia pada Juni mencapai angka USD26,09 miliar, meningkat signifikan dibanding ekspor Mei 2022 sebesar USD21,51 miliar. Kinerja ekspor mengalami peningkatan terutama didorong oleh kembali naiknya ekspor produk sawit setelah harga kebutuhan pokok di dalam negeri semakin stabil, sehingga aturan pelarangan ekspor produk sawit dicabut.
Menguatnya komponen perdagangan internasional ini mendorong surplus neraca perdagangan Juni sebesar USD5,09 miliar. Utamanya ditopang oleh sektor nonmigas yang mencatatkan surplus sebesar USD7,23 miliar. Namun sebaliknya, sektor migas mengalami defisit sebesar USD2,14 miliar.
“Peningkatan ekspor, seiring upaya stabilisasi harga yang semakin membuahkan hasil, memberikan dukungan pada pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022 secara umum. Sehingga, pemulihan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tetap kuat. Peningkatan ekspor produk sawit ini penting di tengah eskalasi berbagai risiko global, akibat perang di Ukraina yang berkepanjangan serta berbagai tantangan multidimensional lainnya seperti pandemi yang belum sepenuhnya selesai secara merata di seluruh dunia,” jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, dalam keterangan resminya, pada 17 Juli 2022.
Pertumbuhan ekspor yang mencapai 40,68% (yoy) itu didorong kontribusi sektor nonmigas yang tumbuh 41,89% yoy. Sementara itu, sektor migas tumbuh 23,68% (yoy). Industri pengolahan konsisten sebagai kontributor utama ekspor Indonesia yang mencapai sebesar USD18,27 miliar (70,01% dari total ekspor), diikuti sektor pertambangan (USD5,93 atau 22,72% dari total ekspor), migas (USD1,53 miliar atau 5,87% dari total ekspor), dan pertanian (0,36 atau 1,4% dari total ekspor).
Di sisi lain, kinerja impor juga kembali menguat didukung oleh impor bahan baku yang menandakan aktivitas ekonomi domestik yang terus membaik. Impor pada Juni tercatat sebesar USD21,00 miliar (Mei 2022: USD18,60 miliar) atau tumbuh 21,98 % (yoy). Pertumbuhan impor ini terutama didorong oleh sektor migas yang tumbuh 59,84% (yoy), sedangkan sektor nonmigas tumbuh 16,15% (yoy).
Impor bahan baku merupakan impor terbesar, yaitu sebesar USD16,23 miliar, kemudian diikuti oleh impor barang modal (USD3,08 miliar) dan barang konsumsi (USD1,7 miliar). Daya beli dan aktivitas ekonomi masyarakat menunjukkan tren peningkatan dan terus membaik seiring dengan terkendalinya pandemi Covid-19. Selain itu, peningkatan impor bahan baku dan barang modal mencerminkan aktivitas sektor industri dalam negeri yang terus beranjak pulih.
Pemulihan impor terkait aktivitas industri sejalan dengan pergerakan Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Juni 2022 yang tetap ekspansif di tengah pelambatan aktivitas industri yang terjadi di banyak negara.
“Kinerja neraca perdagangan menunjukkan bahwa kenaikan ekspor mampu menyerap risiko kenaikan harga komoditas global di sisi impor,” sambung Febrio.
Pemerintah menyadari, kinerja yang tetap kuat pada perdagangan internasional Indonesia ini terjadi di saat dunia sedang dihadapkan pada berbagai risiko global. Di antaranya, berupa risiko krisis pangan dan energi, tekanan inflasi, dan penurunan kinerja ekonomi Tiongkok.
Aman dari krisis?
Pemerintah memang terus mengantisipasi dan menyiapkan mitigasi risiko-risiko ekonomi, salah satunya dengan APBN. Berdasarkan survei Bloomberg, Indonesia berada di urutan kedua terbawah dari 15 negara yang berpotensi resesi. Kemungkinan bagi Indonesia hanyalah 3 persen.
Resesi adalah situasi yang terjadi ketika PDB suatu negara negatif selama dua kuartal berturut-turut, di mana Indonesia pernah mengalami pada 2020. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup baik. Bhima mendasarkan penilaiannya pada beberapa indikator, salah satunya adalah cadangan devisa Indonesia yang masih aman atau tercatat sebesar USD136,4 miliar per Juni 2022.
Menurutnya, kondisi ekonomi Indonesia lebih baik dari krisis 2008 dan taper tantrum 2013 yang merujuk pada lonjakan imbal hasil surat berharga AS pada 2013 karena kebijakan Bank Sentral AS mengenai pelonggaran kuantitatif. Kondisi itu sempat membuat ekonomi di ambang resesi dan membuat nilai tukar rupiah terpuruk cukup dalam.
Taper Tantrum merupakan kebijakan mengurangi nilai pembelian aset, seperti obligasi atau quantitative easing (QE) oleh The Fed. Apabila hal tersebut terjadi, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke AS sehingga dapat memicu gejolak pasar keuangan.
“Beberapa indikator ketahanan ekonomi Indonesia memang jauh lebih baik dari krisis 2008 dan taper tantrum 2013, misalnya cadangan devisa cukup gemuk yakni 136,4 miliar dolar,” papar Bhima Yudhistira, seperti dikutip media, pada 18 Juli 2022.
Selain itu, potensi resesi Indonesia juga kecil jika ditinjau dari indikator windfall komoditas. Ketika windfall komoditas tinggi, harga-harga komoditas juga tinggi. Windfall terkait erat dengan inflasi yang menjadi salah satu penyebab utama resesi. “Kemudian ada windfall harga komoditas yang bantu jaga rupiah tidak terkoreksi sedalam negara peers,” ujar Bhima.
Meski demikian, Bhima menekankan untuk tetap waspada, meski indikator ketahanan ekonomi Indonesia menunjukkan positif. Pemerintah diminta mengurangi ketergantungan terhadap harga komoditas tertentu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan potensi resesi di Indonesia relatif kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut lantaran stabilnya pertumbuhan ekonomi dan masih terjaganya inflasi di dalam negeri.