Oleh: Funco Tanipu
Jelang 50 hari waktu efektif untuk Pemilu 2019, kontestasi politik di saat-saat terakhir ini akan menentukan legitimasi partai politik dan juga kepala daerah.
Mengapa kepala daerah? Sebab, hasil Pemilu juga akan menentukan apakah program pemerintah daerah bisa maksimal dijalankan atau malah dihambat oleh legiatif yang terpilih dalam Pemilu. Di beberapa daerah malah lebih ekstrim, kepala daerah dijungkalkan oleh legislatif, baik karena memang ada kesalahan administratif maupun kesalahan politik.
Pada kasus yang lain, beberapa program yang telah direncanakan matang oleh eksekutif bisa dihambat oleh legislatif hanya karena soal komunikasi dan juga persaingan politik. Legislatif dengan perangkat kekuasaannya bisa memanggil eksekutif, bahkan merekomendasikan hal-hal bisa saja berlawanan dengan apa yang dikehendaki eksekutif.
Belum lagi jika koalisi partai politik pendukung eksekutif tidak maksimal perolehan kursinya di legislatif. Bisa dipastikan pihak eksekutif akan bekerja dua kali lipat dan ekstra, dibandingkan jika koalisi partai politik pendukung yang menguasai parlemen.
Yang fatal, jika koalisi partai politik pendukung Kepala Daerah sewaktu di Pilkada lebih rendah perolehan suaranya di Pemilu dari partai politik lawan di Pilkada sebelumnya.
Sebagai contoh misalnya di Gorontalo, Pemilu 2019 akan menjadi pertaruhan legitimasi Kepala Daerah seperti Syarif Mbuinga (Golkar) dan Amin Haras (PDI P) di Pohuwato, Marten Taha – Ryan Kono (Golkar, Demokrat, Hanura, Perindo, PBB) di Kota Gorontalo, Hamim Pou-Kilat Wartabone (Nasdem, PAN) di Bone Bolango, Indra Yasin – Thariq Modanggu (Nasdem, Pan, PDI P, Gerindra, PKS) di Gorontalo Utara, Darwis Moridu (PDI P) dan Anas Yusuf (PAN) di Boalemo, serta Nelson Pomalingo (PPP-Demokrat) di Kabupaten Gorontalo.
Kepala-kepala daerah diatas tentu akan menuai efek yang positif dan negatif dari hasil Pemilu 2019. Apa saja efeknya ; (1). Perencanaan pembangunan baik di RPJMD, KUA/PPAS, APBD dan dokumen perencanaan lainnya akan mengalami diskusi, perdebatan dan bahkan “interupsi” secara luar biasa. Memang hal ini positif dalam konteks demokratisasi, karena akan ada keseimbangan dan menjamin mutu dalam perencanaan pembangunan. Namun, jika kehendak legislatif hanya karena agenda politik sektoral, tentu akan saling meniadakan tujuan utama. (2). Proses pelaksanaan pembangunan akan semakin diawasi secara ketat dan tegas. Di beberapa tempat bahkan hal-hal yang bersifat teknis akan di-RDP-kan. Hal ini positif bagi kelangsungan pembangunan. Namun, akan membuat repot pihak eksekutif. Di beberapa tempat, kewenangan pengawasan menjadi alibi untuk menggolkan kepentingan jangka pendek. (3). Proses evaluasi dan monitoring akan lebih maksimal. Dalam taraf tertentu hal ini akan bagus bagi perbaikan mutu demokrasi lokal. Tapi, dalam beberapa kasus di Indonesia, kewenangan ini kerap disalahgunakan untuk agenda-agenda yang bersifat kelompok dan sektoral.
Hasil Pemilu 2019 tentu akan membuat peta politik akan semakin dinamis. Target secara makro adalah perbaikan mutu demokrasi. Secara lebih mikro, target-target lokal seperti penurunan angka kemiskinan, penurunan angka pengangguran, menaikkan pertumbungan ekonomi, memperbaiki stabilitas inflasi, hingga menjamin social policy dan sebagainya adalah capaian yang harus disegerakan. Di sisi lain, birokrasi yang selama ini melakukan upgrading di sisi kinerja akan semakin maksimal jika ditunjang oleh desakan parlemen yang kuat. Termasuk soal rendahnya kinerja kepala daerah secara umum.
Setiap Kepala Daerah tentu secara politis akan berupaya dengan maksimal untuk menggolkan partai politik yang dikomandaninya maupun yang mendukungnya saat Pilkada untuk bisa memenangkan Pemilu 2019. Sebab, setiap kepala daerah tidak ingin ada gejolak dalam pemerintahannya. Mereka pasti ingin “nyaman” dalam memerintah dan berkuasa. Itu sudah garis politis yang diacu oleh setiap Kepala Daerah yang terpilih dalam skema Pilkada yang selama ini terjadi.
Namun, hal ini bisa saja negatif bagi keseimbangan demokrasi jika Kepala-kepla Daerah tersebut berupaya memenangkan partai politik yang mendukungnya namun tidak mengedepankan aspek mutu sumber daya manusia Caleg yang dia majukan/dukung. Caleg-caleg yang didukung oleh Kepala Daerah (jika itu sudah menjadi fatsun politik) mestinya bukan Caleg yang hanya bisa tepuk tangan, hanya siap untuk aklamasi jika itu sesuai dengan kepentingan kepala daerah, maupun yang hanya bisa tunduk dan patuh sesuai arahan kepala daerah. Caleg yang mesti didukung tentu yang tahu dan paham soal tata kelola pemerintahan, paham kewenangan legislatif ; budgetting, controlling, legislasi, dan juga yang bisa bersikap kritis terhadap kinerja pemerintah daerah.
Tentu hal ideal diatas masih akan diuji lagi secara empirik pada momentum Pemilu 2019 nanti, karena telah berulang kali pengalaman buruk soal hasil Pemilu sejak Pemilu tahun 1955. Rakyat tentu dalam hyper-reality seperti saat ini semakin tidak bisa menentukan siapa saja yang berkualitas dan bermutu. Di zaman hyper-reality saat ini, semua tampak baik, tampak alim, tampak santun dan ceria. Tapi, seperti pengalaman pada Pemilu sebelumnya, hasil Pemilu tetap tidak maksimal untuk memperbaiki mutu demokrasi, khusunya demokasi yang menyejaterahkan.****