Penyederhanaan Beban

Penyederhanaan Beban
Penyederhanaan Beban
banner 468x60

Penulis: Makmun Rasyid

READ.ID – Kala itu, manusia telah mengalami ragam degradasi. Tuhan menghadirkan nabi-nabi untuk merombak secara radikal keadaan yang ada. Sampai nabi akhir zaman; Nabi Muhamamd SAW. Islam sebagai agama yang diwartakannya, menuntun manusia-manusia untuk menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Pengangkatan derajat ini agar manusia keluar dari asumsi “mahluk rendahan” dan “pendosa azali”. Penyadaran dilakukan sang utusan Tuhan demi wujudnya teologi pemulian kepada setiap hamba-Nya. Sebab itu, dalam Islam, aktualisasi diri manusia hanya dapat terwujud dengan sempurna manakala ia mengabdi seutuhnya pada Tuhan.


banner 468x60

Sebagai abdi Tuhan, segala khabar yang disampaikan menunjukkan adanya penjungkirbalikkan konsepsi animisme yang menganggap manusia sebagai abdi alam semesta—atau yang dikenal dengan unsur-unsur alam semesta. Predikat wakil di muka bumi itu menggambarkan akan betapa percayanya Dia pada manusia. Tuhan memercayakan kekuasan-Nya sedemikian rupa; mengolah dan mengatur dunia, yang oleh mahluk lainnya tidak berani memikulnya.

Diberikanlah juga panduan berupa kitab suci akhir zaman. Oleh H.A.R Gibb disebutkan, “tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca oleh Muhammad (Al-Qur’an).”

Kitab akhir zaman ini diturunkan di tengah-tengah kondisi keberagamaan yang saling unjuk kepiawaian dalam mengolah kata dan sahut menyahut dengan sajak per-sajak. Tuhan menyelipkan tantangan dan sindiran dalam kitab suci kepada mereka-mereka yang piawai memainkan dan mengolah kata demi kata kala itu. “Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Qur’an ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama” (Qs. Al-Isrâ’ [17]: 88).

Bukan tanpa sebab, kehadiran kitab suci itu untuk menyadarkan manusia bahwa tanggung jawabnya sebagai abdi Tuhan. Iman pada Tuhan harus berujung pada amal dan aksi. Dimana tauhid harus diaktualisasikan; pusat keimanan memang Tuhan, tapi ujungnya adalah manusia. Keimanan (tauhid) menjadi pusat dari semua orientasi nilai dan manusia menjadi tempat transformasi nilai itu. Itu sebabnya, teks demi teks dalam Qur’an terus mengalirkan penafsiran dan perspektif, yang hurufnya tidak berubah tapi maknanya kian bermunculan.

Dengan kitab suci, Tuhan ingin mengatakan, segalanya akan bersentral pada manusia. Dan siapa yang membawa kitab suci harus menggunakan baju yang indah milik-Nya; kelemahlembutan. Sengaja Dia menaruh satu kata “wal-yatalatthaf” (dan hendaklah ia berlaku lemah lembut) di tengah-tengah Qur’an agar manusia sadar dalam menyajikan dan memberikan berita gembira pada yang belum mengetahui isinya menggunakan prinsip itu.

Tidak boleh ada sifat yang memaksa kehendak dan pikiran orang lain. “Lâ ikrâha fî al-Dîn”; tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Konsepsi ini selaras dengan “humanisme teosentrik”, sebuah persepsi yang memusatkan diri pada Tuhan (tauhid), tapi di saat bersamaan mengupayakan wujudnya peradaban manusia. Salah besar, seseorang yang beribadah dan menjalin hubungan dengan-Nya tapi tidak sampai pada keteladanan.

Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, beliau sempat tenggelam dalam situasi spiritual. Tuhan pun menyentaknya dengan pertanyaan—yang terkait dengan hal ihwal material, “apakah yang di tangan kananmu itu, hai Musa?” (Qs. Thâ Hâ [20]: 17). Musa tersadar dan segera menjawab, “ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku, di samping keperluan-keperluan lain” (Qs. Thâ Hâ [20]: 18).

Sentakan itu sebagai teguran bagi mereka yang hanya terbuai pada alam spiritual dan melupakan sisi material. Agar para manusia tidak terlelap dan larut dari alam material itu, Qur’an menggunakan benda-benda alam. Fungsinya, sebagai penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran-Nya di segala fenomena. Sekecil apa pun, semuanya di bawah pengetahuan-Nya.

Dalam konteks tranformasi dari wilayah privat ke publik, tidak serta melakukan pembersihan dan penggusuran nilai-nilai yang tidak selaras dengan Islam. Peristiwa Qur’an mengajarkan adanya sebuah proses dalam membenahi isi dunia. Salah satunya adalah penyederhanaan beban, yang dalam Islam disebut “al-Taqlil al-Taklif”. Kasus populer untuk menggambarkan hal tersebut adalah pengharaman minuman keras dengan empat kali tahapan.

Penyederhanaan beban disini, tidak saja berbicara tentang ayat-ayat hukum dalam Qur’an. Tapi juga terkait proses peningkatan diri dan pembersihan jiwa. Manusia dilarang untuk membuat dirinya kaget karena tidak melalui ragam jalur dan tangga yang disediakan. Disinilah fungsi puasa, di samping sebagai penyadaran akan hakikat keseimbangan (spiritual-material), juga menyadarkan manusia agar tidak meminta pada-Nya untuk memindahkan derajat atau (maqam)-nya.

Seseorang yang tidak melalui tangga akan mengalami kekagetan intelektual (syariat) dan kekagetan spiritual (hakikat). Fakta mengatakan, betapa banyak yang segera ingin bergumul dengan-Nya dan melupai ujung dari tauhid; juga betapa banyak mereka yang bergumul dengan alam materi sampai melupakan hakikat keberadaannya sebagai abdi Tuhan.

Di bulan puasa, kekagetan spiritual itu disebabkan sebuah laku yang ketika masuk Ramadan langsung melepaskan jubah keduniaannya dan berharap Tuhan mengampuni segala dosanya, dan dirinya bersih dengan memperbanyak ritual yang diiming-imingi ragam dalil. Ritual yang dilakukannya, tidak salah. Tetapi merasa bahwa dunia tidak penting dan langsung melepas adalah sebuah kesalahatan.

Para sufi dan kaum salik, sebelum berada di “maqam” hakikat/makrifat mereka melewati alam syariat dan tarikat. Ketiganya kerap dianalogikan sebagai: syariat adalah kapal, tarikat adalah samudera dan hakikat adalah mutiara. Hakikat tidak akan didapatkan sebelum telah mencapai tengah samudera dan menyelam. Dia pun tidak akan mencapai ke tengah samudera kecuali berlayar dengan kapalnya. Kesatupaduan ketiganya dan proses secara natural agar kekagetan intelektual dan spiritual tidak terjadi pada seseorang.

Rute yang tersimpan dalam Qur’an, mulai penerapan nilai-nilai (al-Tadrîj al-Tasyrî’), beralih ke penyederhanaan beban sampai meminimalkan kesulitan (‘adam al-Haraj) itu harus menjadi asas seseorang dalam beragama dan bernegara. Jangan sampai karena Ramadan, seseorang memperbanyak berzikir namun melupakan aktivitas berpikir; juga jangan sampai memperbanyak aktivitas berpikir tapi melupakan aktivitas berzikir. Sebab, hanya dengan perpaduan keduanya akan melahirkan “Ulul Albâb”.

Penyederhanaan beban yang diberikan Tuhan seharusnya diterima dengan penuh kebahagiaan. Jangan memaksa kembali Tuhan untuk menyentak dirimu dan membebani—baik di wilayah spiritual maupun material—yang berkemungkinan engkau tidak mampu menjalankannya. Puasa mengajarkan kita; takwa itu digapai dari keimanan yang kuat dan mewujud atau terjadinya tranformasi sosial pada manusia. Kata “la-‘allakum tattaqûn” dalam ayat puasa itu tidak saja menyimpan makna keagamaan tapi juga makna keduniaan.

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90